Minggu, 31 Januari 2016

#30HariMenulisSuratCinta - Surat Cinta Pertama



Aku senang, karena pada akhirnya aku bisa mengikuti event setiap tahun yang diadakan @poscinta. Kalau tidak salah, sudah tiga februari aku mengikuti event ini. Tiga februari dengan coretan yang berbeda. Mulai dari tulisan saat hati sedang remuk-remuknya, lalu berbahagia walaupun dalam sandiwara, setelahnya benar-benar menjadi orang yang berbahagia karena telah menemukan titik bahagianya. 

Kalau tidak salah pula, ini adalah februari pertama dan terakhir dimana aku melibatkan sosokmu untuk menjadi jiwa dalam tulisan pertamaku saat ragamu masih disampingku. Satu musim, dan satu waktu sembahyang. Sebelum nanti akan dipisahkan jarak, ataupun dipisahkan dalam sebuah status yang selalu aku semogakan.

Semoga juga, aku tidak terlalu jatuh pada pengharapan-pengharapan yang pernah kita rapalkan bersama.

Aku tau, ini adalah tulisan kesekian tentangmu. Aku tak tau seberapa bosan kau membacanya.

Yang ku tau, semenjak pertama kali aku menatap dua bola mata indah yang menyipit seiring tawa lepasmu, semenjak itu pula keinginan untuk terus menerus menulis sesuatu tentangmu selalu membayangiku. Mengikuti kemana pun aku pergi. Bahkan mengukir bayangmu di segala arah, tak peduli apapun itu.

Aku mengukir bayangmu di tiap-tiap sudut kamarku, mengukir bayangmu di pantulan cermin, udara, bahkan aku selalu melihat bayangmu terpantul di bak mandi. Ah, sebegitu menggilaimu. Hingga aku tersadar, benar adanya aku pecandumu.

Aku mencintaimu tanpa syarat. Kau tau? Aku bahkan tidak pernah menyukai orang berbohong. Apapun itu. Dan jikalaupun kamu melakukannya, selalu saja ada celah maaf untukmu. Aku bahkan membenci orang yang tidak bisa mengatur waktunya sendiri, mungkin kamu adalah salah satunya. Dan entah kekuatan darimana, itu membuatku belajar artinya bersabar. Mungkin juga kekuatan cinta. Karena cinta itu memaafkan ...

Mas, kalau benar tulisan pencerita itu adalah doa. Anggap saja surat dibawah ini adalah doa yang sering aku rapal untukmu, dulu. Memang sih, aku sudah tidak merapal doa ini lagi. Sejak aku memutuskan menyudahi kebodohanku. Sejak seorang perempuan dekatku menyadarkanku dan meng-ah, sudahlah, itu masa lalunya.




Mencintaimu, adalah hal benar yang pernah kulakukan. Dan aku sudah mengucapnya berkali-kali. Bahkan dari ayam berkokok pada dini hari hingga matahari tak nampak lagi. Dan selalu saja, aku ingin menjadi perempuanmu satu-satunya tanpa ada perempuan lain dalam hidupmu, tentunya selain perempuan dalam keluargamu. Tak peduli masa lalu atau siapapun itu, yang jelas aku tak pernah menginginkan seorang perempuanpun mengisi lobus heparmu barang sedikit saja. Bahkan, itu sudah menjadi percakapanku dengan Tuhan selama ini. 

Pengharapanku yang lain adalah kamu yang dikirim Tuhan untuk tetap tinggal, bukan untuk pergi. Salah satu mimpi besarku adalah menjadikanku sebagai rumah yang akan tetap menjadi tempatmu untuk berpulang. Semoga juga kamu mengerti, rapalan doa yang tak pernah terhenti adalah selain melihatmu berbahagia juga menjadikanku perempuan yang pantas kau perjuangkan.

Aku baru saja menutup tab aplikasi bbm di ponselku ketika aku terakhir membalas pesanmu malam ini. Mendadak, aku menekan tombol huruf namamu pada keyboard di laptopku pada kotak pencarian di google. Sederhana sekali, niatku iseng saja. Toh mataku sudah letih menatapi jurnal demi jurnal yang tak kunjung selesai.

 Selalu dan selalu saja. Perempuan itu muncul lagi. Wajah perempuan yang selalu muncul setiap kali aku menulis namamu dalam pencarian. Aku tak tau seberapa banyak ia pernah ikut andil dalam kehidupanmu dulu. Sebelum kamu memperjuangkannya mati-matian lalu akhirnya ditinggalkan.

Aku bodoh untuk selalu melihat masa lalumu. Entah nanti kamu akan mendefinisikanku sebagai gadis aneh atau apa, aku tak peduli. Aku bahkan membenci diriku sendiri yang tak pernah bisa sepenuh hati menerima perkara masa lalumu. Selalu terbesit pertanyaan –Ah, sebegitu cintanya ya dulu?-

Mas, aku cemburu sama mantan kamu. Dia begitu cantik. Setidaknya, dia pernah mendengar kau memanggilnya cantik. Pasti juga kau pernah memeluknya dari belakang seperti yang kau lakukan padaku saat sedang bercermin. Dia bisa membuatmu sebegitu cinta dan sebegitu memperjuangkannya walaupun kau sendiri menyadari bahwa hatimu pernah tercabik berkali-kali olehnya.

 Lalu, bagaimana bisa kau mencintaiku sementara aku jauh dari kesempurnaan yang dia miliki?

Jujur saja, aku ini perempuan yang egois. Aku hanya ingin menjadi satu-satunya perempuan yang yang kau cintai.  Aku tau, salah satu sudut pandang cinta adalah melihat orang yang kita cintai berbahagia. Tapi sayang, aku bukan pecinta yang baik. Munafik, kalau aku bilang bahagia melihatmu berbahagia dengan yang lain. Aku bahkan tak pernah merelakan ada satu celahpun perempuan lain terbesit dalam pikiranmu.

Aku tau, betapa apatis dan jijiknya kau membaca tulisanku yang cacat karena membahas masa lalumu. Aku minta maaf untuk itu, bahkan aku rela jika konsekuensi terbesar dari tulisanku ini adalah kau mati rasa padaku. Tak apa. Kelak hari, aku janji seberapapun ingin, tak ingin kuhidupkan lagi kisah lalumu walau hanya dalam tulisan kecilku.


Rabu, 20 Januari 2016

Secangkir Lagi, Ya ?


Perempuan itu menyodorkan secangkir kopi panas padaku. Bukan kopi hitam. Bukan.
 Jujur, aku bukan pecinta kopi yang baik. Aku bahkan tak pernah menyukai kopi hitam manapun selain buatan ibuku. Rasanya pahit. Bahkan aku enggan menambahkan gula pada kopiku. Entahlah, aku tak terlalu menyukai pemanis untuk hal-hal yang dikodratkan pahit.

 Cappucino.

Aku menatap hujan disela-sela jendelaku lagi. Masih deras, semakin deras. Bulir-bulirnya semakin rapat menutupi senja yang seharusnya sudah menguning di pucuk sinar-sinar mentari. Aku benci sekali dengan keadaan seperti ini. Aku menggilai senja, namun aku pun tak akan pernah bisa membenci hujan.

“Sudahlah, Ve. Bagaimana kau bisa menasehatiku sementara kau tak pernah bisa mengendalikan rasamu sendiri …”

Rara. Sahabat dari kecil yang sampai sekarang menjadi teman apapun itu. Sembilan belas tahun berteman, membuatnya hafal betul dengan karakterku. Dia mengusap rambutku perlahan, lalu berbisik lirih.

“Kau punya masa lalu. Dia juga punya masa lalu. Jangan bodoh untuk memikirkan hal yang tak pantas sama sekali muncul dalam ingatanmu”

Aku tak peduli. Lebih tidak peduli. Aku terus menggali folder lama milik kekasihku. Pelan-pelan, kutatap satu persatu gambar. Dan selalu wajah perempuan itu muncul dalam layar persis didepanku. Dua anak manusia yang pernah saling mencinta sebelum hingga akhirnya kandas dan meninggalkan luka bagi orang yang saat ini aku cinta.

Argh. Ini sangat tidak menyenangkan. Tiba-tiba saja segenap tubuhku dikuasai rasa marah, tidak terima, mungkin, semacam cemburu.

Refleks kuhapus beberapa foto yang membuatku semakin menyala berapi-api.

“Harusnya, aku enggak perlu merasa sakit hati separah ini, Ra …”

“Ya emang gak seharusnya kayak gitu, Ve” Rara menekan gambar silang pada layar pojok atas.

“Ah, jadi begini perasaan Freya saat mengetahui bagaimana kisah lalu Adrian”

Kali ini Rara mendengus tak senang. Pelan-pelan ia menyandarkan tubuhnya di ranjang sampingku berdiam.

“Tapi, paling nggak mereka beruntung karena Freya bisa dengan mudah menerima seburuk-buruknya masa lalu Adrian. Mereka tidak mempermasalahkan itu. Bilang tak peduli, ya tak peduli”.

Aku tertawa perih. Menanggapi Rara dan mengingat bagian-bagian yang tak menyenangkan itu sekaligus.

“Harusnya ada yang mengingatkanku, bahwa Freya dan Adrian hanya ada di remember when.” Lirihku.

Remember when.
Freya.
Adrian.

Hujan semakin menjatuhkan dirinya berulang-ulang. Secangkir kopi didepanku tidak lagi dingin, mungkin sudah kosong. Selama ini, aku terlalu mengorbankan lambungku hanya untuk sedikit membuatku menahan rasa tak menyenangkan dalam tubuhku.

Ra, cappuccino secangkir lagi, ya ?