Senin, 22 Desember 2014

Dari Malaikat Kecilmu ...

Hingga pada suatu malam, aku menikmati nuansa remang-remang di kamarku. Hawa malam itu begitu dingin menyeruak tulang. Aroma greentea yang dipancarkan dari reffill kamarku membuatku selalu rindu rumah, ingin berpulang. 

"Kak, belum tidur ?" tiba-tiba suara Ibu membuatku buru-buru menekan tombol exit pada ponselku. Lalu, kubenahi selimut, dan meletakkan perlahan.

"Susah tidur, ibu. Ibu kok belum tidur ?"

Ibu tidak menjawab. Lalu beliau menekan saklar lampu kamarku. seketika terang. pemandangan kamarku yang sesungguhnya lah yang tampak.

"Kak, Ibu pengen cerita" ujar beliau sambil setengah berbaring di sampingku. Suasana yang persis pada sekitar 15-tahunan yang lalu saat aku akan tidur semari menunggu ayah.

Aku semakin penasaran. Sepertinya apa yang akan dikatakan wanita disampingku ini bukan perkara yang main-main. Aku mulai sedikit cemas. Aku takut kalau-kalau Ibu akan membicarakan masalahku dengan mantan kekasihku atau jangan-jangan Ibu tau kebiasaan keluar malamku. Ah, persetan ...

"Cerita apa, Ibu ?" -kali ini aku menjawab dengan perasaan setengah tenang, meyakinkan diri seolah semuanya akan baik-baik saja.

"Ibu sakit, Kak ... entah penyakitnya apa belum pasti. Tapi, benjolan ini sudah ada sejak dua minggu yang lalu ..." ujar Ibu dengan setengah terisak. Aku tau, Ibuku ini termasuk wanita tercengeng yang pernah aku kenal. Sebelumnya, Ibu tidak pernah menangis karena sakit. Bahkan saat melahirkan adikku sekalipun. Tapi untuk kali ini ...

Ada benjolan sebesar telur puyuh di payudara kiri Ibu !!!

Ah, hatiku hancur seketika. Bagaimana tidak ? sebagai mahasiswa yang pernah mempelajari penyakit dari etiologi sampai komplikasi dan Ibuku, tengah mengalami dari salah satu penyakit tersebut, Oh, gini toh rasanya...

Aku menarik nafas dalam lalu menghembuskan perlahan. Aku ingin tetap terlihat tenang di hadapan Ibu. Hal menyakitkan dalam hidup adalah ketika orang yang kamu cintai dan berkorban untukmu harus berjuang melawan penyakit yang pada epidemiologinya merupakan pembunuh wanita nomer satu di dunia. Dan aku sedang berusaha sekuat mungkin menghadapi hal tersebut. 

Berbekal  ilmu yang kudapat beberapa waktu lalu, aku meraba daerah yang dimaksud Ibu. Dan benar saja aku menemukan benjolan sebesar telur puyuh. Dan aku mendapatkan sesuatu yang kuharapkan. Ya, benjolan itu terus bergerak sering arah palpasi dari tanganku.

Aku sedikit lega, setidaknya aku berpikiran itu bukan penyakit ganas. Mengingat Ibuku mempunyai riwayat Galaktokel dan sekarang dalam masa terapi atas keluhan asam urat yang meninggi beberapa waktu lalu.

***

Hari ini Ibu pulang dari Kantor dengan wajah yang sangat lesu. Usut punya usut. Sepulang dari kantor Ibu sempat berkonsultasi ke dokter bedah atas rekomendasi teman satu kantornya.

"Apa kata dokter, Ibu?" aku masih sangat penasaran. Perlahan Ibu duduk di samping ayah. Kali ini Ibu terdiam namun perlahan air matanya menetes. 

"Kata dokter Ibu terkena Adenokarsinoma, Kak. Setelah pembedahan nanti, Ibu harus rutin kemoterapi..." Kali ini Ayah membuka pembicaraan. Terlihat sekali mata beliau memerah. Menahan berkaca-kaca agar tak terlihat sedih olehku.

GLEG! Hatiku remuk seketika. Rasanya ingin sekali penyakit itu kuambil dan kubuang jauh-jauh ke laut lepas. 

"Ayah kuat kan mendampingi Ibu sampai semua pengobatan selesai ? sampai Ibu sehat kembali?" -kutekankan dalam-dalam suaraku yang semakin tercekat. Aku tak ingin terlihat sedih di mata Ayah, terlebih Ibu.

"Ayah pasti kuat Kak, Insyallah. Yang membuat Ayah sakit adalah vonis dokter. Dokter belum melakukan pemeriksaan mammograph tapi sudah memvonis umur Ibu nak ..." .

Kali ini rasaku semakin sakit. Sebagai orang yang pernah di ajarkan mengenai etical clearance dalam menyampaikan berita duka kepada pasien, aku merasa Ibuku tidak pada orang yang tepat. Kali ini aku membenci dokter yang sedang menangani kasus Ibuku. Entah mengapa aku membenci hal seperti ini. Dokter bukan Tuhan ...

Tuhan, Jika boleh aku menawar, aku mau ditukar dengan posisi Ibuku. Setidaknya, adikku masih kecil dan masih sangat bergantung pada beliau. Masih sangat membutuhkan sosok Ibu ...

Cobaan itu tak hanya datang dari vonis dokter sebelumnya saja. Informasi dari kakak Ibuku mengenai almarhumah temannya yang mengidap Adenokarsinoma yang gejala klinisnya mirip dengan Ibuku. Minggu-minggu itu, Ibu mulai down. Stress menyebabkan tubuhnya kian mengurus. Dalam beberapa waktu saja sudah menurun kurang lebih 6 kg. 

Ayah tak tinggal diam. Beberapa waktu terakhir Ayah sibuk bolak-balik kesana kemari demi Ibu. Berbekal kenalan Eyang saat kerja di rumah sakit tersebut, Ibu dibawa ke dokter spesialis onkologi terbaik di kotaku.

Dari awal, aku menyukai cara dokter ini memberikan inform concent dan satu yang aku suka dari beliau. Cara komunikasi kepada pasien sejenak membuat Ibuku tenang, setidaknya Ibu lupa dengan vonis beberapa waktu lalu.

Hasilnya? Ibu tetap harus Mammograph ...

---

Hasil Mammograph keluar sore ini. Eyang yang mengambil hasilnya di Laboratorium lalu menyerahkan pada dokter yang sedang menangani Ibuku. Dirumah, Ibu tidak bisa tenang dan tidak mau makan sebelum hasil mammograph keluar.

Waktu itu, aku terbangun dari tidur sore ku. Kudengar suara isakan Ibu lagi. Aku merasa sesuatu yang buruk sedang terjadi. Ibu ...

Dengan langkah gontai aku menuju ruang tengah lalu kujumpai Ibu tengah bersujud sambil menangis.

"Kak... hasilnya baik. Ibu hanya terkena Fibroaenoma Mammae. Besok akan segera diangkat ..." -Kali ini tangisna bercampur haru dan lega. Entah bagaimana susah sekali aku mendeskripsikannya.

Sekejap aku memeluk Ibu. Bagaimanapun, Tuhan telah mendengarkan bait-bait doa yang kurapalkan setiap malam. Tuhan Maha Baik, Ibu ...

Salah satu Foto yang bisa diabadikan pasca operasi dan masih dalam pengaruh anastesi



































Sabtu, 20 Desember 2014

Kamu sedang mencintai seorang bangsat


Yogyakarta, Maret 2011

"Haruskah kamu se-gelap mata gelap hati seperti ini sampai lupa rasanya pernah aku sayang, Ngga?" katanya lirih. dari seberang telepon terdengar jelas sekali dia terisak. 

Tak membuang waktu lebih lama, ku tekan tombol merah pada ponselku. Aku sangat membenci isakannya yang kian memusingkan.

Dia adalah kekasihku, sekaligus sahabatku ketika kami masih kecil. Aku mengenalnya sudah lama. Dari hidupku, aku mempunyai dua wanita dimana aku tumbuh bersama mereka. Dan kali ini, aku jatuh hati pada salah satu diantara mereka. Afia.

Aku menghela nafas panjang. Sesekali aku menyesap rokok yang ada diantara dua jariku. Ini adalah isapan kesekian setelah mantan kekasih yang kuputuskan beberapa menit yang lalu melakukan kebodohannya.

Dering telfonku berbunyi lagi. Nama yang ku duga menghiasi layar ponselku. Aku membiarkannya terus berbunyi. Kecewa memang telah mengubah semua. Termasuk mengubah percakapan manis dua anak manusia saat-saat dering yang sama menggetarkan ponselku. 

Mungkin dia masih tengah berusaha ingin menjelaskan alasan yang tak masuk akal itu. Dasar wanita. Dikasih kepercayaan dibalesnya penghianatan. Aku tau, ini memang kesalahan pertama yang ia lakukan. Sebelum-sebelumnya aku tak pernah semarah ini. 

Sebelumnya juga, dia tak pernah bertingkah bodoh seperti ini. 

Walaupun aku sering menghilang hanya untuk bermain dan menghabiskan waktu bersama teman-teman, dia tak pernah marah. Bagiku, dia adalah nomer kesekian setelah keluarga, teman, dan puluhan game yang menghiasi hidupku. 

Anehnya, Dia tak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Toh, dia memang bukan wanita yang hidupnya berdrama. Tapi untuk kali ini intensitas drama-nya memuncak.  

"Sudahlah Ngga. Ndak sebaiknya kamu bertingkah sekonyol ini. Kau lupa, kau pernah sebegitu mencintainya sampai kau harus terlalap api cemburu dengan mantan kekasihnya, kan?" Ujar fauzan sambil mengambil sebatang rokok didepanku.
Dia adalah salah satu temanku yang paling dekat, bahkan aku selalu mengenalkannya pada pacar-pacarku dulu.

"Mau minum?" Tawarnya kembali. Tangannya menggenggam dua botol nestea honey gingseng. Aku teringat, ini minuman kesukaanku sekaligus minuman yang dibenci afia. Pernah sesekali dia meneguk dan memuntahkan kembali persis didepanku. Waktu itu, raut wajahnya lucu sekali.

"Kau tau?" ujarku sesaat pada fauzan. Tanganku meraih stick dan memainkan Dota kembali. 
"Aku semalam mengajak Afia pergi. Dia bilang nggak bisa karena banyak tugas. Besoknya dia pamit mau tidur siang. Siapa menyangka status facebook-nya bilang dia lagi di plaza sama Ardian. Kan bangsat... " aku menelan ludah sebentar. Mood-ku untuk bermain Dota habis seketika.

"Aku telfon berulang kali tak dijawab. Baru setelahnya diamgkat. Dia bilang bahwa facebooknya di hack. Bagaimana bisa akun facebook bisa ditangan orang ? lagi pula orang membuat status pasti ada sebabnya. Intinya, dia bohongi aku" kali ini aku log out PC dan aku berjalan menuju kasir.

"Kamu mau kemana, bro ? kok udahan gitu aja" Fauzan terheran-heran melihatku yang tak biasanya bermain dota dengan durasi kurang dari dua jam. 

"Aku mau pulang lah. Capek. Mau tidur" sesaat aku meninggalkan game center di kawasan Timoho. 


Dia alasan kuatku kembali,
Memaafkan, dan
menutup semua yang menyakitkan

Game center, Mei 2011

Gadis didepanku ini tengah sibuk membenahi earphone yang melilit di telinganya. Tangannya sibuk menekan tuts ipodku. Sesekali dia menyandarkan tubuhnya di bahuku. Mengisyaratkan dia lelah sekali menungguku berjam-jam didepan layar komputer. Tapi dia tak pernah rewel mengajakku pulang. Tak pernah kapok menemaniku berfantasi dalam permainan. Dia memang berbeda dari mantan kekasih-kekasihku yang dulu. Dan untuk kali ini aku membandingkannya. Dia yang menjadi alasanku kembali.

"kamu capek?" aku memandang wajah sayunya. Dia menggeleng. Aku beranjak dari kursiku, meminta sebatang rokok pada operator dan kembali membawakan sebuah milo kemasan kaleng. Dia begitu menggilai milo yang didepannya.

Aku sangat mencintai Afia. Menjalin cinta untuk yang kedua kalinya, aku berusaha untuk terbuka dengan harapan dia melakukan hal yang sama. Sehingga semua kebohongan terminimalisir.
Bahkan aku sempat mengajaknya ke rumah, mempertemukan sama mama-papaku. Dan hal itu kulakukan tidak hanya sekali. Kedua adik kembarku juga sangat dekat dengannya. Bahkan, intensitas kedekatanku dibanding Afia tak seberapa. 

Mamaku, sangat menyayangi Afia. Tak jarang mama minta dijemput kerja saat aku sedang bersama Afia, dan makan bertiga dengan kekasihku itu. Entah karena Afia bisa 'ngemong' adik-adikku dibanding aku, atau karena dimata mama Afia memiliki masa depan seperti yang diinginkan mama.
Mama selalu menganggap Afia seperti anak sendiri. Disatu sisi aku senang karena kekasihku begitu diterima baik dalam keluargaku. 

Disisi lain aku merasa iri dengan perhatian mama yang sedikit-sedikit mengarah ke Afia. Mama selalu memuji-muji Afia secara berlebihan karena Afia masuk program IPA. Afia memang bercita-cita menjadi dokter. Sebelumnya, aku dan mama sempat ada kontroversi mengenai program yang akan ku ambil. Mama bersikeras untukku masuk program IPA. Mengingat mamaku adalah seorang dokter dan memiliki klinik swasta, beliau ingin aku meneruskan perjuangan dan cita-citanya. 

Tapi tidak di aku. aku begitu membenci pelajaran fisika. Hal ini-lah yang membuatku malas belajar hingga akhirnya aku terdampar dalam program sosial. Mau tak mau ya aku mengikuti jalanku. Toh, di program sosial-pun aku masih bercita-cita masuk universitas terkemuka di Bandung. Setidaknya, ingin ku buktikan pada mama bawasanya jalan suksesku tidak hanya di satu jalan. 

---
Akhir-akhir ini aku jarang membawa Afia ke rumah dengan alasan malas mendengar perbandingan mama untukku dan Afia. Entah mengapa, chemistryku pada Afia tak sekuat dulu. Aku menganggap Afia telah berhasil mencuri perhatian mama sehingga dia selayaknya lebih disayang ketimbang anak kandungnya sendiri. 

At last i found someone
who accompany and understanding

Disini aku seperti terjebak dalam sebuah drama kehidupan.

Drama pertama, Mama selalu membandingkan kemampuanku dengan Afia membuat aku semakin malas pulang kerumah. Malas berkontak dengan mama. Malas dijadikan objek pembanding. Mungkin baginya semua ini diluar kesengajaan Afia. Tapi taukah, semua ini menjadi penghancur semangatku, fi ! 

Drama kedua, Afia selalu mempunyai alasan untuk absen menemaniku bermain dota. Mungkin sekarang dia yang menomer-sekiankan aku. Yang lebih mengecewakan adalah dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan teman-temannya ketimbang aku. baiklah, bisa diterima.

Drama ketiga, Alisa sahabat kecilku setelah Afia datang di kehidupanku. Awalnya dia hanya mengajakku les dalam tempat yang sama di kawasan Kotabaru. Entah karena Tuhan maha membolak-balikan hati manusia, aku mulai nyaman dan terbiasa dengan Alisa. Bagiku, dia alasan aku mendapat semangatku kembali.

Akhir-akhir ini aku mulai lupa dengan seluk-beluk Afia. Afia. Ya, dia masih kekasihku. Akhir-akhir ini aku mulai ilang-ilangan. Aku jarang membalas pesannya. Aku jarang menghubunginya walaupun setiap hari dia pasti menghubungiku. Sekedar mengingatkanku untuk makan dan istirahat. Walaupun waktunya jarang terbagi untukku, tapi perhatiannya masih sama seperti saat pertama menjalin cinta. 

"Sayang, kamu kenapa beberapa waktu ini selalu menghilang?" tanyanya pada satu kesempatan aku makan malam di sebuah cafe lengganan kami berdua.

"Aku ndak punya pulsa lagian aku juga malas pegang hape" jawabku ketus. sambil sesekali menyesap kopi luwak dihadapanku.

"Aku kan sudah kirim pulsa yang, masa langsung habis?"

Kali ini aku terdiam. Aku malas berdebat dengan wanita di hadapanku ini. 

"Rangga, kalo aku nanya, jawab dong ..." kali ini Dia mulai kesal. 

"Gini lho Afia, aku juga butuh waktu buat sendiri. Aku lagi malas hidupku direcokin orang. Kamu udahin lah dramamu. Kamu nggak usah berasa jadi yang paling tersakiti disini..."

"kamu kalo mau putus bilang dong. Ndak usah nyari-nyari kesalahan orang juga. Yaudah Ngga, kayaknya kita memang udahan aja. Aku capek disalahin terus ...".

Anjir. Seberani itu dia mutusin aku duluan. Aku pantang diputusin sebelumnya. Baru kali ini aku merasa sangat rendah dimata perempuan. 

Afia tertunduk. Matanya berkaca-kaca seolah-olah dihantui penyesalan dengan kata-kata yang barusan dia ucapkan. Dia merengkuh cangkir cokelat panasnya. Tangannya mengapit kedua sisi cangkir berisi minuman kesukaannya.

"Tapi Rangga. Apa alasan kamu ilang-ilangan dari aku? kamu bosan atau ..." 

Aku terus skakmat dengan pertanyaan yang tak bisa dijawab. Harus dengan kata apalagi untuk menjelaskan bahwa aku tak lagi mencintainya. Harus dengan kalimat bagaimana lagi untuk menjelaskan bahwa aku sudah mempunyai kekasih yang lain. 
Dasar, Gadis bodoh ! 

Aku berpaling sebentar. Memberi kesempatan untuknya menyeka air mata agar tak terlihat jijik menangis didepanku. Dia berlalu, suaranya lirih mengucapkan permisi. Aku menyusulnya, lalu mengantarnya pulang. 

"Aku memang capek ngadepin sikap kamu. Tapi aku belum bisa pastikan hilangnya cintaku ke kamu. Baiklah aku tetap akan mengingatkanmu, memberimu perhatian walau dalam bentuk lain. see you  boy, makasih ..." Afia keluar dan menutup pintu mobil perlahan. Aku memandanginya sejenak lalu pergi.

Taukah, kamu sedang mencintai seorang bangsat ?
































Jumat, 05 Desember 2014

Analogi Jodohku...

Ini adalah malam kesekian, setelah sekian waktu percakapanku dengan Tuhan melewati bait-bait pada gelapnya malam. Lucunya, tak pernah semalam-pun kulewatkan tanpa meminta doa pada Maha pemberi hidup untuk menyusupkanmu pada bunga tidurku.

Berbicara jodoh ? Jodoh itu apa ? apa jodoh itu selayaknya percakapan yang terhubung dalam desiran waktu. atau, jodoh itu selayaknya rasa melindungi ? ah, persetan. Bahkan aku-pun tak pernah mendefinisikan sebuah jodoh. 

Selamat malam, jodohku ...
Ini adalah hari ke-5 di bulan terakhir penghujung tahun ini. Selamat tinggal resolusiku di tahun ini yang belum tercapai. Tapi, aku tak akan lelah meminta kepada Yang Maha Pendengar untuk bisa selalu di sampingku, mendengar bait-bait pengharapanku seperti sebelum-sebelumnya. 

