Epic caffe, 16 februari 2015
Dua
cangkir kopi hitam itu terpampang sudah lebih dari lima belas menit di mejaku.
Tanpa kusentuh-pun aku sudah tau betapa hambar dan dinginnya minuman tersebut. Di
sampingnya, ada beberapa serpihan pinggiran roti tawar yang sengaja tak kumakan.
Tau kan? betapa pinggiran roti tawar yang sampai sekarang tak pernah kutemukan
dimana letak kenikmatannya.
Di
hadapanku persis, seorang lelaki tengah menyesap rokoknya yang kesekian.
Kepalanya bersandar pada kursi dengan dua kemungkinan; barangkali ia lelah
terkubur dalam masalah-masalah hidupnya, barang ia ingin nyaman walau hanya
sebentar saja.
Perkenalkan,
lelaki setengah meter didepanku ini pemilik nama Bara. Aku mengenalnya tepat
setengah tahun yang lalu setelah sama-sama tak sengaja bertemu dalam acara promnight
lalu berlanjut di berbagai social media hingga pertemuan kali ini. Lelaki ini
tengah benar-benar nyaman dalam penyandarannya sehingga ia lupa; ada aku yang
sengaja diundang untuk mendengarkan keluh kesahnya.
“Aku
bosan, dan aku bingung bagaimana cara mengakhiri hubunganku yang laknat ini ” –
ujar lelaki yang sempat membuatku mengurungkan menjamah kopi yang hampir saja
masuk walaupun sekedar membasuh kerongkonganku yang sudah mengering.
“Kamu
tidak sedang bercanda Bar? Atau kamu sedang tidak dalam pengaruh Wine yang kamu
teguk semalaman?”
Kembali
aku hendak menyeruput kopi dingin nan hambar seperti dugaanku. Namun, lagi-lagi
niat itu kuurungkan kembali. Aku lebih memilih merengguh sebotol air mineral
yang sengaja dipesan. Yang kuingat dari ucapan Bara setengah jam lalu;
“Aku pesen dua kopi hitam.
Tapi aku juga pesen sebotol air mineral. Karena aku tau kamu tak pernah
menyukai kopi hitam, bukan? Tapi barang sekali saja kamu harus mencoba. Biar
kamu tau, hidup tidak melulu soal manis seperti minuman-minuman yang biasa kau
tenggak” – Bara, 21 tahun.
---
“Jadi,
setengah tahun lamanya, sekian kali kopi darat denganku, kau masih tak bisa
membedakan mana aku bercanda mana aku serius?” – kali ini nadanya menaik.
“Haha,
maaf. Jadi masalah apa? Restu? Atau perempuanmu menyebalkan?” Aku hanya tertawa
kecil. Dia hanya menggeleng.
“Tak
ada yang berubah. Dia tetap baik padaku dari awal jadian sampai sekarang. Dia
tetap menyalurkan berbagai perhatian-perhatian kecilnya. Intinya, tak ada yang
berbeda dari alasan pertama aku mencintainya dulu”
“Jadi
karena apa???” –Aku gantian mendengus kesal. Bukan karena basa-basinya yang
semakin basi. Tapi karena asap rokok yang mengarah ke wajahku kian membuatku
sesak.
“Orangtua
tak ada masalah. Hubunganku dengannya juga baik-baik saja. Tapi aku bosan, aku
sudah tidak mencintainya”
“Enggg,
ada cara lain selain membuatnya terluka? Maaf, memutuskan hubungan tanpa alasan
yang jelas hanya akan menyakiti perempuanmu. Buat apa dulu kau membuat suatu
komitmen kalo tak dibarengi dengan menjaga perasaannya. Kau paham?”—kali ini
entah kekuatan dari mana aku bisa menata kalimat sedemikan rupa; atau karena
aku pernah menjadi lakon dari pihak perempuannya.
“Tapi
aku tetap harus meninggalkannya”—kali ini dia menyeruput kopinya. “Kau tau? Disisi lain ada yang lebih harus
kujaga perasaannya”
“Kau menduakannya?”
Bara
hanya mengangguk sesekali tersenyum. Tak ada yang salah dari senyumnya yang
manis, hanya saja lama-kelamaan terasa sinis.
Aku
mengalihkan pandanganku kearah lantai. Setidaknya lantai-lantai berbahan dasar semen itu
tak lebih menjijikan dari pemandangan lelaki di depanku. Ah, tapi segala apa
yang tidak bisa dilakukan oleh lelaki macam Bara. Tampilan keren, tumpangan
oke. Otak? Apalagi yang hendak diragukan bagi mahasiswa jurusan kedokteran di
universitas bergengsi di Jogja? Jadi, cukup mumpuni untuknya mendapatkan perempuan
manapun, menyabet kandidat playboy. Wajar saja; ada yang enggan ditinggal, ada rela diduakan.
“Al,
kamu dengar?” – Bara membuyarkan lamunanku. Kali ini aku hanya membalas
senyuman sinisnya.
“Dengar
ya Bar, sekian kali curhatan kecilmu di pesan-pun tak ada satupun yang kubalas
dengan kata duakan. Tidak. Kalo niatmu meninggalkan, tinggalkan tanpa bekas.
Bukan menduakan seperti ini. Kau lupa? Yang sedang kau sakiti adalah perempuan
yang pernah kau peluk dengan hati yang sama” Aku terus berusaha mengatur nafas
yang kian memburu.
“Ah,
kau tau sebab dari semuanya?”—ujarnya sambil menyesap rokok. Kalau tidak salah,
ini adalah rokok ke-empatnya setelah rokok pertama-kedua-ketiganya ludes dalam
hitungan menit. “Aku tak bisa hidup tanpa perempuan. Sebelum-sebelumnya aku tak
pernah memutuskan kekasihku sebelum aku mempunyai kekasih yang lain. Mereka
yang kuputuskan kutinggalkan dengan mudahnya. Aku tak peduli bagaimana
setelahnya. Bukankah bukan urusanku lagi ?”
“Kamu
merasa nikmat mendua, Bar?” – Ah, bodoh sekali pertanyaanku. Aku bertanya
dengan jawaban yang sudah pasti tak ada jawaban lain selain “ya”.
“Mempunyai
perempuan lain itu nikmat Tuhan yang tak bisa didustakan lagi. Apa yang tidak
dimiliki pasangan perempuanku maka akan dilengkapi perempuan lain. Jika aku
bosan atau sedang tidak baik-baik saja dengan perempuanku, maka kudatangi
perempuan lainku. Lalu aku akan bahagia, aku akan tetap menikmati hidup yang
hanya sekali ini untuk bersenang-senang bersamanya. Hei, hidup sekali masih
saja dibikin ribet?”
Dalam
hati aku meng-iya-kan kata-kata Bara. Ada beberapa kalimat yang memang aku
garis bawah-i. Tapi tetap saja namanya mendua. Menghancurkan perasaan perempuan
yang tengah menaruh hati dan harapan besar kepadamu. Perempuan yang
mengorbankan seluruh perasaannya demi tetap bisa mencintaimu. Kau tidak akan
pernah tau segala tangis yang kau buat setelahnya. Kau tidak akan pernah tau
betapa kepingan hati yang sekalipun telah tersusun tidak akan utuh kembali.
Aku terdiam seribu bahasa. Bicara-pun rasanya
juga percuma. Yang tak pernah aku lupa, ini negara demokrasi. Dimana semua
orang bebas menyampaikan pendapatnya. Ya, kalau pendapat lelaki di depanku ini
sedemikian rupa. Aku bisa apa?
Lelaki
itu terus menatapku. Seolah Ia tau; aku tengah meng-iya-kan kalimat yang tak
akan pernah aku iya-kan. Mendua.
Aku
hanya menatap balik lelaki di depanku. Kali ini Ia tak lagi menyesap rokok
ke-empatnya sampai habis. Setengah dari rokok dibuangnya pada wadah kecil. Mungkin
Ia paham, racun-racun kecil dari rokok itu hanya akan membuatnya mati. Setelah
mati nanti dia akan kehilangan dua perkara penting dalam hidupnya; keindahan
dunia dan kenikmatan mendua.
Bahagiakah kamu dengan segala air mata yang tercucur begitu derasnya atas kepergianmu dengan perempuan lain ? - Aku
perempuan yang pernah memiliki lakon yang sama dengan perempuanmu.
Percakapan senja
yang
direkam penulis bersama Lelaki yang gemar mendua
Lelaki pendua-
Bagus cerpennya... :)
BalasHapusLelaki pendua tak begitu mengerti seluruh perasaan perempuannya :)
BalasHapus