Hai,
@Poscinta! Demi kesetiaanku pada proyek setiap tahunmu, dan rasa cintaku pada
kota kelahiranku; Jogja. Maka kupersembahkan barang sebait-dua bait tentang
salah satu pusat ekonomi di kota ini. Mungkin aku tak akan menceritakan tentang
Beringharjo yang menjadi sasaran wisatawan atau Giwangan yang menjadi pasar
induk sayur terbesar. Namun akan kutulis sedikit tentang pasar yang justru
jarang dilirik orang.
Pakuncen.
Tentang
Pakuncen.
Ya,
aku menyebutnya begitu.
Sebuah
pasar yang berdiri kokoh sejak beberapa tahun silam itu tak pernah menunjukan
kesan sepi. Ratusan motor berderet memenuhi halaman pasar, bahkan ada sebagian
yang memenuhi bahu jalan. Jangankan orang-orang, terkadang aku saja heran
dimana letak keistimewaan pasar itu dibanding pasar-pasar yang lain yang jelas
lebih lengkap dan bagus.
Tapi
sekali-dua kali aku kesana dengan teman perempuanku. Mungkin kalian akan
berpikir –ini cewek nekat banget sampe
pasar pakuncen- yang notabenenya banyak dikunjungi laki-laki.
Tak
masalah. Aku dan teman perempuanku tak pernah mempermasalahkan hal-hal yang
justru tidak penting untuk didengar. Tapi barangkali kalian mencoba;
telusurilah Jogja. Hidupmu tidak melulu soal Mall dan pasar bergengsi.
Senja
telah bergelut dengan semesta. Waktu kian memutar menjadi bayangan hitam di
sudut-sudut langit. Tak terkecuali pasar Pakuncen. Aku bersama teman perempuanku
masuk dengan sedikit ragu. Saling bertatapan, memastikan akan segera masuk.
Satu
langkah, dua langkah hingga seterusnya kutelusuri. Berbagai teriakan untuk
menawarkan barangnya kian menyeruak kedalam telingaku. Pasarnya bersih, jauh
dari kesan pusat pejualan barang bekas, walau sesungguhnya memang begitu. Walau banyak anggapan barang yang
dijual di pasar ini adalah barang hasil curian, karena pasar klithikan pakuncen
berasal dari kata “klithih” yang
berarti jalan santai dengan mata awas mencari barang yang sekiranya bias dicuri.
Namun aku percaya, tak semuanya berarti seperti itu.
–Cari apa mbak?- berulang-ulang mungkin
adalah sebuah rezeki bagi mereka. Sebuah tanggung jawab besar untuk keluarga
mereka. Dan tak jarang kulihat senyum sumringah ketika satu-dua orang
mengunjungi lapaknya.
Ketika
barang yang dicari tidak ada, maka penjual akan kesana kemari mencarikan barang
yang dicari dari lapak satu ke lapak lain. LUAR BIASA! Betapa simbiosis yang
saling menguntungkan. Dari situ aku bisa belajar hidup dalam saling membutuhkan.
Bekerja sama mencari sesuap nasi sama-sama. Tidak ada unsur saling menjatuhkan. Ah, Jogja memang berhati nyaman :’)
Aku
bukan penggila barang elektronik dan segala printilan kendaraan seperti yang
dijual-jual ditempat ini. Namun jika suatu saat aku diajak kemari, akan kusambut dengan senang hati. :'))
Berjalan sambil sesekali mencari
pelajaran hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar