Sabtu, 23 Mei 2015

Rainbow Speak, Ketika pelangi tak mampu lagi berbicara



Hai, selamat malam kegelapan. Masihkah kau menyimpan berjuta harapan? Atau justru kenangan yang kian diingat kian menyakitkan?

Ah sudahlah, hidupmu terlalu sebentar untuk mengurusi mantan. Walaupun benar adanya pelangi setelah hujan. 

Apa kamu lupa? Ada pelangi karena hujan?

Baiklah. Kalau begitu, terima kasih mantan.

Berapa kali lagi aku harus meminta maaf atas kebodohan mengingkari janjiku sendiri? Menghadirkanmu kembali sebagai jiwa dalam tulisanku, adalah kesalahan terbesar kedua setelah pernah memilihmu dan menjadikanmu satu-satunya.

Hai, mantan Long Distance Relationshit.
Bagaimana kabarmu? Sampai mana penelitianmu? Aku sudah memasuki fase dimana total pikiranku macet, halaman tak bertambah. Tak inginkah kau melecut dirimu sendiri untuk berlomba lulus mendahuluiku? Setidaknya keinginanmu untuk fokus ke masa depan sebagai alasan meninggalkanku membuahkan hasil.

Mantan,
Bagaimana kabarmu? Bagimana dengan perempuanmu saat ini?
Baik-baik sajakah? Atau, sedang dalam masa diam, muntab, beradu dan berkecamuk dimana hubungan bergeser ke kurva diambang kandas? Ah, semoga saja tidak. Semoga perjuangan hebatmu mendapatkannya sampai menghancurkan hati anak orang tidak berakhir sia-sia. Semoga tetap manis sama seperti saat kau memilihnya untuk meninggalkanku.

Perempuanmu cantik; begitu. Dibandingkan aku yang begitu terlihat berantakan di pantulan cermin. Tapi setidaknya dia pernah mendengar kau memanggilnya ‘cantik’.
Apakah cantiknya bisa membuatmu tertawa seperti saat kau mengantarkanku pada keberangkatan terakhir di stasiun? Atau kau juga melakukan hal yang sama mengusap kaki lukanya didepan umum seperti yang kau lakukan padaku waktu itu? Atau, dia sama sumringahnya begitu melihat tanda kehadiranmu? 

Entahlah, otakku benar-benar memaksaku untuk memutar ke halaman belakang lebih jauh lagi. walau naluri berkata; aku tak akan peduli lagi.

Mantan,
Sepeninggalanmu memang meninggalkan cacat yang luar biasa untukku. Sempat menghancurkan, bahkan remuk aku kala itu. Tapi Sungguh guyonan Tuhan yang maha dahsyat, mengirimkan sosokmu untuk memberi pelajaran bagiku.
Belajar untuk apa? Belajar untuk memperbaiki diri, untuk bersiap menerima takdir yang jauh lebih baik darimu.

Mungkin jiwamu mengatakan aku masih mencintaimu; atau bahkan aku tak ada yang mau. Itulah sebab aku masih sendiri. Tapi ternyata jiwamu lelah, piknikmu kurang jauh pulangmu kurang malam. Mantan, seandainya kamu tau; kalau bukan karena ketulusan akan keinginan yang luar biasa untuk memperbaiki diri, mungkin bisa saja kala itu aku menduakan atau bahkan mentigakan cintamu. :’)

Lukisan tuhan yang cerah waktu itu memang sempat terbakar api, dan  hujan memadamkan semuanya. Hujan memang menghancurkan, melumpuhkan, bahkan meluluhlantakkan segala yang ada; yang telah terjadi. Walau setelahnya hanyut bersama segala luruhan yang dibuatnya. Namun yang perlu kamu tau adalah Lukisan Tuhan yang tercipta dalam bentuk lain, yang jauh lebih indah sebagai kompensasi segala kejadian sebelumnya; Pelangi.

Pelangi itu tersenyum. Sesekali bersuara walau tak mampu lagi berbicara :’)


 




Jumat, 01 Mei 2015

Dunia dan sepenggal rekamannya



17.00 WIB
Dari sudut kota Jogja

Kutelusuri sepanjang jalan kaliurang. Tak jauh, dari kilometer sepuluh hingga tugu; yang merupakan mitos dari segala mitos Jogja. Lalu, aku berbelok ke kiri menyusuri sepanjang Gondolayu-Jln Sudirman.

Aku, dan seorang teman perempuanku sedang berusaha melepas sisa-sisa penat bercampur segala materi ujian di otak. Perkenalkan, kami adalah dua mahasiswi tingkat akhir yang gemar berpesta dan bersenang-senang ditengah padatnya blok penyakit dalam, ditengah sibuknya ujian, sembari dipeluk berbagai revisian skripsi. Kamu? Sedang kamu adalah pembaca yang dikirimkan Tuhan untuk mengaminkan tiap-tiap bait yang kutulis sekarang.

Pertama;
Aku berhenti pada salah satu kuliner yang melegenda; yang setiap seminggu sekali wajib dikunjungi dan mitosnya akan kuperkenalkan pada anak cucuku nanti (cielah, calon suami punya buuk?) hahaha

Tersebutlah Baso Malang Sorringin. Tempatnya? Jangan membayangkan tempatnya di sebuah ruko dengan tempat yang nyaman dan adem. Tempat makan ini tempatnya di trotoar, tepatnya di jln cik ditiro depan rumah sakit YAP. Dimana hanya tersedia dua meja besar dan beberapa kursi untuk dipakai bersamaan. Bahkan untuk mencari tempat aja harus ngantri. Untuk rasa? NGGAK MENGECEWAKAN. Sebanding dengan capek ngantrinya.

Malu? Why? Kebetulan aku dan temenku bukan tipikal orang yang malu buat makan di pinggiran. Hidup adalah tentang bagaimana kamu menyesuaikan keadaan. Kami bisa saja berlaku selayaknya Tuan puteri saat makan di Table d’hote restaurant, merasa freedom saat minum di bar, feel like home saat ngopi di cafe, dan mahasiswa aslinya saat makan di pinggiran bersama tenda dengan segala lesehannya. 

A girl should be two things; classy and fabolous – Coco Chanel

Kedua; 
Kembali lagi menyusuri jalanan Jogja. Untuk kesekian kali; Jogja adalah tentang segala kebosanan, tapi selayaknya magnet di dalamnya. Ada saja kerinduan yang membuatku untuk selalu kembali ke kota ini.

Dari jalanan yang selalu mengingatkan tentang semua. Ya, semuanya. Aku tak akan pernah lupa bagaimana convoi kelulusan SMU itu terjadi. Saat dimana kami bercoret-coretan dan bertukar tanda tangan di baju putih tak berdosa, sepatu converse yang melejit pada jamannya. Seakan ini adalah pertanda terakhir bersama sebelum pada akhirnya berpisah untuk masa depan masing-masing. 

Dari sudut jalanan yang sama; adalah waktu terekam yang berbeda. Dimana pernah kulalui dengan orang yang berbeda. Mungkin, tiga atau empat tahun yang lalu aku sedang bolos bersama teman-teman, atau sedang menuju perjalanan kencan dengan kekasih waktu itu, atau bisa jadi sedang bertengkar hebat di dalam mobil hingga berpisah sampai sekarang. Hanya waktu yang bersaksi :’)

Masih di sudut yang sama. Sebuah café berdiri kokoh pada tempatnya. Selalu, masih dengan suasana yang tak berbeda. Tak berubah sedikitpun dari pertemuan terakhir yang sampai sekarang tak akan bersua lagi. Mungkin, satu dari sekian telah menghilang.

Tuhan menciptakan dunia selayaknya recorder, yang merekam setiap peristiwa dan mengabadikannya dalam tiap-tiap ingatan.