Selasa, 03 Maret 2015

From your little sister



Kak, bagaimana kabarmu?
Terakhir kulihat hanya checklist semata di bbmmu. Kau sudah terlelap, atau sedang bersama minuman-minuman neraka yang selalu berhasil menenangkanmu ketimbang peluk sekalipun? 
Atau kau sedang tepat beberapa centi dari LCD memandangi tulisanku ini, entah pagi, siang, atau malam sekalipun? Ah, terlebih itu. Entah masa bodoh kapan kau akan membacanya, dibaca atau tidak-pun aku tak peduli.

Rasa peduliku tak akan lebih besar ketimbang rasa peduli terhadap perasaanmu yang saat ini mungkin benar-benar hancur remuk redam. Aku tau, adakalanya karang berserakan tak akan mempu terhempas ombak. Entah bagaimana nanti kau akan mendefinisikannya.

Taukah kamu? Semenjak apa yang kau lakukan waktu-waktu lalu membuatmu benar-benar merasa hina. Ketika semua orang membicarakanmu dan ketika aku harus menutup telingaku rapat-rapat. Yang kuharap saat itu adalah ketika semua orang amnesia, dan yang mereka ingat hanyalah sosokmu yang polos. Kamu yang dibangga-banggakan semua orang karena segala tingkah kelucuanmu, dulu.

Kak, Ibumu menangis.
Mau sampai kapan kau terus membiarkan air mata itu bercucuran begitu dahsyat tanpa tameng sedikitpun? 

Dibalik segala rasamu yang membara-bara kian tertekan. Dibalik segala kebenaran yang kau simpan terkubur dalam sebuah kedustaan tak tak akan pernah terungkap entah sampai kapan. Menjadikan rumah sebagai neraka untukmu sendiri. 

Dan sampai kapanpun, aku tak akan pernah menyalahkan botol-botol jahanam itu sebagai penenang dari segala rekaman kejiwaanmu. Aku bersyukur padanya. Setidaknya ia membuatmu sedikit tenang ketimbang harus kau habisi satu-persatu penyebab nerakamu.

Jangan berpikiran karena aku sok suci. Tidak. Aku juga pernah-sama-hina-nya sepertimu. Bahkan kau sendiri bukankah saksi dari segala kehinaanku dulu? Bisa jadi aku setingkat lebih parah darimu. Tapi tidakkah sedikitpun kamu berpikir, bukankah salah tak selamanya salah, dan bodoh tak selamanya bodoh ?

Maaf, karena aku tak tega melihat derasan air mata yang bercucuran siapapun itu. Terlebih perempuan-perempuanku. Nenek, Ibuku yang juga ibu keduamu, dan ibumu yang juga ibu keduaku. Kita memang terlahir dari rahim yang berbeda. Tapi taukah kamu, jiwa kita berasal dari rahim perempuan yang sama? Yang kini kita sebut ibu tua?  Itulah alasan mengapa sebodoh kelakuanmu aku tetap peduli. 

Tak banyak yang bisa kuharap selain kepulanganmu yang senantiasa menjadi tameng bagi air mata ibumu, ibu keduaku. Kak, aku teramat mencintaimu. Itulah sebab mengapa aku tak ingin mendengar berita lebih buruk lagi tentangmu. 

Pulanglah, semua mengharap kepulanganmu. Tak terkecuali aku, adik perempuanmu…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar