Selamat
pagi, Ibu! Anak perempuanmu rindu.
Ah,
terimakasih semesta telah mengizinkan menemui pagi dimana saya mendengar
teriakan Ibu untuk bangun. Maafkan saya yang selama ini lalai, terlalu sibuk
mengejar gelar hingga akhirnya sekedar menanyakan kabarpun menjadi hal yang
langka. Iya, langka.
Rumah
pagi ini selalu menyisakan aroma yang khas. Seperti kebanyakan orang pada
umumnya begitu satu jengkal melangkah akan mencium bau obat. Bahkan,orang
keluar-masuk berobat dengan segala diagnosis dan prognosis pun sudah menjadi
makananku sehari-hari. Rumah yang selalu memiliki alasan untukku berpulang.
Tuhan,
entah sudah seberapa banyak nikmat yang Kau beri sementara aku sendiri ingkar.
Kau tau dua perempuan yang selalu dan selalu aku rindukan bukan, Tuhan? Iya. Dua
perempuan itu adalah semangat terbesarku. Kesabaran yang begitu luas tak
terbatas ruang yang selalu membuatku berdecak kagum. Aku yakin,bahkan doa-doa mereka ada pada
setiap tetesan darah di nadiku.
Ah,
maaf saya tidak bisa menyembunyikan air mata diatas kerinduan yang teramat
rindu ini.
Tuhan,
terimakasih telah menciptakan kesempurnaan pada kedua perempuanku. Kau tau aku begitu mengagumi kedua Ibuku. Aku ingin sesempurna mereka, Tuhan. Supaya
kelak aku bisa tersenyum melihat gadis kecilku menuliskan hal yang sama.
Walaupun aku tau, tak akan ada kata sempurna untuk sosok sepertiku.
Tidak,
aku tidak akan menjadi sempurna. Mana ada kata sempurna jika penyakit itu masih
saja membuat ginjalku harus bekerja lebih berat, aku bahkan harus selektif
memilih obat agar tidak memperparah dari kerewelan gasterku, aku harus sedia
obat dimusim-musim seperti ini untuk menangulangi hipersesitivitaku. Tak
mengapa, saya selalu percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini,
sekecil apapun itu, akan selalu memiliki alasan.
Kedua Ibuku, ya keduanya. Ibu yang melahirkanku dan ibu yang melahirkan kekasihku. Aku tau, benar adanya Tuhan selalu mengirimkan penyembuh-penyembuh luka yang tak pernah kuduga.
Ibu Elfa, Ibu kekasihku. Tuhan pun tau, beliau adalah sebenar-benarnya Ibu. Kesabaran dan kelembutan hatinya adalah cermin betapa Tuhan takakan pernah salah mengirimkan sosok seperti beliau untukku. Ibu, aku rindu. Andaikan Jogja-Manna laksana Jakal-Gejayan ya, Ibu.
Ibuku yang selalu mengusapku tatkala bangun, mencium keningku seraya berkata "anak Ibu cantik, yang sehat ya nak". Aku tau, betapa hasil laboratorium mengenai urologiku benar-benar membuat hatinya hancur. Sebagai orang yang paham dari etiologi sampai komplikasinya, Ibu selalu mengkhawatirkan keadaanku. Ibu, aku janji. Seberat apapun terapinya nanti, aku takakan membiarkan ginjalku rewel dan berakhir kegagalan. Aku janji, Ibu.
Tuhan
sayang, semoga Kau tak akan jenuh mendengar segala permintaan-permintaan saya.
Saya percaya Kau begitu menyayangi kedua perempuanku. Kau begitu maha Derma.
Tolong jangan hapus kesempurnaan dalam jiwa mereka. Beri yang terbaik diantara
mereka, sekecil apapun itu. Hapus segala air mata dan jadikan segala kesedihan
diantara mereka sebagai penggugur dosa.
Tuhan,
tolong rengkuh tanganku dan peluk kedua Ibuku sebagai terapi dari segala kerinduanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar