Perempuan
itu menyodorkan secangkir kopi panas padaku. Bukan kopi hitam. Bukan.
Jujur, aku bukan pecinta kopi yang baik. Aku
bahkan tak pernah menyukai kopi hitam manapun selain buatan ibuku. Rasanya
pahit. Bahkan aku enggan menambahkan gula pada kopiku. Entahlah, aku tak
terlalu menyukai pemanis untuk hal-hal yang dikodratkan pahit.
Cappucino.
Aku
menatap hujan disela-sela jendelaku lagi. Masih deras, semakin deras.
Bulir-bulirnya semakin rapat menutupi senja yang seharusnya sudah menguning di
pucuk sinar-sinar mentari. Aku benci sekali dengan keadaan seperti ini. Aku
menggilai senja, namun aku pun tak akan pernah bisa membenci hujan.
“Sudahlah,
Ve. Bagaimana kau bisa menasehatiku sementara kau tak pernah bisa mengendalikan
rasamu sendiri …”
Rara.
Sahabat dari kecil yang sampai sekarang menjadi teman apapun itu. Sembilan belas
tahun berteman, membuatnya hafal betul dengan karakterku. Dia mengusap rambutku
perlahan, lalu berbisik lirih.
“Kau
punya masa lalu. Dia juga punya masa lalu. Jangan bodoh untuk memikirkan hal
yang tak pantas sama sekali muncul dalam ingatanmu”
Aku
tak peduli. Lebih tidak peduli. Aku terus menggali folder lama milik kekasihku.
Pelan-pelan, kutatap satu persatu gambar. Dan selalu wajah perempuan itu muncul
dalam layar persis didepanku. Dua anak manusia yang pernah saling mencinta
sebelum hingga akhirnya kandas dan meninggalkan luka bagi orang yang saat ini
aku cinta.
Argh.
Ini sangat tidak menyenangkan. Tiba-tiba saja segenap tubuhku dikuasai rasa
marah, tidak terima, mungkin, semacam cemburu.
Refleks
kuhapus beberapa foto yang membuatku semakin menyala berapi-api.
“Harusnya,
aku enggak perlu merasa sakit hati separah ini, Ra …”
“Ya
emang gak seharusnya kayak gitu, Ve” Rara menekan gambar silang pada layar
pojok atas.
“Ah,
jadi begini perasaan Freya saat mengetahui bagaimana kisah lalu Adrian”
Kali
ini Rara mendengus tak senang. Pelan-pelan ia menyandarkan tubuhnya di ranjang
sampingku berdiam.
“Tapi,
paling nggak mereka beruntung karena Freya bisa dengan mudah menerima seburuk-buruknya
masa lalu Adrian. Mereka tidak mempermasalahkan itu. Bilang tak peduli, ya tak
peduli”.
Aku
tertawa perih. Menanggapi Rara dan mengingat bagian-bagian yang tak
menyenangkan itu sekaligus.
“Harusnya
ada yang mengingatkanku, bahwa Freya dan Adrian hanya ada di remember when.”
Lirihku.
Remember when.
Freya.
Adrian.
Hujan
semakin menjatuhkan dirinya berulang-ulang. Secangkir kopi didepanku tidak lagi
dingin, mungkin sudah kosong. Selama ini, aku terlalu mengorbankan lambungku
hanya untuk sedikit membuatku menahan rasa tak menyenangkan dalam tubuhku.
Ra, cappuccino
secangkir lagi, ya ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar