Yogyakarta, Maret 2011
"Haruskah kamu se-gelap mata gelap hati
seperti ini sampai lupa rasanya pernah aku sayang, Ngga?" katanya lirih. dari seberang telepon terdengar jelas sekali dia terisak.
Tak membuang waktu lebih lama, ku tekan tombol merah pada ponselku. Aku sangat membenci isakannya yang kian memusingkan.
Tak membuang waktu lebih lama, ku tekan tombol merah pada ponselku. Aku sangat membenci isakannya yang kian memusingkan.
Dia adalah kekasihku, sekaligus sahabatku ketika
kami masih kecil. Aku mengenalnya sudah lama. Dari hidupku, aku mempunyai dua
wanita dimana aku tumbuh bersama mereka. Dan kali ini, aku jatuh hati pada
salah satu diantara mereka. Afia.
Aku menghela nafas panjang. Sesekali aku menyesap
rokok yang ada diantara dua jariku. Ini adalah isapan kesekian setelah mantan
kekasih yang kuputuskan beberapa menit yang lalu melakukan kebodohannya.
Dering telfonku berbunyi lagi. Nama yang ku duga
menghiasi layar ponselku. Aku membiarkannya terus berbunyi. Kecewa memang telah
mengubah semua. Termasuk mengubah percakapan manis dua anak manusia saat-saat
dering yang sama menggetarkan ponselku.
Mungkin dia masih tengah berusaha ingin
menjelaskan alasan yang tak masuk akal itu. Dasar wanita. Dikasih kepercayaan
dibalesnya penghianatan. Aku tau, ini memang kesalahan pertama yang ia lakukan.
Sebelum-sebelumnya aku tak pernah semarah ini.
Sebelumnya juga, dia tak pernah bertingkah bodoh
seperti ini.
Walaupun aku sering menghilang hanya untuk
bermain dan menghabiskan waktu bersama teman-teman, dia tak pernah marah.
Bagiku, dia adalah nomer kesekian setelah keluarga, teman, dan puluhan game
yang menghiasi hidupku.
Anehnya, Dia tak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Toh, dia memang bukan wanita yang hidupnya berdrama. Tapi untuk kali ini intensitas drama-nya memuncak.
Anehnya, Dia tak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Toh, dia memang bukan wanita yang hidupnya berdrama. Tapi untuk kali ini intensitas drama-nya memuncak.
"Sudahlah Ngga. Ndak sebaiknya kamu
bertingkah sekonyol ini. Kau lupa, kau pernah sebegitu mencintainya sampai kau
harus terlalap api cemburu dengan mantan kekasihnya, kan?" Ujar fauzan
sambil mengambil sebatang rokok didepanku.
Dia adalah salah satu temanku yang paling dekat, bahkan aku selalu mengenalkannya pada pacar-pacarku dulu.
Dia adalah salah satu temanku yang paling dekat, bahkan aku selalu mengenalkannya pada pacar-pacarku dulu.
"Mau minum?" Tawarnya kembali.
Tangannya menggenggam dua botol nestea honey gingseng. Aku teringat, ini
minuman kesukaanku sekaligus minuman yang dibenci afia. Pernah sesekali dia
meneguk dan memuntahkan kembali persis didepanku. Waktu itu, raut wajahnya lucu
sekali.
"Kau tau?" ujarku sesaat pada fauzan.
Tanganku meraih stick dan memainkan Dota kembali.
"Aku semalam mengajak Afia pergi. Dia bilang
nggak bisa karena banyak tugas. Besoknya dia pamit mau tidur siang. Siapa
menyangka status facebook-nya bilang dia lagi di plaza sama Ardian. Kan
bangsat... " aku menelan ludah sebentar. Mood-ku untuk bermain Dota habis
seketika.
"Aku telfon berulang kali tak dijawab. Baru
setelahnya diamgkat. Dia bilang bahwa facebooknya di hack. Bagaimana bisa akun
facebook bisa ditangan orang ? lagi pula orang membuat status pasti ada
sebabnya. Intinya, dia bohongi aku" kali ini aku log out PC dan aku
berjalan menuju kasir.
"Kamu mau kemana, bro ? kok udahan gitu
aja" Fauzan terheran-heran melihatku yang tak biasanya bermain dota dengan
durasi kurang dari dua jam.
"Aku mau pulang lah. Capek. Mau tidur"
sesaat aku meninggalkan game center di kawasan Timoho.
Dia alasan kuatku kembali,
Memaafkan, dan
menutup semua yang menyakitkan
Game center, Mei 2011
Gadis didepanku ini tengah sibuk membenahi
earphone yang melilit di telinganya. Tangannya sibuk menekan tuts ipodku.
Sesekali dia menyandarkan tubuhnya di bahuku. Mengisyaratkan dia lelah sekali
menungguku berjam-jam didepan layar komputer. Tapi dia tak pernah rewel
mengajakku pulang. Tak pernah kapok menemaniku berfantasi dalam permainan. Dia
memang berbeda dari mantan kekasih-kekasihku yang dulu. Dan untuk kali ini aku
membandingkannya. Dia yang menjadi alasanku kembali.
"kamu capek?" aku memandang wajah sayunya.
Dia menggeleng. Aku beranjak dari kursiku, meminta sebatang rokok pada operator
dan kembali membawakan sebuah milo kemasan kaleng. Dia begitu menggilai milo
yang didepannya.
Aku sangat mencintai Afia. Menjalin cinta untuk
yang kedua kalinya, aku berusaha untuk terbuka dengan harapan dia melakukan hal
yang sama. Sehingga semua kebohongan terminimalisir.
Bahkan aku sempat mengajaknya ke rumah,
mempertemukan sama mama-papaku. Dan hal itu kulakukan tidak hanya sekali. Kedua
adik kembarku juga sangat dekat dengannya. Bahkan, intensitas kedekatanku
dibanding Afia tak seberapa.
Mamaku, sangat menyayangi Afia. Tak jarang mama
minta dijemput kerja saat aku sedang bersama Afia, dan makan bertiga dengan
kekasihku itu. Entah karena Afia bisa 'ngemong' adik-adikku dibanding aku, atau
karena dimata mama Afia memiliki masa depan seperti yang diinginkan mama.
Mama selalu menganggap Afia seperti anak sendiri.
Disatu sisi aku senang karena kekasihku begitu diterima baik dalam
keluargaku.
Disisi lain aku merasa iri dengan perhatian mama
yang sedikit-sedikit mengarah ke Afia. Mama selalu memuji-muji Afia secara
berlebihan karena Afia masuk program IPA. Afia memang bercita-cita menjadi
dokter. Sebelumnya, aku dan mama sempat ada kontroversi mengenai program yang
akan ku ambil. Mama bersikeras untukku masuk program IPA. Mengingat mamaku
adalah seorang dokter dan memiliki klinik swasta, beliau ingin aku meneruskan
perjuangan dan cita-citanya.
Tapi tidak di aku. aku begitu membenci pelajaran
fisika. Hal ini-lah yang membuatku malas belajar hingga akhirnya aku terdampar
dalam program sosial. Mau tak mau ya aku mengikuti jalanku. Toh, di program
sosial-pun aku masih bercita-cita masuk universitas terkemuka di Bandung.
Setidaknya, ingin ku buktikan pada mama bawasanya jalan suksesku tidak hanya di
satu jalan.
---
Akhir-akhir ini aku jarang membawa Afia ke rumah
dengan alasan malas mendengar perbandingan mama untukku dan Afia. Entah
mengapa, chemistryku pada Afia tak sekuat dulu. Aku menganggap Afia telah
berhasil mencuri perhatian mama sehingga dia selayaknya lebih disayang
ketimbang anak kandungnya sendiri.
At last i found someone
who accompany and understanding
Disini aku seperti terjebak dalam sebuah drama
kehidupan.
