Menulis
tanpa batas, tanpa mengenal usia!
Ya,
tak jarang ada komentar;
“kamu kenapa dulu nggak masuk sastra aja?”
“kamu kayaknya salah masuk jurusan deh”
“kamu pas kecil kan udah pernah bikin buku,
kenapa nggak dilanjut jadi penulis aja?”
“kamu
anak kedokteran kok masih selo nulis sih?”
Okey,
well guys. Selain senyum, aku bisa apalagi buat menanggapi komentar-komentar
tersebut? Tersinggung? Tidak sama sekali. Aku justru senang, mereka
mempedulikanku. Dibalik mereka yang “udah pindah jurusan aja”, sama yang
“kelarin dulu deh skripsi”, mereka tak pernah tau; betapa menjadi dokter
adalah cita-citaku, dan menulis adalah separuh dari jiwaku.
Tentang
menjadi dokter
saya
percaya, tentang cita-cita manusia memiliki tiga kategori. Kategori pertama; adalah
mereka yang ingin menjadi dokter karena ingin cepat kaya. Kategori kedua;
mereka yang ingin menjadi dokter karena paksaan orangtua. kategori ketiga;
adalah mereka yang ingin menjadi dokter karena kepentok dengan jurusan lainnya.
Saya?
jelas masuk kategori ketiga!
Dimana
dulu nggak punya tujuan selain menjadi dokter bahkan saat orangtua memberi
kebebasan untuk memilih jurusan yang kuinginkan; asal aku bisa bertanggung
jawab atas segala pilihanku. Hingga pada formulir terdapat dua pilihan jurusan
yang berbeda, hanya satu angka yang kuisi; kedokteran. Satu opsi lagi kubiarkan
kosong, hampa.
Alasan
menjadi dokter? Aku tak pernah bisa menjawab. Bahkan untuk menjawab
mengabdi-pun rasanya terlalu munafik. Mungkin kalimat yang bisa menjawab,
sekalipun tak akan memberi rasa puas kepada penanya adalah "kata hati, karena
selain menjadi dokter aku tak tau harus menjadi apalagi".
Tak
ada kalimat yang bisa kujabarkan lagi selain itu. Terlebih setelah niatku
sekolah DJ ditentang habis-habisan oleh Sofian, sepupuku; yang juga masih
terdaftar sebagai murid Pull DJ School inisial F ternama di Jogja. Karena aku
juga pernah memiliki cita-cita multitalenta sepertinya, disamping kuliah yang
selalu mendapatkan nilai nyaris sempurna, dia memiliki hoby yang selalu bisa mendatangkan
hal baik baginya.
Hingga
pada fase dimana bosan kuliah, inginnya keluar terus nikah. Disitu Sofian
menasehatiku. Segala perjuangan mendapatkan bangku kuliah hingga sekarang tidak
boleh satupun menjadi kesia-siaan. Segala dia ceritakan; dari alasan mengapa
tak pernah mengizinkanku mengikuti jejaknya untuk menjadi FDJ. Semua karena
Sofian tau, pada waktunya aku tak akan mampu membagi waktu. Disitu juga aku
percaya, Sofian tak ingin aku mengenal dunia sepertinya. Ajaib! Hanya dari
tatapan matanya, aku seperti mendapat kekuatan baru.
....
Tentang
menulis
Menulis
adalah seni. Dimana isi seluruh otak dituangkan dalam wadah yang dirangkai
sebegitu indah dalam kalimat padu. Yang aku sesalkan adalah dimana intensitas
menulisku tak seperti dulu; yang bisa berjam-jam didepan komputer menghasilkan
tulisan yang disusun menjadi buku cerita dan menjadi pengisi buletin di
sekolah. Itu dulu, sebelum aku mengenal praktikum, praktek klinik, skripsi, dan
hura-hura di sela jam kuliah.
Disitu
aku sadar, menulis sudah menjadi prioritasku yang kesekian.
Bahkan
saat ada yang bilang;
“Kalau
cuma menulis, aku rasa anak smp juga bisa” –
Oke,
kalimat yang ‘tak pernah ada masalah’ buat aku. Karena aku yakin, orang itu tak
pernah paham tentang masing-masing karateristik manusia. Mungkin seberapa
rempah sindiran yang ia buat pun tak mampu membuatnya bercermin; seberapa lebih
baik kamu dibanding tulisan-tulisan itu?
Untukku,
menulis adalah tentang bagaimana aku bisa menuangkan segalanya. SEGALANYA.
Karena aku paham, tak semua bisa diceritakan pada orang yang dipercayainya
sekalipun. Adakalanya, rangkaian huruf akan lebih mengerti; keadaan yang
sebenar-benarnya keadaan.
Saat
hidup dihadapkan pada dua hal; masa depan dan hoby. Jangan pernah lepaskan
kedua-duanya. Tentukan yang menjadi prioritasmu, dan lalukan yang menjadi
kegemaranmu. Selamat mengikuti kata hati!