Selamat malam, Jodohku ...
Kamu jangan lupa untuk istirahat dan mempersiapkan hari esok. Aku disini akan selalu meminta kepada Tuhan untuk memberimu kesehatan, kesabaran, dan kemudahan untukmu melangkah. Ketahuilah, siapapun Kamu, aku akan selalu mendoakan untuk keselamatanmu dimanapun kau berada, apapun aktifitasmu. Sama seperti hal-nya aku mendoakan segala kebaikan orangtua-ku. 

Selamat malam, jodohku ...
Siapapun kamu, seburuk dan sebaik apapun kekurangan dan kelebihanmu, jika engkau adalah sungguh-sesungguh-sungguhnya nama yang tertulis dalam lauhul mahfudz saatku ditakdirkan mengirup udara pertama, aku akan belajar mencintaimu. Cinta memang tak bisa dipaksa, tapi cinta bisa tumbuh dari kebiasaan bersama dan rasa nyaman yang tercipta. Aku selalu meminta agar  kamu menjadi pelengkap hidupku, diselipkan kemesraan di antara kita  agar dapat saling menyayangi. Disatukan hati agar kita dapat saling mencintai...

Selamat malam, jodohku ...
Semoga nanti, Kau bukan hanya perisa dalam gelap tidurku. Tapi semoga kamu adalah orang yang bisa mendidik dan menuntunku untuk keselamatan dunia akhiratku. Semoga nanti kau adalah panutan yang sebaik-baiknya panutan untukku, dan anak-anakku. Semoga nanti, kau adalah imam yang bisa menjadi tauladan untuk keturunan kita. 

Selamat malam, jodohku ...
Tetaplah menjadi laki-laki yang berbakti pada keluargamu, aku akan melihatmu dari semua rasa sayang yang kau beri kepada keluargamu. Tetaplah berjuang menggapai masa depan dan cita-citamu. Aku, disini menantimu, Menanti seperangkat alat sholat dan ikrarmu didepan penghulu. Memperbaiki serta memantaskan diri. Agar aku nanti bisa menjadi orang yang pantas saat kau perkenalkan pada keluargamu, agar aku nanti bisa menjadi wanita yang pantas mendampingimu, dan pantas menjadi Ibu dari anak-anakmu.




---

Sebelum dipertemukan,
Setidaknya aku masih layak berpuisi kepada Yang Maha Kekal abadi
...




    

Rabu, 03 Desember 2014

Maafkan Aku, Guru besarku ...

Aku terenyuh saat pertama menginjakkan kaki di sebuah laboratorium di kampusku. Di atas pintu terpampang gagah tulisan "Lab Anatomi".
Aku melonggo ke dalam. Ada dua ruangan yang masih sangat asing bagiku. Kuinjakkan kaki perlahan-lahan mengindari ribuan semut berukuran besar yang berceceran di lantai. Aku heran, hanya satu laboratorium diantara sekian banyak laboratorium yang terasnya dihinggapi makhluk menyebalkan semacam ini. Tapi fikiranku berusaha menetralkan segala prasangka burukku. Mungkin, banyak semut karena di ruangan ini adalah tempat penyimpanan jenazah.

" Teman-teman, Ini guru kalian, dosen kalian, hormati mereka seperti menghormati dosen yang lain . Jangan dianggap cadaver mayat tak bernyawa yang bisa kalian buat mainan seenaknya. Disini, mereka yang mengajari kalian anatomi " ... Lalu asdos itu berlalu sambil mempersiapkan peralatan praktikum lainnya.

Dua, Tiga, dan beberapa kali aku masih tidak ada niatan untuk mendekati benda asing tersebut. Baunya sangat tidak menyenangkan. Bau formalin yang menyengat dan memedihkan di mata membuatku semakin enggan berdekatan dengannya. Aku masih agak riskan melihat bagian-bagian vital tubuh yang sebelumnya hanya kulihat melalui gambar. Aku masih agak takut melihat kepala terbelah dua dengan otak yang benar-benar terlihat bentuk aslinya. Pernah sesekali aku menarik salah satu bagian tubuhnya, dan melihat-lihat bagiannya. Beruntung, Tuhan memberi kami semua rasa lupa. Aku masih bisa makan setelahnya dengan tangan yang bekas aku memegang salah satu organ tubuh mayat tersebut, setelah cuci tangan tentunya. 

Hingga suatu ketika aku membaca sebuah buku yang membahas Mortui Vivos Docent. Disitulah timbul berbagai rasa penyesalan yang amat dalam. Disitulah aku menyadari Guru besarku telah memberikan semua. Dia adalah pengabdian tanpa kehidupan. Dia adalah sumber ilmu tanpa pamrih. Semua itu bisa terlihat dari  Jenazah yang dianggap Mr. X, karena tidak diambil setelah sekian bulan di kamar jenazah forensik. Karena tidak ada satupun keluarga/kerabat yang mengenalinya. Betapa sakitnya jika tidak seorang pun mengenali kita. Atau pun jika ada yang kenal, tidak mau mengakui kenal kita. Setelahnya, dia akan berjasa untuk masa depan orang banyak. Dan pengabdiannya kini, pernah ku sia-siakan begitu saja hanya karena keadaan fisiknya. Seharusnya aku berterimakasih. Selama ini, aku yang hidup belajar kepada yang Mati. Tuhan, Aku berdosa ...

Itulah sebab mengapa setiap kali hendak belajar, kita selalu diminta untuk berdoa mendoakan guru besar agar mendapatkan tempat terindah disisi-Nya. Walau bagaimana dan seburuk apapun dia dulu, sekarang dia adalah pahala yang mengantar kita menuntut ilmu.







 


Senin, 20 Oktober 2014

Ayah, aku mencintaimu ...

Salam, namaku Alvy. 
Ini adalah salah satu nama dari kesekian nama yang bermetamorfosa. Kenyataannya namaku Rizka. Keluarga besarku memanggilku Ica. Dan teman sekolah-sejawatku memanggil Alvy. Baiklah, perkara nama kau bisa memanggilku siapa-pun kalian suka selagi masih ber-arti baik dan masih menjadi tiap-tiap pendoa. 

Aku terlahir dari keluarga yang biasa. Sangat biasa malah. Ayahku bukan pengusaha maupun pejabat yang rezekinya mengalir deras dari waktu ke waktu. Untuk mengais rezeki, Ayah harus bekerja keras membanting tulang mengelap tetesan-tetesan keringat untukku. Untuk kuliahku. 

Aku masih bersyukur memiliki orang yang senantiasa berkorban banyak mengais rezeki untuk segala kebutuhanku. Mengingat Ayah dulu bukan berasal dari keluarga yang mampu. Bahkan, Ayah menyelesaikan pendidikannya hingga Sarjana itu-pun dengan biayanya sendiri, setelah Ayah menikah tentunya. Ayah berhasil mendapat gelar Sarjana saat sudah mempunyai dua permata hati. Aku dan adik laki-laki-ku. 

Ayah adalah orang yang tegas. Segala keputusan beliau ambil dengan sangat hati-hati dan setelah pemikiran ulang tentunya. Aku tau, Ayah sebegitu menyayangiku. Bahkan, di usia yang hampir berkepala dua ini pun dan sekian lama aku jauh dari orangtua, nama Ayah selalu menjadi penyebab berderingnnya ponselku. Bahkan, untuk sekedar mengingatkan makan-pun. 

"Mbak, sudah makan?Jangan sampai telat makan. Jangan makan yang pedas-pedas. Tidurnya jangan larut malam, dan jangan lupa untuk selalu berdoa. Mendoakan Ibu, Ayah, dan kelancaran study-mu"

Begitulah kira-kira suara Ayah dari seberang telfon yang aku dengarkan setiap hari. Kadang aku sedikit membencinya, karena aku berpikiran aku ini sudah besar, tak perlu diingatkan sedemikian rupa. 

Ayah tak melarangku bergaul dengan siapapun, pergi kemanapun selagi jelas dan ada batasannya. Oh iya ! aku bahkan lupa. Aku termasuk salah satu anak yang tak mempunyai kesempatan keluar malam. Ayahku, tak mengizinkan aku untuk keluar malam hari. Kecuali mendatangi acara-acara resmi, itupun harus jelas pergi sama siapa dan pulang maksimal jam sembilan malam. Aku sempat kesal. Bayangkan saja, diluar sana banyak Anak muda yang bebas keluar bahkan pada malam hari kemanapun mereka pergi. Sedangkan aku? mendekam di dalam rumah. Sekalipun aku keluar malam untuk main, itu pun sama keluarga. 

Setelah aku jauh dari Ayah, aku merasa hidupku bebas. Aku bebas keluar malam bersama teman-teman. Dua tahun aku mengalami hal sedemikian, aku mulai mengerti dunia malam. Beruntung, teman-temanku senasib denganku yang dimana saat dirumah mempunyai batasan-batasan main. Aku menjelajah dunia malam karena ingin merasakan sensasi dunia malam.

Dan setelahnya, aku menyadari. Dunia malam kotaku ini sangat keras. Hal-hal yang bahkan biasanya aku hanya melihat di televisi kini bisa aku jumpai dimana-mana. Sekarang aku tau, apa maksud tersirat Ayah saat ini. Ayah, aku benar-benar sedang merindukanmu ...

Aku berpikir. Seandainya aku tidak memiliki Ayah yang membatasi keluar malamku, pasti aku berada pada salah satu diantara mereka yang sering kujumpai bahan menjadi bahan gunjingan dengan teman-temanku. Dimana aku bebas keluar malam, bebas meneguk minuman yang diharamkan agama-ku. 
Dan yang lebih membuatku tersadar, sosok Ayah yang menyelamatkanku dari semua itu....




















Selasa, 15 Juli 2014

Percakapan Terakhir




Lalu, perjuangan mana lagi yang selalu teranggap sia-sia? Aku dengan tasbihku, begitu pula pun kamu masih dengan Rosario-mu. Bukankah kita masih saling memohon pengharapan yang sama? Lantas …”

I love you…” suara kelelakiannya terdengar semakin lirih seiring bibir kami yang saling berpagutan. Mata indahnya kian meredup dibalik suara hujan yang menetes berulang-ulang. Aku kian pasrah dalam pelukan lelaki yang berada tiga puluh centi tepat di kanan tempatku bersandar.

Butiran air hujan semakin gaduh, memaksa masuk melalui celah-celah kaca mobil yang di dalamnya tertunduk cinta dua anak manusia yang kian membisu. Lampu-lampu kota menyorot memperjelas dua bayangan yang sedang berbahagia. Ya, aku dengan untaian bunga yang membentuk bandana di kepala dari kekasihku, Daniel.

Hai,
Hari ini aku begitu bahagia. Entah seberapa besar bahagia yang tengah kulalui kali ini pada malam pergantian yang akan kuhabiskan waktuku bersama orang yang lebih membahagiakan dan menyenangkan ketimbang rintikan hujan yang kian menelanjangi malam. Dua jam lagi, tepat aku akan menginjak usiaku yang baru, seperlima abad. Selain sebuket bunga diatas dashboard, lelaki yang bahunya menjadi topangan kepalaku saat ini adalah salah satu alasanku berkali-kali mengucap syukur kepada semesta, dan penguasanya.

“Kamu mau kado apa dari aku, Mil ?” kini matanya menatapku lekat-lekat. Membuka percakapan pada menit ke lima belas setelah semuanya sama-sama terdiam.

Aku hanya menggeleng membalas pertanyaan lelaki di sampingku itu. Dan ini adalah untuk pertama kali dari tiga tahun selepas dia mengikrarkan mencintaiku berada di depan pandanganku saat pergantian usiaku.

Abhayagiri Restaurant and Banquet Service, Yogyakarta. 00.00 WIB

“Selamat ulang tahun Milana Tyas …” bisik lirih lelaki dua tahun lebih tua diatasku yang mengenakan casual chinos lengkap dengan classic sneakers yang selalu tercipta nyaris sempurna di mataku. Aku selalu menyukai setiap caranya menyebutkan namaku. Ya, aku menyukai tatapannya yang selalu saja membuatku jatuh cinta berkali-kali. 

Aku hampir meniupkan sebuah lilin berangka-kan 20 yang menancap erat pada buttercream tart di depanku ketika tiba-tiba sebuah tangan menggenggam erat tanganku. Lalu aku kembali memandangnya.

“Kamu ndak mau make-a-wish dulu?” kali ini ucapannya terlihat lebih tenang dan tatapannya lebih dewasa ketimbang aku melihatnya pertama kali sekitar tiga setengah tahun lalu di sebuah cafe dengan tatapan yang dingin, hingga aku gigil dibuatnya.

Aku menengadahkan kepala pada semesta yang beratapkan langit. Suasana outdoor malam ini berkali-kali membuatku mengucap syukur pada penguasa alam atas segala pengharapan yang satu persatu dijabahNya. Kulihat lelaki didepanku persis. Dia pun tengah mengucap berbagai pengharapan dalam lirihnya. Sambil mendaras doa Salam Maria berulang-ulang merenungkan salah satu misteri yang dirangkai dalam Rosario-nya.

Aku menggigit bibirku lebih kuat. Kekagumanku kian memuncak dibalik setiap pengharapannya. Tuhan, bolehkah aku memandangnya sedikit lebih lama ?

Penghabisan dimana aku harus meniupkan lilin sebagai simbolis usiaku benar-benar berubah, ya satu tahun lebih tua dari jam-jam dimana aku masih berciuman hangat dengan kekasihku, Daniel.
---

“Doamu begitu khusyuk. Aku suka caramu berdiam seperti beberapa detik lalu. Kau begitu indah, Milana …” ujar Daniel seperti tiga tahun lalu dia mengatakan indah kepadaku. Dan aku selalu melayang tinggi dengan segala macam rayuannya.

“Aku juga menyukai caramu menjadi pendoa pada tiap-tiap injil matius yang detikan lalu kau panjatkan untukku”

Kini aku dengannya berpeluk dalam doa. Sama-sama saling berpagut memohon pada Tuhan, walau dengan cara yang berbeda.

“Aku boleh tau pengharapanmu, Mil?”

“Kamu, mas …” jawabku singkat tanpa menoleh ke arahnya. Mataku hanya menatap pada dua tangan yang masih berpagutan dibawah cahaya candle light. Aku tau, betapa lelaki didepanku itu hanya mengernyitkan kening mendengar ucapanku barusan.

“Bolehkah aku menyebut kamu sebagai pengharapanku, mas? Setidaknya kehadiranmu malam ini adalah salah satu bentuk pengaminanku. Aku ingin bisa memandangimu lebih lama dari biasanya”.

“aku menyukai kamu dan kehidupanmu. Aku menyukai caramu menghindar dari rindu yang menyakitkan, kenyataan dari tasbihku dan rosariomu …” aku semakin menahan suaraku yang mulai memancing isakku. Meyakinkan lelaki didepanku, bawasanya rasaku tidak lagi sekedar permainan.

“Sampai kapan? Sampai secangkir kopi ini mendingin? Atau sampai orang tua kita benar-benar melarang kita bahkan untuk sekedar bertemu?” kini suaranya membuatku tersentak dari tempat dudukku. Jawaban yang sama sekali tak pernah kuharapkan akhirnya keluar malam ini.

“Bukankah kamu akan menungguku sampai tiba aku sumpah dokter, mas? Lalu kau akan memberiku sebuket bunga (lagi) sama seperti kejutanmu sebelumnya?” suaraku kian memuncak dibalik rasa kepedulianku.

“Kalau kamu menunggu hubungan kita yang selayaknya jalan di tempat, kita tidak akan menikah, Milana …”

Ucapannya kian membuatku bertahan di sela-sela hawa dingin yang mulai  merayapi setiap inci indera perabaku. Mengunci setiap gerakan yang akan keluar dari bibirku. Semuanya, tertahan.

“Lalu?”

“Aku capek saat harus menjalin hubungan yang tak akan pernah bisa maju, apalagi mundur. Waktuku hanya akan menjadi kesia-siaan”.

“Lalu, apa arti berjuang dalam perbedaan selama tiga tahun, mas? Bagaimana dengan dawaian tasbih dan bisikan Rosario yang kita serukan dalam waktu yang bersamaan?” ucapku kian melirih. Berusaha menaikkan kurva kenormalanku.

“Bukan hal yang mudah perkara bagaimana aku menghormati Alfatihah-mu dan bagaimana kamu menghargai Galatia-ku, Milana. Jangan semakin membuatku membuang sisa waktuku dengan hal yang mustahil untuk dijalani”.

Daniel hanya mengalihkan pandangannya sebentar. Memberi waktu menyeka air mataku yang perlahan hampir menetes. Aku tau, Daniel sangat benci melihat isak tangis yang kian memusingkannya.

“Aku tau ini bukan alasan satu-satunya, mas. Apa ada hubungannya dengan Geovani?” Lantas aku menyebut nama perempuan yang akhir-akhir ini sering menjadi penyebab dari kekhawatiranku selama ini. Akhir-akhir ini tak jarang berkunjung ke social media perempuan yang namanya kerap kali disebut kekasihku. Perempuan yang namanya menjadi salah satu penyebab led merah pada ponsel kekasihku menyala. Bahkan saat bersamaku sekalipun.

“Maaf Milana. Tapi sepertinya aku tak ingin membicarakan hal ini sekarang. Kita…maaf, maksudku, aku-kamu akan memiliki kehidupan yang masing-masing akan tau dimana akan berpulang” tambahnya dingin. Tak peduli lagi dengan hatiku yang kian berkecamuk.

“Daniel…kau tau ini adalah hari ulang tahunku. Tak bisakah kau ucapkan ini di lain hari?” bentakku lirih masih dengan rasa atas nama ketidakpercayaan. Kita telah saling mengucapkan selamat tinggal.

---

#30HariSeusaiPercakapanItu

Aku, duduk di pinggiran pantai Sepanjang. Mataku menerawang jauh pada garis Cakrawala. Sekilas masih terdengar suara Daniel. Aku menorehkan kenyataan. Membiarkan semua terbuka sesaat-setelah-alasan-klasik-perbedaan-hingga-bio twittermu-berganti-namanya.

Ternyata, Tasbih dan Rosario bukan satu-satunya alasan kita menjadi aku-kamu. Dan kamu mengkambing-hitamkan dua pendoa sebagai alasanmu memilihnya.

“Persetan dengan perbedaan. Tasbihmu, Rosarioku, menyatu dalam diam. Cinta kita. Aku teramat mencintaimu, Milana …”

Aku selalu menyukai bagaimana dia menyebut namaku, Milana. yang artinya mulia. dan kini, kemuliaanku bukan dari seberapa tangis yang kau buat. tapi bagaimana aku pernah memperjuangkan dua garis doa dengan cara yang berbeda.

Senja membiarkan ombak merenggut rasa sakit yang menetap di seluruh penjuru hatiku. Menghisap dan melumpuhkan ingatanku, membawanya tenggelam bersama dengan bola api raksasa di dasar lautan.

Andai kamu tak kadaluarsa untuk menyadari, sesaat sebelum percakapan yang menjadi aku-kamu itu berakhir. Dan andai aku tau hujan dan lampu kota malam itu adalah terakhir bagaimana aku merasakan ciuman darimu. aku ingin memelukmu sebentar lebih lama lagi.  Melepaskan, tak sebercanda ini. 



Karena pelukanmu begitu lekat seperti partikel hujan malam itu
Menghilang atas nama ketidaksamaan tiap-tiap pendoa