17.00 WIB
Dari sudut kota Jogja
Kutelusuri sepanjang jalan
kaliurang. Tak jauh, dari kilometer sepuluh hingga tugu; yang merupakan mitos
dari segala mitos Jogja. Lalu, aku berbelok ke kiri menyusuri sepanjang
Gondolayu-Jln Sudirman.
Aku, dan seorang teman
perempuanku sedang berusaha melepas sisa-sisa penat bercampur segala materi
ujian di otak. Perkenalkan, kami adalah dua mahasiswi tingkat akhir yang gemar
berpesta dan bersenang-senang ditengah padatnya blok penyakit dalam, ditengah sibuknya
ujian, sembari dipeluk berbagai revisian skripsi. Kamu? Sedang kamu adalah
pembaca yang dikirimkan Tuhan untuk mengaminkan tiap-tiap bait yang kutulis
sekarang.
Pertama;
Aku berhenti pada salah
satu kuliner yang melegenda; yang setiap seminggu sekali wajib dikunjungi dan
mitosnya akan kuperkenalkan pada anak cucuku nanti (cielah, calon suami punya
buuk?) hahaha
Tersebutlah Baso Malang
Sorringin. Tempatnya? Jangan membayangkan tempatnya di sebuah ruko dengan
tempat yang nyaman dan adem. Tempat makan ini tempatnya di trotoar, tepatnya di
jln cik ditiro depan rumah sakit YAP. Dimana hanya tersedia dua meja besar dan
beberapa kursi untuk dipakai bersamaan. Bahkan untuk mencari tempat aja harus
ngantri. Untuk rasa? NGGAK MENGECEWAKAN. Sebanding dengan capek ngantrinya.
Malu? Why? Kebetulan aku
dan temenku bukan tipikal orang yang malu buat makan di pinggiran. Hidup adalah
tentang bagaimana kamu menyesuaikan keadaan. Kami bisa saja berlaku selayaknya
Tuan puteri saat makan di Table d’hote restaurant, merasa freedom saat minum di
bar, feel like home saat ngopi di cafe, dan mahasiswa aslinya saat makan di
pinggiran bersama tenda dengan segala lesehannya.
A girl should be two
things; classy and fabolous – Coco Chanel
Kedua;
Kembali lagi menyusuri
jalanan Jogja. Untuk kesekian kali; Jogja adalah tentang segala kebosanan, tapi
selayaknya magnet di dalamnya. Ada saja kerinduan yang membuatku untuk selalu
kembali ke kota ini.
Dari jalanan yang selalu
mengingatkan tentang semua. Ya, semuanya. Aku tak akan pernah lupa bagaimana
convoi kelulusan SMU itu terjadi. Saat dimana kami bercoret-coretan dan
bertukar tanda tangan di baju putih tak berdosa, sepatu converse yang melejit
pada jamannya. Seakan ini adalah pertanda terakhir bersama sebelum pada
akhirnya berpisah untuk masa depan masing-masing.
Dari sudut jalanan yang
sama; adalah waktu terekam yang berbeda. Dimana pernah kulalui dengan orang
yang berbeda. Mungkin, tiga atau empat tahun yang lalu aku sedang bolos bersama
teman-teman, atau sedang menuju perjalanan kencan dengan kekasih waktu itu,
atau bisa jadi sedang bertengkar hebat di dalam mobil hingga berpisah sampai
sekarang. Hanya waktu yang bersaksi :’)
Masih di sudut yang sama. Sebuah
café berdiri kokoh pada tempatnya. Selalu, masih dengan suasana yang tak
berbeda. Tak berubah sedikitpun dari pertemuan terakhir yang sampai sekarang
tak akan bersua lagi. Mungkin, satu dari sekian telah menghilang.
Tuhan menciptakan dunia selayaknya recorder, yang merekam setiap peristiwa dan mengabadikannya dalam tiap-tiap ingatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar