Jumat, 20 Maret 2015

Hidup Dalam Dua Hal ...


Menulis tanpa batas, tanpa mengenal usia!

Ya, tak jarang ada komentar;
 “kamu kenapa dulu nggak masuk sastra aja?”
 “kamu kayaknya salah masuk jurusan deh”
 “kamu pas kecil kan udah pernah bikin buku, kenapa nggak dilanjut jadi penulis aja?”
“kamu anak kedokteran kok masih selo nulis sih?”

Okey, well guys. Selain senyum, aku bisa apalagi buat menanggapi komentar-komentar tersebut? Tersinggung? Tidak sama sekali. Aku justru senang, mereka mempedulikanku. Dibalik mereka yang “udah pindah jurusan aja”, sama yang “kelarin dulu deh skripsi”, mereka tak pernah tau; betapa menjadi dokter adalah cita-citaku, dan menulis adalah separuh dari jiwaku.

Tentang menjadi dokter 
saya percaya, tentang cita-cita manusia memiliki tiga kategori. Kategori pertama; adalah mereka yang ingin menjadi dokter karena ingin cepat kaya. Kategori kedua; mereka yang ingin menjadi dokter karena paksaan orangtua. kategori ketiga; adalah mereka yang ingin menjadi dokter karena kepentok dengan jurusan lainnya.

Saya? jelas masuk kategori ketiga!

Dimana dulu nggak punya tujuan selain menjadi dokter bahkan saat orangtua memberi kebebasan untuk memilih jurusan yang kuinginkan; asal aku bisa bertanggung jawab atas segala pilihanku. Hingga pada formulir terdapat dua pilihan jurusan yang berbeda, hanya satu angka yang kuisi; kedokteran. Satu opsi lagi kubiarkan kosong, hampa.

Alasan menjadi dokter? Aku tak pernah bisa menjawab. Bahkan untuk menjawab mengabdi-pun rasanya terlalu munafik. Mungkin kalimat yang bisa menjawab, sekalipun tak akan memberi rasa puas kepada penanya adalah "kata hati, karena selain menjadi dokter aku tak tau harus menjadi apalagi".

Tak ada kalimat yang bisa kujabarkan lagi selain itu. Terlebih setelah niatku sekolah DJ ditentang habis-habisan oleh Sofian, sepupuku; yang juga masih terdaftar sebagai murid Pull DJ School inisial F ternama di Jogja. Karena aku juga pernah memiliki cita-cita multitalenta sepertinya, disamping kuliah yang selalu mendapatkan nilai nyaris sempurna, dia memiliki hoby yang selalu bisa mendatangkan hal baik baginya.

Hingga pada fase dimana bosan kuliah, inginnya keluar terus nikah. Disitu Sofian menasehatiku. Segala perjuangan mendapatkan bangku kuliah hingga sekarang tidak boleh satupun menjadi kesia-siaan. Segala dia ceritakan; dari alasan mengapa tak pernah mengizinkanku mengikuti jejaknya untuk menjadi FDJ. Semua karena Sofian tau, pada waktunya aku tak akan mampu membagi waktu. Disitu juga aku percaya, Sofian tak ingin aku mengenal dunia sepertinya. Ajaib! Hanya dari tatapan matanya, aku seperti mendapat kekuatan baru.

 ....

Tentang menulis
Menulis adalah seni. Dimana isi seluruh otak dituangkan dalam wadah yang dirangkai sebegitu indah dalam kalimat padu. Yang aku sesalkan adalah dimana intensitas menulisku tak seperti dulu; yang bisa berjam-jam didepan komputer menghasilkan tulisan yang disusun menjadi buku cerita dan menjadi pengisi buletin di sekolah. Itu dulu, sebelum aku mengenal praktikum, praktek klinik, skripsi, dan hura-hura di sela jam kuliah. 

Disitu aku sadar, menulis sudah menjadi prioritasku yang kesekian.

Bahkan saat ada yang bilang;
“Kalau cuma menulis, aku rasa anak smp juga bisa”

Oke, kalimat yang ‘tak pernah ada masalah’ buat aku. Karena aku yakin, orang itu tak pernah paham tentang masing-masing karateristik manusia. Mungkin seberapa rempah sindiran yang ia buat pun tak mampu membuatnya bercermin; seberapa lebih baik kamu dibanding tulisan-tulisan itu?

Untukku, menulis adalah tentang bagaimana aku bisa menuangkan segalanya. SEGALANYA. Karena aku paham, tak semua bisa diceritakan pada orang yang dipercayainya sekalipun. Adakalanya, rangkaian huruf akan lebih mengerti; keadaan yang sebenar-benarnya keadaan. 

Saat hidup dihadapkan pada dua hal; masa depan dan hoby. Jangan pernah lepaskan kedua-duanya. Tentukan yang menjadi prioritasmu, dan lalukan yang menjadi kegemaranmu. Selamat mengikuti kata hati!
 

 

Selasa, 03 Maret 2015

From your little sister



Kak, bagaimana kabarmu?
Terakhir kulihat hanya checklist semata di bbmmu. Kau sudah terlelap, atau sedang bersama minuman-minuman neraka yang selalu berhasil menenangkanmu ketimbang peluk sekalipun? 
Atau kau sedang tepat beberapa centi dari LCD memandangi tulisanku ini, entah pagi, siang, atau malam sekalipun? Ah, terlebih itu. Entah masa bodoh kapan kau akan membacanya, dibaca atau tidak-pun aku tak peduli.

Rasa peduliku tak akan lebih besar ketimbang rasa peduli terhadap perasaanmu yang saat ini mungkin benar-benar hancur remuk redam. Aku tau, adakalanya karang berserakan tak akan mempu terhempas ombak. Entah bagaimana nanti kau akan mendefinisikannya.

Taukah kamu? Semenjak apa yang kau lakukan waktu-waktu lalu membuatmu benar-benar merasa hina. Ketika semua orang membicarakanmu dan ketika aku harus menutup telingaku rapat-rapat. Yang kuharap saat itu adalah ketika semua orang amnesia, dan yang mereka ingat hanyalah sosokmu yang polos. Kamu yang dibangga-banggakan semua orang karena segala tingkah kelucuanmu, dulu.

Kak, Ibumu menangis.
Mau sampai kapan kau terus membiarkan air mata itu bercucuran begitu dahsyat tanpa tameng sedikitpun? 

Dibalik segala rasamu yang membara-bara kian tertekan. Dibalik segala kebenaran yang kau simpan terkubur dalam sebuah kedustaan tak tak akan pernah terungkap entah sampai kapan. Menjadikan rumah sebagai neraka untukmu sendiri. 

Dan sampai kapanpun, aku tak akan pernah menyalahkan botol-botol jahanam itu sebagai penenang dari segala rekaman kejiwaanmu. Aku bersyukur padanya. Setidaknya ia membuatmu sedikit tenang ketimbang harus kau habisi satu-persatu penyebab nerakamu.

Jangan berpikiran karena aku sok suci. Tidak. Aku juga pernah-sama-hina-nya sepertimu. Bahkan kau sendiri bukankah saksi dari segala kehinaanku dulu? Bisa jadi aku setingkat lebih parah darimu. Tapi tidakkah sedikitpun kamu berpikir, bukankah salah tak selamanya salah, dan bodoh tak selamanya bodoh ?

Maaf, karena aku tak tega melihat derasan air mata yang bercucuran siapapun itu. Terlebih perempuan-perempuanku. Nenek, Ibuku yang juga ibu keduamu, dan ibumu yang juga ibu keduaku. Kita memang terlahir dari rahim yang berbeda. Tapi taukah kamu, jiwa kita berasal dari rahim perempuan yang sama? Yang kini kita sebut ibu tua?  Itulah alasan mengapa sebodoh kelakuanmu aku tetap peduli. 

Tak banyak yang bisa kuharap selain kepulanganmu yang senantiasa menjadi tameng bagi air mata ibumu, ibu keduaku. Kak, aku teramat mencintaimu. Itulah sebab mengapa aku tak ingin mendengar berita lebih buruk lagi tentangmu. 

Pulanglah, semua mengharap kepulanganmu. Tak terkecuali aku, adik perempuanmu…