Drama pertama, Mama selalu membandingkan
kemampuanku dengan Afia membuat aku semakin malas pulang kerumah. Malas
berkontak dengan mama. Malas dijadikan objek pembanding. Mungkin baginya semua
ini diluar kesengajaan Afia. Tapi taukah, semua ini menjadi penghancur
semangatku, fi !
Drama kedua, Afia selalu mempunyai alasan untuk
absen menemaniku bermain dota. Mungkin sekarang dia yang menomer-sekiankan aku.
Yang lebih mengecewakan adalah dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan
teman-temannya ketimbang aku. baiklah, bisa diterima.
Drama ketiga, Alisa sahabat kecilku setelah Afia
datang di kehidupanku. Awalnya dia hanya mengajakku les dalam tempat yang sama
di kawasan Kotabaru. Entah karena Tuhan maha membolak-balikan hati manusia, aku
mulai nyaman dan terbiasa dengan Alisa. Bagiku, dia alasan aku mendapat
semangatku kembali.
Akhir-akhir ini aku mulai lupa dengan seluk-beluk
Afia. Afia. Ya, dia masih kekasihku. Akhir-akhir ini aku mulai ilang-ilangan.
Aku jarang membalas pesannya. Aku jarang menghubunginya walaupun setiap hari
dia pasti menghubungiku. Sekedar mengingatkanku untuk makan dan istirahat.
Walaupun waktunya jarang terbagi untukku, tapi perhatiannya masih sama seperti
saat pertama menjalin cinta.
"Sayang, kamu kenapa beberapa waktu ini
selalu menghilang?" tanyanya pada satu kesempatan aku makan malam di
sebuah cafe lengganan kami berdua.
"Aku ndak punya pulsa lagian aku juga malas
pegang hape" jawabku ketus. sambil sesekali menyesap kopi luwak
dihadapanku.
"Aku kan sudah kirim pulsa yang, masa
langsung habis?"
Kali ini aku terdiam. Aku malas berdebat dengan
wanita di hadapanku ini.
"Rangga, kalo aku nanya, jawab dong
..." kali ini Dia mulai kesal.
"Gini lho Afia, aku juga butuh waktu buat
sendiri. Aku lagi malas hidupku direcokin orang. Kamu udahin lah dramamu. Kamu
nggak usah berasa jadi yang paling tersakiti disini..."
"kamu kalo mau putus bilang dong. Ndak usah
nyari-nyari kesalahan orang juga. Yaudah Ngga, kayaknya kita memang udahan aja.
Aku capek disalahin terus ...".
Anjir. Seberani itu dia mutusin aku duluan. Aku
pantang diputusin sebelumnya. Baru kali ini aku merasa sangat rendah dimata
perempuan.
Afia tertunduk. Matanya berkaca-kaca seolah-olah
dihantui penyesalan dengan kata-kata yang barusan dia ucapkan. Dia merengkuh cangkir
cokelat panasnya. Tangannya mengapit kedua sisi cangkir berisi minuman
kesukaannya.
"Tapi Rangga. Apa alasan kamu ilang-ilangan
dari aku? kamu bosan atau ..."
Aku terus skakmat dengan pertanyaan yang tak bisa
dijawab. Harus dengan kata apalagi untuk menjelaskan bahwa aku tak lagi
mencintainya. Harus dengan kalimat bagaimana lagi untuk menjelaskan bahwa aku
sudah mempunyai kekasih yang lain.
Dasar, Gadis bodoh !
Aku berpaling sebentar. Memberi kesempatan
untuknya menyeka air mata agar tak terlihat jijik menangis didepanku. Dia
berlalu, suaranya lirih mengucapkan permisi. Aku menyusulnya, lalu mengantarnya
pulang.
"Aku memang capek ngadepin sikap kamu. Tapi
aku belum bisa pastikan hilangnya cintaku ke kamu. Baiklah aku tetap akan
mengingatkanmu, memberimu perhatian walau dalam bentuk lain. see you boy,
makasih ..." Afia keluar dan menutup pintu mobil perlahan. Aku
memandanginya sejenak lalu pergi.
Taukah, kamu sedang mencintai seorang bangsat ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar