Jumat, 06 November 2015

Tentang Cinta ...



Hari ini, entah kekuatan dari mana saya mulai berani memposting hal yang sebenarnya sudah ingin diceritakan secara fiktif.  Saya terlalu pengecut untuk menuliskan dalam bentuk nyata. Tapi bukankah sejarah selalu dituliskan oleh pemenang?

Dua bulan, Tiga bulan, hingga delapan bulan!
Saya masih belum bisa melihat bawasanya dunia itu terang. Seperti semua tertutup matahari yang tenggelam dan lupa untuk terbit lagi. Pasca putus dengan mantan kekasih beberapa waktu lalu memang menyisakan satu-dua goresan dan sempat membuat saya tidak pernah percaya dengan yang namanya cinta.  Ketika seseorang bilang, bawasanya untuk melupakan yang lama memang butuh sosok pengganti yang baru. Bahkan, satu bulan pasca putus sempat ada seseorang yang meminta saya untuk menjadi kekasihnya pun tak ada greget untuk bisa menerimanya. Ternyata hati masih sebegitu rapatnya.

Lalu, ketika Tuhan mengirimkan sosok lelaki kembali. Mungkin saat itu Tuhan hanya ingin menyadarkanku betapa masih banyak yang lebih baik diluar sana. Apa daya? Waktu itu hati masih benar-benar tertutup rapat. Ibarat pernah dikunci lalu pemiliknya pergi dan lupa untuk mengembalikannya.  Saya menjalin hubungan tanpa status hingga kurang-lebih enam bulan. YA! ENAM BULAN DAN TIDAK ADA KEJELASAN?

Wait, what? Should I stop counting?

Bukan dia yang salah. Karena ada masanya saya sudah terlalu menikmati kesendirian hingga akhirnya tidak lagi menginginkan sebuah status.  Maaf, waktu itu saya yang pergi. Karena tersadar bawasanya bukan saya perempuan yang pantas untuk kamu miliki.

            Guyonan Tuhan tak sampai disini saja. Lalu, seorang lelaki yang umurnya terpaut lima tahun diatasku sempat menjadi penghuni lobus hepar selama beberapa waktu. Ya, beberapa waktu saja. Sebab ternyata lelaki itu hanya datang untuk pergi, bukan untuk tetap tinggal. Tapi ternyata Tuhan mempunyai selera humor yang awesome. Hingga saat ini masih terus mengajakku bermain teka-teki tentang jodoh dan saya selalu saja salah.
Baiklah, lelaki itu benar-benar pergi. Dan saya tidak akan memintanya untuk kembali.

12345asdfghjklxxx hari tanpa cinta
Semacam kehilangan selera untuk kembali mencinta
Sebab, resiko terbesar mencinta adalah kecewa
( @alveeolus )

      Hingga suatu ketika, entah lelucon Tuhan yang mana lagi. Saya bertemu dengan seorang lelaki. Saya tak pernah menyangka pada bahunya-lah akhirnya akan bersandar. Semuanya. Ya, semuanya. Jiwa, raga, pikiran, hati dan keyakinan untuk menua bersama. 

      Perkenalkan, lelaki ini adalah semestaku.
     
      Saya sendiri tak pernah menyangka bawasanya lelaki inilah yang justru mengubah seluruh pandangan saya mengenai cinta. Sempat saya takut jatuh cinta hanya karena takut kecewa. Saya memang pengecut untuk itu.. Tapi lelaki ini berhasil membuatku kembali berani mencinta dengan segala resiko, termasuk kalau harus kecewa untuk kemudian hari.
       
        Mungkin cara saya mencintainya bisa dikatakan basi. Dan bukan basi lagi, mungkin lebih dari basi. Tapi ketahuilah, setiap orang memiliki cara mencinta yang berbeda-beda.
         
     Awal menjalin hubungan dengannya memang sempat membuat saya ragu dan berpikir berulang-ulang. Bagaimana bisa saya mencintai dan memiliki keputusan sebesar ini untuk menjadikannya teman hidup mengingat baru ada hitungan jari kami kenal. Saya sempat menyangka bawasanya perasaan ini hanya perasaan jatuh cinta sesaat.
      
     Tapi ternyata saya salah. Melihat keseriusannya untuk menjalani hidup berdua, menjadikanku prioritas, dan menjadikanku alasannya untuk berjuang memang membuat saya mulai berpikir berulang-ulang untuk sekedar bermain cinta. Ya, memang. He’s not perfect, but he’s all I want. Karena bagi saya, cinta adalah bukan tentang seberapa lama kamu mengenalnya, tapi seberapa banyak dia membuatmu nyaman dan bersedia menjagamu, memastikanmu selalu dalam keadaan baik-baik saja.
     
     Hubungan kami memang belum seberapa. Saya belum seberjuang teman-teman yang sudah menjalani hubungan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hingga dijenjang pernikahan. Tapi saya percaya, suatu saat kami akan sama-sama berjuang, memperjuangkan apa yang pantas untuk diperjuangkan




Jumat, 09 Oktober 2015

Wanita yang seutuhnya kau miliki



Kau jadikan aku ini
Wanita yang kau pilih untuk jadi kekasihmu
Dan kau pun telah aku pinta setia sepertiku
Hingga waktunya tiba ...
 -Rossa

24 hari setelah kehadiranmu.
Aku bahkan tak bisa berhenti memutar semua lagu dalam playlistku. Karena semuanya tentang kamu.

Bukit cinta malam itu dan segala keyakinan yang entah dari mana berasal. Yang ku tau, kamu adalah alasan terbesar mengapa kembali aku bersedia menjalin hubungan. Bersedia menemanimu dalam senang dan segala keterpurukan. Tenang saja, tubuhku akan tetap menjadi satu-satunya tempatmu berpulang.

Setelah aku memilihnya untuk menyakitiku, kini biarkanku memilihmu untuk membahagiakanku.
   
Tuhan itu baik. menghantarkanku pada penyembuh-penyembuh luka yang tak pernah ku duga.

Ku ingat betul malam itu. Malam dimana untuk kesekian kalinya aku berkencan denganmu. Sekedar duduk satu meja hingga bisa leluasa menatap keindahan dari mata hingga ujung jemarimu. Dan aku, menyebutnya surga.

Fathah Syuhada.
Nama yang bahkan tak ingin sedetikpun kubiarkan menghilang dari hipocampus. Atau bahkan, jika aku tertidur pulas aku ingin namanya tetap menemani setiap jengkal perjalanan bunga tidurku.

Ah, sebenarnya, apa itu cinta?
Keinginan? Rasa memiliki? Rasa sakit, gelisah, tidak bisa tidur, kerinduan, kebencian? Atau bahkan sebuah kerelaan? Rela melepas, atau bahkan menerima?
Entahlah. Aku mendefinisikannya lain. Cinta itu kamu.

Dan jika kamu berkata beruntung mendapatkanku, nyatanya aku jauh lebih beruntung menjadi wanita yang sebegitu hebatnya kau sayangi.
Terimakasih, telah menjadikanku wanita yang seutuhnya kau miliki. 




Jumat, 25 September 2015

Rindu Mana Yang Tak Menyedihkan ?

Mas, Aku sudah tidak lagi menulisnya pada dini hari. Sebisa mungkin aku menjauhinya. Kamu tau? Dini hari memang pemilikku; tapi ia seperti simalakama. Terus memaksaku membuka mata hingga sleep disorder membunuhku perlahan.

Untukmu, Mas.
Ini sudah genap 4 hari dan senyum bahkan tawa lepasmu tak lagi muncul di depan mataku.
Selama genap 4 hari itu pun, aku lebih rajin memandangi layar gadged. Tertawa bahkan rela membalas  satu-dua kecupan dari suaramu di seberang sana.

Asal kamu tau, namamu adalah pengharapanku dalam kehadiranmu yang tak lagi sekedar bunga tidur.  

Mas, bolehkah aku menamaimu semestaku? Kalaupun tak boleh, tak apa.

Tak apa...

Aku tak akan bosan terus-menerus mengulang rekaman malam itu. Malam dimana kamu memintaku untuk menjadi kekasihmu. Secepat itu? Ya. Mengingat baru tiga minggu kita mulai bercakap, lalu dua hari yang lalu kita bertemu untuk pertama kali. Lalu keyakinan dari mana lagi? Aku menerimamu secepat itu. Semestaku, maaf kamu adalah kiriman Tuhan yang mampu mengubah segala pola pikirku tentang cinta waktu itu. Terimakasih, kau telah meyakinkanku untuk jatuh cinta kembali ! 

Ajaibnya, hanya dengan tetapan mata dan segala keyakinan yang perlahan muncul itu membuatku seperti mendapat kekuatan baru. Aku memutuskan untuk menjadikanmu teman hidupku. Entah sementara; atau bahkan selamanya.

Mas, semoga kamu mengerti. Bawasanya, mencintaimu adalah hal benar yang pernah kulakukan.

Mas,
Jika benar adanya tulisan pencerita itu adalah sebuah doa dan Tuhan maha pengabul semua doa. Boleh aku berdoa untukmu melalui tulisan ini?
Aku ingin kamu baik-baik saja. Hiduplah dengan baik, Mas. Tetaplah tersenyum dan tetaplah seperti ini, mencintaiku tiada henti. Seberapapun berat bebanmu, aku percaya kamu adalah lelaki terkuat kedua yang kutemui setelah ayahku.


Kita akan tetap seperti ini; berjalan beriringan menuju hal terindah yang selalu menjadi percakapan dengan Tuhan. Betapa aku merasakan sekian waktu rindu yang tak bertuan, lalu kini untukmu lah rindu ini kutujukan.


Ditulis dengan segenap kerinduan
Pada bahagiaku dalam raga yang berbeda
Kamu ..

.

Minggu, 13 September 2015

Tangga Nada ke-empat ...


Ada seorang lelaki. Ia sudah seperti temanku sendiri. Setiap hari tak pernah absen menemaniku; sekedar menanyakan sedang apa hingga memastikan keadaanku baik-baik saja. 

Hai, lelaki itu, kamu ...

Perkenalkan, namaku av. Dan aku adalah pecandumu sejak saat itu. Sejak jiwamu hadir menemani dan memberiku semangat disini. Sejak kulihat tatapan beberapa detik lalu. Aku senang dan selalu menantikan kehadiranmu walau hanya dalam bentuk kata sekalipun. 

Dan hari ini ingin sekali kutuliskan sesuatu tentangmu.

Tapi maaf, jika nanti tulisan tentangmu ini justru hanya akan membuatmu bosan; apatis; kemudian jijik. Tapi sesungguhnya aku tak pernah bosan jika harus menuliskan sesuatu tentangmu berulang-ulang, terus menerus tanpa jeda. Bahkan mengalahkan rasa ketakutanku jika suatu saat kau baca, lantas membuatmu mati rasa. Lalu mengumpatku “ih apa-apaan sih ini anak…”
 
Lagi-lagi aku menulisnya pada dini hari. 02:00 adalah kepemilikanku, untuk bergelut dengan malam dan detakan waktu. Tepat beberapa menit setelah tawamu menghiasi malamku. Selain pada suara yang hanya terdengar jelas atas bantuan signal; juga pada senyuman laksana senyata-nyatanya surga. 

Tentangmu beberapa detik yang lalu
Hari ini kau benar-benar kuundang menjadi jiwa dalam tulisanku seperti yang pernah kukatakan beberapa waktu lalu. Kau tau? Betapa duduk disebelahmu, memandang tawa bahagiamu adalah satu dari sekian pengaminan yang pernah kurapalkan pada Tuhan.  Atau kehadiran yang sebatas cacahan kata kini benar-benar nyata. 
Detik-detik yang lalu benar-benar berhasil mengubah seluruh pandanganku tentangmu. Yang kupikir kau dingin dan menyebalkan ternyata justru lebih dari menyenangkan. 

Dan kau benar-benar menjadi seseorang yang membuatku kecanduan sampai overdosis dan tak ingin disembuhkan.

Terimakasih mas, you can made my day. Walau aku tau, kesalahan  terbesarku adalah terlalu cepat menjadikanmu pecanduku.


Selasa, 08 September 2015

Lelakiku …




Entah aku sudah menulisnya berapa kali, tapi rasanya tak pernah bosan berulang-ulang menulis sebuah kerinduan untuknya. Ya, lelaki yang menjadi alasanku berpulang dan selalu merindukan segala raut bahagianya.

Lelaki separuh baya dengan semangat yang hampir tak ada habisnya. Tak peduli langkah yang semakin tersenggal termakan usia. Lelaki yang rela melakukan apa saja demi melihatku tumbuh berbagia. Lelaki yang tak akan pernah rela melihatku menitikkan air mata setetes pun.

Lelaki yang hampir menghabiskan seluruh waktunya di depan layar. Barang kali satu-dua jam berkumpul bersama keluarganya adalah harta yang tak akan pernah ternilai olehnya. Mata sayu dan secangkir kopi hitam yang selalu menemani setiap tuntutan adalah bukti betapa besar tanggung jawab yang dipikulnya. Yang ku tau, tak pernah ada satu kalimat mengeluh pun keluar dari bibir sucinya. Seberapapun ingin; seberapapun menahan.

Lelaki itu sangat mencintaiku, perempuan kedua setelah ibuku. Penyemangat langkahku dan penyempurna segala tawaku. Seberapapun kekurangan dan segala kenakalanku adalah cerminan betapa kuat untuknya bersabar menghadapiku. Lelaki yang rela menjatuhkan gengsi demi gengsi untuk sekedar menanyakan kabarku, saat aku berada jauh di perantauan. Lelaki yang tak pernah lelah memberiku segala nasehat. Lelaki yang rela memberikan segala yang kupinta. Lelaki yang rela meneteskan seluruh keringatnya untukku.


Dan jika nanti aku diberi kesempatan untuk membahagiakan, maka beliau lah yang akan kubahagiakan.