“Lalu, perjuangan mana lagi yang selalu
teranggap sia-sia? Aku dengan tasbihku, begitu pula pun kamu masih dengan Rosario-mu.
Bukankah kita masih saling memohon pengharapan yang sama? Lantas …”
“I love you…” suara kelelakiannya
terdengar semakin lirih seiring bibir kami yang saling berpagutan. Mata indahnya
kian meredup dibalik suara hujan yang menetes berulang-ulang. Aku kian pasrah
dalam pelukan lelaki yang berada tiga puluh centi tepat di kanan tempatku
bersandar.
Butiran air
hujan semakin gaduh, memaksa masuk melalui celah-celah kaca mobil yang di
dalamnya tertunduk cinta dua anak manusia yang kian membisu. Lampu-lampu kota
menyorot memperjelas dua bayangan yang sedang berbahagia. Ya, aku dengan
untaian bunga yang membentuk bandana di kepala dari kekasihku, Daniel.
Hai,
Hari ini aku
begitu bahagia. Entah seberapa besar bahagia yang tengah kulalui kali ini pada
malam pergantian yang akan kuhabiskan waktuku bersama orang yang lebih
membahagiakan dan menyenangkan ketimbang rintikan hujan yang kian menelanjangi
malam. Dua jam lagi, tepat aku akan menginjak usiaku yang baru, seperlima abad.
Selain sebuket bunga diatas dashboard, lelaki yang bahunya menjadi topangan
kepalaku saat ini adalah salah satu alasanku berkali-kali mengucap syukur
kepada semesta, dan penguasanya.
“Kamu mau
kado apa dari aku, Mil ?” kini matanya menatapku lekat-lekat. Membuka percakapan
pada menit ke lima belas setelah semuanya sama-sama terdiam.
Aku hanya
menggeleng membalas pertanyaan lelaki di sampingku itu. Dan ini adalah untuk
pertama kali dari tiga tahun selepas dia mengikrarkan mencintaiku berada di
depan pandanganku saat pergantian usiaku.
Abhayagiri Restaurant
and Banquet Service, Yogyakarta. 00.00 WIB
“Selamat
ulang tahun Milana Tyas …” bisik lirih lelaki dua tahun lebih tua diatasku yang
mengenakan casual chinos lengkap dengan classic sneakers yang selalu tercipta
nyaris sempurna di mataku. Aku selalu menyukai setiap caranya menyebutkan
namaku. Ya, aku menyukai tatapannya yang selalu saja membuatku jatuh cinta
berkali-kali.
Aku hampir
meniupkan sebuah lilin berangka-kan 20 yang menancap erat pada buttercream tart
di depanku ketika tiba-tiba sebuah tangan menggenggam erat tanganku. Lalu aku
kembali memandangnya.
“Kamu ndak
mau make-a-wish dulu?” kali ini ucapannya terlihat lebih tenang dan tatapannya
lebih dewasa ketimbang aku melihatnya pertama kali sekitar tiga setengah tahun
lalu di sebuah cafe dengan tatapan yang dingin, hingga aku gigil dibuatnya.
Aku
menengadahkan kepala pada semesta yang beratapkan langit. Suasana outdoor malam
ini berkali-kali membuatku mengucap syukur pada penguasa alam atas segala
pengharapan yang satu persatu dijabahNya. Kulihat lelaki didepanku persis. Dia pun
tengah mengucap berbagai pengharapan dalam lirihnya. Sambil mendaras doa Salam Maria
berulang-ulang merenungkan salah satu misteri yang dirangkai dalam Rosario-nya.
Aku
menggigit bibirku lebih kuat. Kekagumanku kian memuncak dibalik setiap
pengharapannya. Tuhan, bolehkah aku memandangnya sedikit lebih lama ?
Penghabisan
dimana aku harus meniupkan lilin sebagai simbolis usiaku benar-benar berubah,
ya satu tahun lebih tua dari jam-jam dimana aku masih berciuman hangat dengan
kekasihku, Daniel.
---
“Doamu
begitu khusyuk. Aku suka caramu berdiam seperti beberapa detik lalu. Kau begitu
indah, Milana …” ujar Daniel seperti tiga tahun lalu dia mengatakan indah
kepadaku. Dan aku selalu melayang tinggi dengan segala macam rayuannya.
“Aku juga
menyukai caramu menjadi pendoa pada tiap-tiap injil matius yang detikan lalu
kau panjatkan untukku”
Kini aku
dengannya berpeluk dalam doa. Sama-sama saling berpagut memohon pada Tuhan,
walau dengan cara yang berbeda.
“Aku boleh
tau pengharapanmu, Mil?”
“Kamu, mas …”
jawabku singkat tanpa menoleh ke arahnya. Mataku hanya menatap pada dua tangan
yang masih berpagutan dibawah cahaya candle light. Aku tau, betapa lelaki
didepanku itu hanya mengernyitkan kening mendengar ucapanku barusan.
“Bolehkah
aku menyebut kamu sebagai pengharapanku, mas? Setidaknya kehadiranmu malam ini
adalah salah satu bentuk pengaminanku. Aku ingin bisa memandangimu lebih lama
dari biasanya”.
“aku
menyukai kamu dan kehidupanmu. Aku menyukai caramu menghindar dari rindu yang
menyakitkan, kenyataan dari tasbihku dan rosariomu …” aku semakin menahan
suaraku yang mulai memancing isakku. Meyakinkan lelaki didepanku, bawasanya
rasaku tidak lagi sekedar permainan.
“Sampai
kapan? Sampai secangkir kopi ini mendingin? Atau sampai orang tua kita
benar-benar melarang kita bahkan untuk sekedar bertemu?” kini suaranya
membuatku tersentak dari tempat dudukku. Jawaban yang sama sekali tak pernah
kuharapkan akhirnya keluar malam ini.
“Bukankah
kamu akan menungguku sampai tiba aku sumpah dokter, mas? Lalu kau akan
memberiku sebuket bunga (lagi) sama seperti kejutanmu sebelumnya?” suaraku kian
memuncak dibalik rasa kepedulianku.
“Kalau kamu menunggu
hubungan kita yang selayaknya jalan di tempat, kita tidak akan menikah, Milana …”
Ucapannya kian
membuatku bertahan di sela-sela hawa dingin yang mulai merayapi setiap
inci indera perabaku. Mengunci setiap gerakan yang akan keluar dari bibirku. Semuanya,
tertahan.
“Lalu?”
“Aku capek
saat harus menjalin hubungan yang tak akan pernah bisa maju, apalagi mundur. Waktuku
hanya akan menjadi kesia-siaan”.
“Lalu, apa
arti berjuang dalam perbedaan selama tiga tahun, mas? Bagaimana dengan dawaian
tasbih dan bisikan Rosario yang kita serukan dalam waktu yang bersamaan?”
ucapku kian melirih. Berusaha menaikkan kurva kenormalanku.
“Bukan hal
yang mudah perkara bagaimana aku menghormati Alfatihah-mu dan bagaimana kamu menghargai
Galatia-ku, Milana. Jangan semakin membuatku membuang sisa waktuku dengan hal
yang mustahil untuk dijalani”.
Daniel hanya
mengalihkan pandangannya sebentar. Memberi waktu menyeka air mataku yang
perlahan hampir menetes. Aku tau, Daniel sangat benci melihat isak tangis yang
kian memusingkannya.
“Aku tau ini
bukan alasan satu-satunya, mas. Apa ada hubungannya dengan Geovani?” Lantas aku
menyebut nama perempuan yang akhir-akhir ini sering menjadi penyebab dari
kekhawatiranku selama ini. Akhir-akhir ini tak jarang berkunjung ke social media
perempuan yang namanya kerap kali disebut kekasihku. Perempuan yang namanya
menjadi salah satu penyebab led merah pada ponsel kekasihku menyala. Bahkan saat
bersamaku sekalipun.
“Maaf Milana. Tapi
sepertinya aku tak ingin membicarakan hal ini sekarang. Kita…maaf, maksudku,
aku-kamu akan memiliki kehidupan yang masing-masing akan tau dimana akan
berpulang” tambahnya dingin. Tak peduli lagi dengan hatiku yang kian
berkecamuk.
“Daniel…kau
tau ini adalah hari ulang tahunku. Tak bisakah kau ucapkan ini di lain hari?”
bentakku lirih masih dengan rasa atas nama ketidakpercayaan. Kita telah saling
mengucapkan selamat tinggal.
---
#30HariSeusaiPercakapanItu
Aku, duduk
di pinggiran pantai Sepanjang. Mataku menerawang jauh pada garis Cakrawala. Sekilas
masih terdengar suara Daniel. Aku menorehkan kenyataan. Membiarkan semua
terbuka sesaat-setelah-alasan-klasik-perbedaan-hingga-bio twittermu-berganti-namanya.
Ternyata, Tasbih dan Rosario bukan satu-satunya alasan kita menjadi aku-kamu. Dan kamu mengkambing-hitamkan dua pendoa sebagai alasanmu memilihnya.
“Persetan
dengan perbedaan. Tasbihmu, Rosarioku, menyatu dalam diam. Cinta kita. Aku teramat
mencintaimu, Milana …”
Aku selalu menyukai bagaimana dia menyebut namaku, Milana. yang artinya mulia. dan kini, kemuliaanku bukan dari seberapa tangis yang kau buat. tapi bagaimana aku pernah memperjuangkan dua garis doa dengan cara yang berbeda.
Senja membiarkan
ombak merenggut rasa sakit yang menetap di seluruh penjuru hatiku. Menghisap
dan melumpuhkan ingatanku, membawanya tenggelam bersama dengan bola api raksasa
di dasar lautan.
Andai kamu
tak kadaluarsa untuk menyadari, sesaat sebelum percakapan yang menjadi aku-kamu itu berakhir. Dan andai aku tau hujan dan lampu kota malam itu adalah terakhir bagaimana aku merasakan ciuman darimu. aku ingin memelukmu sebentar lebih lama lagi. Melepaskan, tak sebercanda ini.
Karena pelukanmu begitu lekat seperti partikel hujan malam itu
Menghilang atas nama ketidaksamaan tiap-tiap pendoa