Pagi ini begitu dingin. Sesekali aku
membenahi sweater yang melekat pada tubuhku sebelum aku menggantinya dengan
snelli. Lorong-lorong rumah sakit yang masih sepi, goresan menghitam pada
lantai seperti menandakan ada duka pagi ini. Aku baru memulai kepaniteraanku
satu minggu ini dan sudah ada puluhan duka yang tiap detik mengingatkan betapa
bersyukur Tuhan masih memberiku nyawa; walaupun entah bagaimana keadaannya.
Mendadak, Indah menarikku dan
mengajakku duduk sejenak. Bersama kedua sahabat yang memang berteman sejak awal
kuliah dan sekarang satu kelompok kepaniteraan. Semesta memang memiliki serbu
cara membuatku tertawa.
“Kina baik-baik aja pagi ini?”
celetuk Disa sambil tersenyum. Aku hanya membalas senyumnya sambil mengangguk
perlahan.
“Kamu orang baik Kin, kamu pasti
akan mendapatkan yang lebih baik. Pasti itu Kin, janji Allah itu tidak ingkar”
ujar Mila yang tiba-tiba membawa nama Tuhan. Entah apa yang mereka pikirkan
ketika tiba-tiba seorang Mila yang selama ini tidak mengenal Tuhan mendadak
menyebut nama Tuhan.
“Kamu udah tau kabarnya Yosan?”
Indah tiba-tiba berbisik lirik sembari menyuruhku duduk disampingnya.
Sepertinya mereka tak paham bawasanya aku tak ingin lagi tau bagaimana
keadaannya setelah benar-benar membuatku hancur.
“Yosan, mantan kamu itu, yang pernah
mencintaimu setengah mati lalu dia juga yang membuatmu hancur seorang diri,
minggu depan akan menikah”
“Me…menikah?” kali ini suaraku tercekat
keluar nyaris tertahan antara rasa tak percaya yang berbanding lurus dengan
perasaan berharap yang terlewat tinggi.
“Semoga kamu mengerti alasan dia
meninggalkanmu dua bulan lalu”
“alasan apalagi ndah, dis, mil? Setelah
dia membuat cerita bersamaku lalu dia pula yang menghancurkan cerita itu
sendiri. Entah alasan yang bagaimana lagi sehingga membuat aku yang akan tetap
menjadi tokoh antagonis buat hubunganku dulu”
Nafasku kian tersengal dan memburu.
“Denger-denger sih ceweknya hamil
duluan, kalo nggak salah udah enam bulan sekarang. Makanya dia buru-buru nikah”
Mila yang kebetulan tetangga kompleknya tau betul bagaimana cerita mantan
kekasihku itu.
Disa dan Indah memelukku perlahan.
Entah bagaimana rasaku saat itu. Aku tak tahu apa jadinya jika tak ada mereka. Semesta
yang mungkin menyaksikan aku menangis sendirian.
Terlalu
ngeri.
Ya,
aku menutup mataku rapat-rapat tiap bayangan itu muncul kembali dalam
ingatanku. Sebulat apapun tekat, sekeras apapun keinginan untuk melupakan
kejadian demi kejadian yang bahkan aku sendiri terlalu ngeri untuk
membayangkannya.
Malam
ini tepat dua bulan yang lalu kejadian yang terlalu mengerikan itu menimpaku.
Ketika tiba-tiba dia datang lagi dalam hubungan kita yang sudah berstatus;
tunangan. Ya, genap satu minggu setelah ucapan janjimu di kedua orangtuaku,
tujuh hari itu pula aku menatap kau sedang mencium perempuan itu yang menangis.
Perempuan
yang mana lagi? Seingatku dia adalah perempuan yang pernah sebegitunya kau caci
didepanku karena dia telah meninggalkanmu dulu. Lalu sekarang kalian bersama.
Entah kamu yang menghubunginya lebih dulu atau kalian sama-sama saling
berhubungan, aku tak tahu. Entah juga seberapa kerasnya kepalamu terbentur
hingga lupa bagaimana dulu dia pernah menghancurkan hidupmu.
Aku
minta maaf, jika 48 jam setelah melihat hal itu aku lebih banyak memenuhi tempat
sampahku dengan lembaran tisu yang basah oleh air mata yang kau buat.
Maaf,
aku terlalu besar harap menjadikanmu teman hidupku. Nyatanya aku salah. Aku
selama ini salah mengira kau juga mencintaiku dengan benar sama sepertiku. Maaf juga jika sekalinya menulis tentangmu,
adalah tentang kepergian.
Ah, aku terlalu banyak minta maaf disini. Aku
menyadari selama dua bulan itu aku masih saja berharap kepulanganmu, walaupun
kamu enggan untuk pulang. Bukankah kamu tau bagaimana aku tanpa kamu?
Sekarang
aku sadar, ada nyawa kecil yang tak berdosa yang lebih membutuhkanmu disana.