Selasa, 15 Juli 2014

Percakapan Terakhir




Lalu, perjuangan mana lagi yang selalu teranggap sia-sia? Aku dengan tasbihku, begitu pula pun kamu masih dengan Rosario-mu. Bukankah kita masih saling memohon pengharapan yang sama? Lantas …”

I love you…” suara kelelakiannya terdengar semakin lirih seiring bibir kami yang saling berpagutan. Mata indahnya kian meredup dibalik suara hujan yang menetes berulang-ulang. Aku kian pasrah dalam pelukan lelaki yang berada tiga puluh centi tepat di kanan tempatku bersandar.

Butiran air hujan semakin gaduh, memaksa masuk melalui celah-celah kaca mobil yang di dalamnya tertunduk cinta dua anak manusia yang kian membisu. Lampu-lampu kota menyorot memperjelas dua bayangan yang sedang berbahagia. Ya, aku dengan untaian bunga yang membentuk bandana di kepala dari kekasihku, Daniel.

Hai,
Hari ini aku begitu bahagia. Entah seberapa besar bahagia yang tengah kulalui kali ini pada malam pergantian yang akan kuhabiskan waktuku bersama orang yang lebih membahagiakan dan menyenangkan ketimbang rintikan hujan yang kian menelanjangi malam. Dua jam lagi, tepat aku akan menginjak usiaku yang baru, seperlima abad. Selain sebuket bunga diatas dashboard, lelaki yang bahunya menjadi topangan kepalaku saat ini adalah salah satu alasanku berkali-kali mengucap syukur kepada semesta, dan penguasanya.

“Kamu mau kado apa dari aku, Mil ?” kini matanya menatapku lekat-lekat. Membuka percakapan pada menit ke lima belas setelah semuanya sama-sama terdiam.

Aku hanya menggeleng membalas pertanyaan lelaki di sampingku itu. Dan ini adalah untuk pertama kali dari tiga tahun selepas dia mengikrarkan mencintaiku berada di depan pandanganku saat pergantian usiaku.

Abhayagiri Restaurant and Banquet Service, Yogyakarta. 00.00 WIB

“Selamat ulang tahun Milana Tyas …” bisik lirih lelaki dua tahun lebih tua diatasku yang mengenakan casual chinos lengkap dengan classic sneakers yang selalu tercipta nyaris sempurna di mataku. Aku selalu menyukai setiap caranya menyebutkan namaku. Ya, aku menyukai tatapannya yang selalu saja membuatku jatuh cinta berkali-kali. 

Aku hampir meniupkan sebuah lilin berangka-kan 20 yang menancap erat pada buttercream tart di depanku ketika tiba-tiba sebuah tangan menggenggam erat tanganku. Lalu aku kembali memandangnya.

“Kamu ndak mau make-a-wish dulu?” kali ini ucapannya terlihat lebih tenang dan tatapannya lebih dewasa ketimbang aku melihatnya pertama kali sekitar tiga setengah tahun lalu di sebuah cafe dengan tatapan yang dingin, hingga aku gigil dibuatnya.

Aku menengadahkan kepala pada semesta yang beratapkan langit. Suasana outdoor malam ini berkali-kali membuatku mengucap syukur pada penguasa alam atas segala pengharapan yang satu persatu dijabahNya. Kulihat lelaki didepanku persis. Dia pun tengah mengucap berbagai pengharapan dalam lirihnya. Sambil mendaras doa Salam Maria berulang-ulang merenungkan salah satu misteri yang dirangkai dalam Rosario-nya.

Aku menggigit bibirku lebih kuat. Kekagumanku kian memuncak dibalik setiap pengharapannya. Tuhan, bolehkah aku memandangnya sedikit lebih lama ?

Penghabisan dimana aku harus meniupkan lilin sebagai simbolis usiaku benar-benar berubah, ya satu tahun lebih tua dari jam-jam dimana aku masih berciuman hangat dengan kekasihku, Daniel.
---

“Doamu begitu khusyuk. Aku suka caramu berdiam seperti beberapa detik lalu. Kau begitu indah, Milana …” ujar Daniel seperti tiga tahun lalu dia mengatakan indah kepadaku. Dan aku selalu melayang tinggi dengan segala macam rayuannya.

“Aku juga menyukai caramu menjadi pendoa pada tiap-tiap injil matius yang detikan lalu kau panjatkan untukku”

Kini aku dengannya berpeluk dalam doa. Sama-sama saling berpagut memohon pada Tuhan, walau dengan cara yang berbeda.

“Aku boleh tau pengharapanmu, Mil?”

“Kamu, mas …” jawabku singkat tanpa menoleh ke arahnya. Mataku hanya menatap pada dua tangan yang masih berpagutan dibawah cahaya candle light. Aku tau, betapa lelaki didepanku itu hanya mengernyitkan kening mendengar ucapanku barusan.

“Bolehkah aku menyebut kamu sebagai pengharapanku, mas? Setidaknya kehadiranmu malam ini adalah salah satu bentuk pengaminanku. Aku ingin bisa memandangimu lebih lama dari biasanya”.

“aku menyukai kamu dan kehidupanmu. Aku menyukai caramu menghindar dari rindu yang menyakitkan, kenyataan dari tasbihku dan rosariomu …” aku semakin menahan suaraku yang mulai memancing isakku. Meyakinkan lelaki didepanku, bawasanya rasaku tidak lagi sekedar permainan.

“Sampai kapan? Sampai secangkir kopi ini mendingin? Atau sampai orang tua kita benar-benar melarang kita bahkan untuk sekedar bertemu?” kini suaranya membuatku tersentak dari tempat dudukku. Jawaban yang sama sekali tak pernah kuharapkan akhirnya keluar malam ini.

“Bukankah kamu akan menungguku sampai tiba aku sumpah dokter, mas? Lalu kau akan memberiku sebuket bunga (lagi) sama seperti kejutanmu sebelumnya?” suaraku kian memuncak dibalik rasa kepedulianku.

“Kalau kamu menunggu hubungan kita yang selayaknya jalan di tempat, kita tidak akan menikah, Milana …”

Ucapannya kian membuatku bertahan di sela-sela hawa dingin yang mulai  merayapi setiap inci indera perabaku. Mengunci setiap gerakan yang akan keluar dari bibirku. Semuanya, tertahan.

“Lalu?”

“Aku capek saat harus menjalin hubungan yang tak akan pernah bisa maju, apalagi mundur. Waktuku hanya akan menjadi kesia-siaan”.

“Lalu, apa arti berjuang dalam perbedaan selama tiga tahun, mas? Bagaimana dengan dawaian tasbih dan bisikan Rosario yang kita serukan dalam waktu yang bersamaan?” ucapku kian melirih. Berusaha menaikkan kurva kenormalanku.

“Bukan hal yang mudah perkara bagaimana aku menghormati Alfatihah-mu dan bagaimana kamu menghargai Galatia-ku, Milana. Jangan semakin membuatku membuang sisa waktuku dengan hal yang mustahil untuk dijalani”.

Daniel hanya mengalihkan pandangannya sebentar. Memberi waktu menyeka air mataku yang perlahan hampir menetes. Aku tau, Daniel sangat benci melihat isak tangis yang kian memusingkannya.

“Aku tau ini bukan alasan satu-satunya, mas. Apa ada hubungannya dengan Geovani?” Lantas aku menyebut nama perempuan yang akhir-akhir ini sering menjadi penyebab dari kekhawatiranku selama ini. Akhir-akhir ini tak jarang berkunjung ke social media perempuan yang namanya kerap kali disebut kekasihku. Perempuan yang namanya menjadi salah satu penyebab led merah pada ponsel kekasihku menyala. Bahkan saat bersamaku sekalipun.

“Maaf Milana. Tapi sepertinya aku tak ingin membicarakan hal ini sekarang. Kita…maaf, maksudku, aku-kamu akan memiliki kehidupan yang masing-masing akan tau dimana akan berpulang” tambahnya dingin. Tak peduli lagi dengan hatiku yang kian berkecamuk.

“Daniel…kau tau ini adalah hari ulang tahunku. Tak bisakah kau ucapkan ini di lain hari?” bentakku lirih masih dengan rasa atas nama ketidakpercayaan. Kita telah saling mengucapkan selamat tinggal.

---

#30HariSeusaiPercakapanItu

Aku, duduk di pinggiran pantai Sepanjang. Mataku menerawang jauh pada garis Cakrawala. Sekilas masih terdengar suara Daniel. Aku menorehkan kenyataan. Membiarkan semua terbuka sesaat-setelah-alasan-klasik-perbedaan-hingga-bio twittermu-berganti-namanya.

Ternyata, Tasbih dan Rosario bukan satu-satunya alasan kita menjadi aku-kamu. Dan kamu mengkambing-hitamkan dua pendoa sebagai alasanmu memilihnya.

“Persetan dengan perbedaan. Tasbihmu, Rosarioku, menyatu dalam diam. Cinta kita. Aku teramat mencintaimu, Milana …”

Aku selalu menyukai bagaimana dia menyebut namaku, Milana. yang artinya mulia. dan kini, kemuliaanku bukan dari seberapa tangis yang kau buat. tapi bagaimana aku pernah memperjuangkan dua garis doa dengan cara yang berbeda.

Senja membiarkan ombak merenggut rasa sakit yang menetap di seluruh penjuru hatiku. Menghisap dan melumpuhkan ingatanku, membawanya tenggelam bersama dengan bola api raksasa di dasar lautan.

Andai kamu tak kadaluarsa untuk menyadari, sesaat sebelum percakapan yang menjadi aku-kamu itu berakhir. Dan andai aku tau hujan dan lampu kota malam itu adalah terakhir bagaimana aku merasakan ciuman darimu. aku ingin memelukmu sebentar lebih lama lagi.  Melepaskan, tak sebercanda ini. 



Karena pelukanmu begitu lekat seperti partikel hujan malam itu
Menghilang atas nama ketidaksamaan tiap-tiap pendoa







Kamis, 03 Juli 2014

Kamu, wujud pengaminanku

Sudah hari ketiga. Tiga kursi disamping kiriku adalah pemilik nama yang kerap kali kusebut dalam doa. yang akhir-akhir ini membuatku tak berdaya dengan segala senyum yang nyaris sempurna dibuatnya. 

Catatan kecil bertuliskan -Kemeja tiga per empat lengan- melayang. jatuh dari genggaman sebuah tangan mungil. membentur tembok dan sisanya hanya suara dari ucapan bibir seorang perempuan yang tengah terbaring di ranjangnya.

"Aku benci dia !" teriak perempuan itu setengah sadar dari apa yang Ia dengar barusan. Matanya meredup. Deruan nafasnya sangat cepat. tergambar begitu jelas dia bergeser dari kurva kenormalannya. 

Perempuan itu menutup wajahnya samar-samar dengan kedua telapak tangannya. nafasnya kian menderu. hatinya semakin berkecamuk. Matanya menutup erat-erat seolah tidak menginginkan lagi menjadi bagian dari semesta ini. 

"Jatuh cinta selalu saja menyakitkan. selalu saja mengurai air mata. selalu saja ! ARGHH! " emosinya memuncak. suaranya kian lantang dibalik rasa kagumnya pada lelaki itu. 

Catatan kecil yang masih bertulisan -kemeja tiga per empat lengan- itu masih saja bertahan disitu. tampak sekali tidak berdosa dan tampak sekali tidak peduli dengan amarah perempuan itu. 

"Sudah kukatakan berulang kali kepadamu, perempuan. jatuh cinta itu sakit. sekali lagi candu-nya cinta adalah kesakitan. kamu masih saja ngeyel" perang mulut di hati perempuan itu membuatnya semakin bergejolak. 

lantas baru kau mengagumi setiap kesempurnaan senyum yang tertahan behel, kau sudah segila ini. candu-mu justru membuat bulan sabit pada bibirmu itu terbalik. kau rela, perempuan? 

Cinta, cinta itu apa ?

Cinta itu yang membuat tersenyum memandangi ponsel dari bangun tidur hingga tertidur lagi? 
C inta itu alasan setiap kedustaanmu pada orang tua?
Cinta itu jurang pemisah pertemanan kamu dengan sahabat-sahabatmu?
Sekali lagi, persetan dengan cinta ....

Dan perempuan itu terus bergumam dalam hatinya.

Perempuan itu bangkit. kepalanya masih bersandar pada ranjangnya, berusaha membuat pikirannya senormal mungkin. 

Dan sekali lagi, Cinta ....

"Untukmu, aku tidak akan pernah menyalahkan setiap kehadiranmu. setiap kecanduanmu yang kusebut itu tangis. setiap tawa dan sesak yang kau hadirkan. TIDAK. Aku cukup tau diri. aku ada karena cinta. dia pun ada karena cinta. dan karena cinta aku bisa melukis bulan sabit pada bibirku, walau hanya memandangi punggungmu, walau hanya melalui senyuman yang selalu kau ciptakan kian nyaris sempurna" bisik lirih perempuan itu sambil merenggut kembali catatan kecilnya. 

"Dan karena cinta, menjadikan  kamu sebagai wujud pengaminanku"



Ditulis di menit pertama pada sudut jarum 130 derajad
dan pada seorang perempuan yang berambigu dengan cinta
mas, perempuan itu
aku ...