Senin, 20 Oktober 2014

Ayah, aku mencintaimu ...

Salam, namaku Alvy. 
Ini adalah salah satu nama dari kesekian nama yang bermetamorfosa. Kenyataannya namaku Rizka. Keluarga besarku memanggilku Ica. Dan teman sekolah-sejawatku memanggil Alvy. Baiklah, perkara nama kau bisa memanggilku siapa-pun kalian suka selagi masih ber-arti baik dan masih menjadi tiap-tiap pendoa. 

Aku terlahir dari keluarga yang biasa. Sangat biasa malah. Ayahku bukan pengusaha maupun pejabat yang rezekinya mengalir deras dari waktu ke waktu. Untuk mengais rezeki, Ayah harus bekerja keras membanting tulang mengelap tetesan-tetesan keringat untukku. Untuk kuliahku. 

Aku masih bersyukur memiliki orang yang senantiasa berkorban banyak mengais rezeki untuk segala kebutuhanku. Mengingat Ayah dulu bukan berasal dari keluarga yang mampu. Bahkan, Ayah menyelesaikan pendidikannya hingga Sarjana itu-pun dengan biayanya sendiri, setelah Ayah menikah tentunya. Ayah berhasil mendapat gelar Sarjana saat sudah mempunyai dua permata hati. Aku dan adik laki-laki-ku. 

Ayah adalah orang yang tegas. Segala keputusan beliau ambil dengan sangat hati-hati dan setelah pemikiran ulang tentunya. Aku tau, Ayah sebegitu menyayangiku. Bahkan, di usia yang hampir berkepala dua ini pun dan sekian lama aku jauh dari orangtua, nama Ayah selalu menjadi penyebab berderingnnya ponselku. Bahkan, untuk sekedar mengingatkan makan-pun. 

"Mbak, sudah makan?Jangan sampai telat makan. Jangan makan yang pedas-pedas. Tidurnya jangan larut malam, dan jangan lupa untuk selalu berdoa. Mendoakan Ibu, Ayah, dan kelancaran study-mu"

Begitulah kira-kira suara Ayah dari seberang telfon yang aku dengarkan setiap hari. Kadang aku sedikit membencinya, karena aku berpikiran aku ini sudah besar, tak perlu diingatkan sedemikian rupa. 

Ayah tak melarangku bergaul dengan siapapun, pergi kemanapun selagi jelas dan ada batasannya. Oh iya ! aku bahkan lupa. Aku termasuk salah satu anak yang tak mempunyai kesempatan keluar malam. Ayahku, tak mengizinkan aku untuk keluar malam hari. Kecuali mendatangi acara-acara resmi, itupun harus jelas pergi sama siapa dan pulang maksimal jam sembilan malam. Aku sempat kesal. Bayangkan saja, diluar sana banyak Anak muda yang bebas keluar bahkan pada malam hari kemanapun mereka pergi. Sedangkan aku? mendekam di dalam rumah. Sekalipun aku keluar malam untuk main, itu pun sama keluarga. 

Setelah aku jauh dari Ayah, aku merasa hidupku bebas. Aku bebas keluar malam bersama teman-teman. Dua tahun aku mengalami hal sedemikian, aku mulai mengerti dunia malam. Beruntung, teman-temanku senasib denganku yang dimana saat dirumah mempunyai batasan-batasan main. Aku menjelajah dunia malam karena ingin merasakan sensasi dunia malam.

Dan setelahnya, aku menyadari. Dunia malam kotaku ini sangat keras. Hal-hal yang bahkan biasanya aku hanya melihat di televisi kini bisa aku jumpai dimana-mana. Sekarang aku tau, apa maksud tersirat Ayah saat ini. Ayah, aku benar-benar sedang merindukanmu ...

Aku berpikir. Seandainya aku tidak memiliki Ayah yang membatasi keluar malamku, pasti aku berada pada salah satu diantara mereka yang sering kujumpai bahan menjadi bahan gunjingan dengan teman-temanku. Dimana aku bebas keluar malam, bebas meneguk minuman yang diharamkan agama-ku. 
Dan yang lebih membuatku tersadar, sosok Ayah yang menyelamatkanku dari semua itu....




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar