Senin, 22 Desember 2014

Dari Malaikat Kecilmu ...

Hingga pada suatu malam, aku menikmati nuansa remang-remang di kamarku. Hawa malam itu begitu dingin menyeruak tulang. Aroma greentea yang dipancarkan dari reffill kamarku membuatku selalu rindu rumah, ingin berpulang. 

"Kak, belum tidur ?" tiba-tiba suara Ibu membuatku buru-buru menekan tombol exit pada ponselku. Lalu, kubenahi selimut, dan meletakkan perlahan.

"Susah tidur, ibu. Ibu kok belum tidur ?"

Ibu tidak menjawab. Lalu beliau menekan saklar lampu kamarku. seketika terang. pemandangan kamarku yang sesungguhnya lah yang tampak.

"Kak, Ibu pengen cerita" ujar beliau sambil setengah berbaring di sampingku. Suasana yang persis pada sekitar 15-tahunan yang lalu saat aku akan tidur semari menunggu ayah.

Aku semakin penasaran. Sepertinya apa yang akan dikatakan wanita disampingku ini bukan perkara yang main-main. Aku mulai sedikit cemas. Aku takut kalau-kalau Ibu akan membicarakan masalahku dengan mantan kekasihku atau jangan-jangan Ibu tau kebiasaan keluar malamku. Ah, persetan ...

"Cerita apa, Ibu ?" -kali ini aku menjawab dengan perasaan setengah tenang, meyakinkan diri seolah semuanya akan baik-baik saja.

"Ibu sakit, Kak ... entah penyakitnya apa belum pasti. Tapi, benjolan ini sudah ada sejak dua minggu yang lalu ..." ujar Ibu dengan setengah terisak. Aku tau, Ibuku ini termasuk wanita tercengeng yang pernah aku kenal. Sebelumnya, Ibu tidak pernah menangis karena sakit. Bahkan saat melahirkan adikku sekalipun. Tapi untuk kali ini ...

Ada benjolan sebesar telur puyuh di payudara kiri Ibu !!!

Ah, hatiku hancur seketika. Bagaimana tidak ? sebagai mahasiswa yang pernah mempelajari penyakit dari etiologi sampai komplikasi dan Ibuku, tengah mengalami dari salah satu penyakit tersebut, Oh, gini toh rasanya...

Aku menarik nafas dalam lalu menghembuskan perlahan. Aku ingin tetap terlihat tenang di hadapan Ibu. Hal menyakitkan dalam hidup adalah ketika orang yang kamu cintai dan berkorban untukmu harus berjuang melawan penyakit yang pada epidemiologinya merupakan pembunuh wanita nomer satu di dunia. Dan aku sedang berusaha sekuat mungkin menghadapi hal tersebut. 

Berbekal  ilmu yang kudapat beberapa waktu lalu, aku meraba daerah yang dimaksud Ibu. Dan benar saja aku menemukan benjolan sebesar telur puyuh. Dan aku mendapatkan sesuatu yang kuharapkan. Ya, benjolan itu terus bergerak sering arah palpasi dari tanganku.

Aku sedikit lega, setidaknya aku berpikiran itu bukan penyakit ganas. Mengingat Ibuku mempunyai riwayat Galaktokel dan sekarang dalam masa terapi atas keluhan asam urat yang meninggi beberapa waktu lalu.

***

Hari ini Ibu pulang dari Kantor dengan wajah yang sangat lesu. Usut punya usut. Sepulang dari kantor Ibu sempat berkonsultasi ke dokter bedah atas rekomendasi teman satu kantornya.

"Apa kata dokter, Ibu?" aku masih sangat penasaran. Perlahan Ibu duduk di samping ayah. Kali ini Ibu terdiam namun perlahan air matanya menetes. 

"Kata dokter Ibu terkena Adenokarsinoma, Kak. Setelah pembedahan nanti, Ibu harus rutin kemoterapi..." Kali ini Ayah membuka pembicaraan. Terlihat sekali mata beliau memerah. Menahan berkaca-kaca agar tak terlihat sedih olehku.

GLEG! Hatiku remuk seketika. Rasanya ingin sekali penyakit itu kuambil dan kubuang jauh-jauh ke laut lepas. 

"Ayah kuat kan mendampingi Ibu sampai semua pengobatan selesai ? sampai Ibu sehat kembali?" -kutekankan dalam-dalam suaraku yang semakin tercekat. Aku tak ingin terlihat sedih di mata Ayah, terlebih Ibu.

"Ayah pasti kuat Kak, Insyallah. Yang membuat Ayah sakit adalah vonis dokter. Dokter belum melakukan pemeriksaan mammograph tapi sudah memvonis umur Ibu nak ..." .

Kali ini rasaku semakin sakit. Sebagai orang yang pernah di ajarkan mengenai etical clearance dalam menyampaikan berita duka kepada pasien, aku merasa Ibuku tidak pada orang yang tepat. Kali ini aku membenci dokter yang sedang menangani kasus Ibuku. Entah mengapa aku membenci hal seperti ini. Dokter bukan Tuhan ...

Tuhan, Jika boleh aku menawar, aku mau ditukar dengan posisi Ibuku. Setidaknya, adikku masih kecil dan masih sangat bergantung pada beliau. Masih sangat membutuhkan sosok Ibu ...

Cobaan itu tak hanya datang dari vonis dokter sebelumnya saja. Informasi dari kakak Ibuku mengenai almarhumah temannya yang mengidap Adenokarsinoma yang gejala klinisnya mirip dengan Ibuku. Minggu-minggu itu, Ibu mulai down. Stress menyebabkan tubuhnya kian mengurus. Dalam beberapa waktu saja sudah menurun kurang lebih 6 kg. 

Ayah tak tinggal diam. Beberapa waktu terakhir Ayah sibuk bolak-balik kesana kemari demi Ibu. Berbekal kenalan Eyang saat kerja di rumah sakit tersebut, Ibu dibawa ke dokter spesialis onkologi terbaik di kotaku.

Dari awal, aku menyukai cara dokter ini memberikan inform concent dan satu yang aku suka dari beliau. Cara komunikasi kepada pasien sejenak membuat Ibuku tenang, setidaknya Ibu lupa dengan vonis beberapa waktu lalu.

Hasilnya? Ibu tetap harus Mammograph ...

---

Hasil Mammograph keluar sore ini. Eyang yang mengambil hasilnya di Laboratorium lalu menyerahkan pada dokter yang sedang menangani Ibuku. Dirumah, Ibu tidak bisa tenang dan tidak mau makan sebelum hasil mammograph keluar.

Waktu itu, aku terbangun dari tidur sore ku. Kudengar suara isakan Ibu lagi. Aku merasa sesuatu yang buruk sedang terjadi. Ibu ...

Dengan langkah gontai aku menuju ruang tengah lalu kujumpai Ibu tengah bersujud sambil menangis.

"Kak... hasilnya baik. Ibu hanya terkena Fibroaenoma Mammae. Besok akan segera diangkat ..." -Kali ini tangisna bercampur haru dan lega. Entah bagaimana susah sekali aku mendeskripsikannya.

Sekejap aku memeluk Ibu. Bagaimanapun, Tuhan telah mendengarkan bait-bait doa yang kurapalkan setiap malam. Tuhan Maha Baik, Ibu ...

Salah satu Foto yang bisa diabadikan pasca operasi dan masih dalam pengaruh anastesi



































Tidak ada komentar:

Posting Komentar