Rabu, 20 Januari 2016

Secangkir Lagi, Ya ?


Perempuan itu menyodorkan secangkir kopi panas padaku. Bukan kopi hitam. Bukan.
 Jujur, aku bukan pecinta kopi yang baik. Aku bahkan tak pernah menyukai kopi hitam manapun selain buatan ibuku. Rasanya pahit. Bahkan aku enggan menambahkan gula pada kopiku. Entahlah, aku tak terlalu menyukai pemanis untuk hal-hal yang dikodratkan pahit.

 Cappucino.

Aku menatap hujan disela-sela jendelaku lagi. Masih deras, semakin deras. Bulir-bulirnya semakin rapat menutupi senja yang seharusnya sudah menguning di pucuk sinar-sinar mentari. Aku benci sekali dengan keadaan seperti ini. Aku menggilai senja, namun aku pun tak akan pernah bisa membenci hujan.

“Sudahlah, Ve. Bagaimana kau bisa menasehatiku sementara kau tak pernah bisa mengendalikan rasamu sendiri …”

Rara. Sahabat dari kecil yang sampai sekarang menjadi teman apapun itu. Sembilan belas tahun berteman, membuatnya hafal betul dengan karakterku. Dia mengusap rambutku perlahan, lalu berbisik lirih.

“Kau punya masa lalu. Dia juga punya masa lalu. Jangan bodoh untuk memikirkan hal yang tak pantas sama sekali muncul dalam ingatanmu”

Aku tak peduli. Lebih tidak peduli. Aku terus menggali folder lama milik kekasihku. Pelan-pelan, kutatap satu persatu gambar. Dan selalu wajah perempuan itu muncul dalam layar persis didepanku. Dua anak manusia yang pernah saling mencinta sebelum hingga akhirnya kandas dan meninggalkan luka bagi orang yang saat ini aku cinta.

Argh. Ini sangat tidak menyenangkan. Tiba-tiba saja segenap tubuhku dikuasai rasa marah, tidak terima, mungkin, semacam cemburu.

Refleks kuhapus beberapa foto yang membuatku semakin menyala berapi-api.

“Harusnya, aku enggak perlu merasa sakit hati separah ini, Ra …”

“Ya emang gak seharusnya kayak gitu, Ve” Rara menekan gambar silang pada layar pojok atas.

“Ah, jadi begini perasaan Freya saat mengetahui bagaimana kisah lalu Adrian”

Kali ini Rara mendengus tak senang. Pelan-pelan ia menyandarkan tubuhnya di ranjang sampingku berdiam.

“Tapi, paling nggak mereka beruntung karena Freya bisa dengan mudah menerima seburuk-buruknya masa lalu Adrian. Mereka tidak mempermasalahkan itu. Bilang tak peduli, ya tak peduli”.

Aku tertawa perih. Menanggapi Rara dan mengingat bagian-bagian yang tak menyenangkan itu sekaligus.

“Harusnya ada yang mengingatkanku, bahwa Freya dan Adrian hanya ada di remember when.” Lirihku.

Remember when.
Freya.
Adrian.

Hujan semakin menjatuhkan dirinya berulang-ulang. Secangkir kopi didepanku tidak lagi dingin, mungkin sudah kosong. Selama ini, aku terlalu mengorbankan lambungku hanya untuk sedikit membuatku menahan rasa tak menyenangkan dalam tubuhku.

Ra, cappuccino secangkir lagi, ya ?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar