Kak, bagaimana kabarmu?
Terakhir
kulihat hanya checklist semata di bbmmu. Kau sudah terlelap, atau sedang
bersama minuman-minuman neraka yang selalu berhasil menenangkanmu ketimbang
peluk sekalipun?
Atau
kau sedang tepat beberapa centi dari LCD memandangi tulisanku ini, entah pagi,
siang, atau malam sekalipun? Ah, terlebih itu. Entah masa bodoh kapan kau akan membacanya,
dibaca atau tidak-pun aku tak peduli.
Rasa
peduliku tak akan lebih besar ketimbang rasa peduli terhadap perasaanmu yang
saat ini mungkin benar-benar hancur remuk redam. Aku tau, adakalanya karang
berserakan tak akan mempu terhempas ombak. Entah bagaimana nanti kau akan
mendefinisikannya.
Taukah
kamu? Semenjak apa yang kau lakukan waktu-waktu lalu membuatmu benar-benar
merasa hina. Ketika semua orang membicarakanmu dan ketika aku harus menutup
telingaku rapat-rapat. Yang kuharap saat itu adalah ketika semua orang amnesia,
dan yang mereka ingat hanyalah sosokmu yang polos. Kamu yang dibangga-banggakan
semua orang karena segala tingkah kelucuanmu, dulu.
Kak,
Ibumu menangis.
Mau
sampai kapan kau terus membiarkan air mata itu bercucuran begitu dahsyat tanpa
tameng sedikitpun?
Dibalik
segala rasamu yang membara-bara kian tertekan. Dibalik segala kebenaran yang
kau simpan terkubur dalam sebuah kedustaan tak tak akan pernah terungkap entah
sampai kapan. Menjadikan rumah sebagai neraka untukmu sendiri.
Dan
sampai kapanpun, aku tak akan pernah menyalahkan botol-botol jahanam itu
sebagai penenang dari segala rekaman kejiwaanmu. Aku bersyukur padanya.
Setidaknya ia membuatmu sedikit tenang ketimbang harus kau habisi satu-persatu
penyebab nerakamu.
Jangan
berpikiran karena aku sok suci. Tidak. Aku juga pernah-sama-hina-nya sepertimu.
Bahkan kau sendiri bukankah saksi dari segala kehinaanku dulu? Bisa jadi aku
setingkat lebih parah darimu. Tapi tidakkah sedikitpun kamu berpikir, bukankah
salah tak selamanya salah, dan bodoh tak selamanya bodoh ?
Maaf,
karena aku tak tega melihat derasan air mata yang bercucuran siapapun itu.
Terlebih perempuan-perempuanku. Nenek, Ibuku yang juga ibu keduamu, dan ibumu
yang juga ibu keduaku. Kita memang terlahir dari rahim yang berbeda. Tapi taukah kamu, jiwa kita berasal dari rahim perempuan yang sama? Yang kini kita sebut ibu tua? Itulah alasan mengapa sebodoh kelakuanmu aku tetap peduli.
Tak
banyak yang bisa kuharap selain kepulanganmu yang senantiasa menjadi tameng
bagi air mata ibumu, ibu keduaku. Kak, aku teramat mencintaimu. Itulah sebab
mengapa aku tak ingin mendengar berita lebih buruk lagi tentangmu.
Pulanglah,
semua mengharap kepulanganmu. Tak terkecuali aku, adik perempuanmu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar