Rabu, 18 Februari 2015

#30HariMenulisSuratCinta- Lelaki Pendua


Epic caffe, 16 februari 2015
Dua cangkir kopi hitam itu terpampang sudah lebih dari lima belas menit di mejaku. Tanpa kusentuh-pun aku sudah tau betapa hambar dan dinginnya minuman tersebut. Di sampingnya, ada beberapa serpihan pinggiran roti tawar yang sengaja tak kumakan. Tau kan? betapa pinggiran roti tawar yang sampai sekarang tak pernah kutemukan dimana letak kenikmatannya.

Di hadapanku persis, seorang lelaki tengah menyesap rokoknya yang kesekian. Kepalanya bersandar pada kursi dengan dua kemungkinan; barangkali ia lelah terkubur dalam masalah-masalah hidupnya, barang ia ingin nyaman walau hanya sebentar saja.

Perkenalkan, lelaki setengah meter didepanku ini pemilik nama Bara. Aku mengenalnya tepat setengah tahun yang lalu setelah sama-sama tak sengaja bertemu dalam acara promnight lalu berlanjut di berbagai social media hingga pertemuan kali ini. Lelaki ini tengah benar-benar nyaman dalam penyandarannya sehingga ia lupa; ada aku yang sengaja diundang untuk mendengarkan keluh kesahnya.

“Aku bosan, dan aku bingung bagaimana cara mengakhiri hubunganku yang laknat ini ” – ujar lelaki yang sempat membuatku mengurungkan menjamah kopi yang hampir saja masuk walaupun sekedar membasuh kerongkonganku yang sudah mengering.

“Kamu tidak sedang bercanda Bar? Atau kamu sedang tidak dalam pengaruh Wine yang kamu teguk semalaman?”
Kembali aku hendak menyeruput kopi dingin nan hambar seperti dugaanku. Namun, lagi-lagi niat itu kuurungkan kembali. Aku lebih memilih merengguh sebotol air mineral yang sengaja dipesan. Yang kuingat dari ucapan Bara setengah jam lalu;

“Aku pesen dua kopi hitam. Tapi aku juga pesen sebotol air mineral. Karena aku tau kamu tak pernah menyukai kopi hitam, bukan? Tapi barang sekali saja kamu harus mencoba. Biar kamu tau, hidup tidak melulu soal manis seperti minuman-minuman yang biasa kau tenggak” – Bara, 21 tahun. 
 ---

“Jadi, setengah tahun lamanya, sekian kali kopi darat denganku, kau masih tak bisa membedakan mana aku bercanda mana aku serius?” – kali ini nadanya menaik. 

“Haha, maaf. Jadi masalah apa? Restu? Atau perempuanmu menyebalkan?” Aku hanya tertawa kecil. Dia hanya menggeleng.

“Tak ada yang berubah. Dia tetap baik padaku dari awal jadian sampai sekarang. Dia tetap menyalurkan berbagai perhatian-perhatian kecilnya. Intinya, tak ada yang berbeda dari alasan pertama aku mencintainya dulu” 

“Jadi karena apa???” –Aku gantian mendengus kesal. Bukan karena basa-basinya yang semakin basi. Tapi karena asap rokok yang mengarah ke wajahku kian membuatku sesak.

“Orangtua tak ada masalah. Hubunganku dengannya juga baik-baik saja. Tapi aku bosan, aku sudah tidak mencintainya”

“Enggg, ada cara lain selain membuatnya terluka? Maaf, memutuskan hubungan tanpa alasan yang jelas hanya akan menyakiti perempuanmu. Buat apa dulu kau membuat suatu komitmen kalo tak dibarengi dengan menjaga perasaannya. Kau paham?”—kali ini entah kekuatan dari mana aku bisa menata kalimat sedemikan rupa; atau karena aku pernah menjadi lakon dari pihak perempuannya.

“Tapi aku tetap harus meninggalkannya”—kali ini dia menyeruput kopinya.  “Kau tau? Disisi lain ada yang lebih harus kujaga perasaannya”

“Kau menduakannya?”
Bara hanya mengangguk sesekali tersenyum. Tak ada yang salah dari senyumnya yang manis, hanya saja lama-kelamaan terasa sinis.

Aku mengalihkan pandanganku kearah lantai. Setidaknya lantai-lantai berbahan dasar semen itu tak lebih menjijikan dari pemandangan lelaki di depanku. Ah, tapi segala apa yang tidak bisa dilakukan oleh lelaki macam Bara. Tampilan keren, tumpangan oke. Otak? Apalagi yang hendak diragukan bagi mahasiswa jurusan kedokteran di universitas bergengsi di Jogja? Jadi, cukup mumpuni untuknya mendapatkan perempuan manapun, menyabet kandidat playboy. Wajar saja; ada yang enggan ditinggal, ada rela diduakan.

“Al, kamu dengar?” – Bara membuyarkan lamunanku. Kali ini aku hanya membalas senyuman sinisnya.

“Dengar ya Bar, sekian kali curhatan kecilmu di pesan-pun tak ada satupun yang kubalas dengan kata duakan. Tidak. Kalo niatmu meninggalkan, tinggalkan tanpa bekas. Bukan menduakan seperti ini. Kau lupa? Yang sedang kau sakiti adalah perempuan yang pernah kau peluk dengan hati yang sama” Aku terus berusaha mengatur nafas yang kian memburu.

“Ah, kau tau sebab dari semuanya?”—ujarnya sambil menyesap rokok. Kalau tidak salah, ini adalah rokok ke-empatnya setelah rokok pertama-kedua-ketiganya ludes dalam hitungan menit. “Aku tak bisa hidup tanpa perempuan. Sebelum-sebelumnya aku tak pernah memutuskan kekasihku sebelum aku mempunyai kekasih yang lain. Mereka yang kuputuskan kutinggalkan dengan mudahnya. Aku tak peduli bagaimana setelahnya. Bukankah bukan urusanku lagi ?” 

“Kamu merasa nikmat mendua, Bar?” – Ah, bodoh sekali pertanyaanku. Aku bertanya dengan jawaban yang sudah pasti tak ada jawaban lain selain “ya”. 

“Mempunyai perempuan lain itu nikmat Tuhan yang tak bisa didustakan lagi. Apa yang tidak dimiliki pasangan perempuanku maka akan dilengkapi perempuan lain. Jika aku bosan atau sedang tidak baik-baik saja dengan perempuanku, maka kudatangi perempuan lainku. Lalu aku akan bahagia, aku akan tetap menikmati hidup yang hanya sekali ini untuk bersenang-senang bersamanya. Hei, hidup sekali masih saja dibikin ribet?” 

Dalam hati aku meng-iya-kan kata-kata Bara. Ada beberapa kalimat yang memang aku garis bawah-i. Tapi tetap saja namanya mendua. Menghancurkan perasaan perempuan yang tengah menaruh hati dan harapan besar kepadamu. Perempuan yang mengorbankan seluruh perasaannya demi tetap bisa mencintaimu. Kau tidak akan pernah tau segala tangis yang kau buat setelahnya. Kau tidak akan pernah tau betapa kepingan hati yang sekalipun telah tersusun tidak akan utuh kembali.

 Aku terdiam seribu bahasa. Bicara-pun rasanya juga percuma. Yang tak pernah aku lupa, ini negara demokrasi. Dimana semua orang bebas menyampaikan pendapatnya. Ya, kalau pendapat lelaki di depanku ini sedemikian rupa. Aku bisa apa?

Lelaki itu terus menatapku. Seolah Ia tau; aku tengah meng-iya-kan kalimat yang tak akan pernah aku iya-kan. Mendua. 

Aku hanya menatap balik lelaki di depanku. Kali ini Ia tak lagi menyesap rokok ke-empatnya sampai habis. Setengah dari rokok dibuangnya pada wadah kecil. Mungkin Ia paham, racun-racun kecil dari rokok itu hanya akan membuatnya mati. Setelah mati nanti dia akan kehilangan dua perkara penting dalam hidupnya; keindahan dunia dan kenikmatan mendua.

Bahagiakah kamu dengan segala air mata yang tercucur begitu derasnya atas kepergianmu dengan perempuan lain ? - Aku
perempuan yang pernah memiliki lakon yang sama dengan perempuanmu.


Percakapan senja 
yang direkam penulis bersama Lelaki yang gemar mendua
Lelaki pendua-

Sabtu, 14 Februari 2015

#30HariMenulisSuratCinta – Is writing a message ...


Menyenangkan sekali ketika teringat ini adalah tanggal 14 februari. Yes, Just say it ! betapa lelucon Tuhan yang luar biasa sekali. Bahkan aku pun sampai belum menemukan dimana letak kelucuannya. Ya, 14 februari setahun lalu aku masih bolak-balik kamar-kasur-galerry untuk sekedar menangisi mantan kekasihku. Betapa konyol ya? Iya. Boro-boro aku menulis surat, setaun lalu aku sibuk menjadi stalker bagi perempuan yang berlindung dibalik selimut orang lain; enggg, maksudku, aku dan mantan kekasihku
 
Tapi siapa mengira guyonan Tuhan kali benar-benar lucu. Setelah setaun lalu aku terpuruk dalam keadaan yang kuceritakan barusan, lalu hari ini aku sudah pensiun dari stalker perempuan itu. Aku memilih menulis surat. Dan awesome-nya lagi, aku tidak akan menulis surat ini untuk mantan kekasih yang (pernah) menghambur-hamburkan air mataku. Tidak.  Bahkan akan kuputuskan pemilik surat ini adalah kamu; pemilik jarak ratusan kilometer dari tempat tinggalku.  

Is writing a message …

Tak hanya sekali dua kali aku memandangi kata yang kerap muncul diantara percakapan kita. Kata-kata itu berjajar tepat dibawah huruf bertuliskan namamu. Barangkali sehuruf-dua huruf ia adalah isyarat ; seberapapun kamu rindu, seberapapun kamu menahan.
Seperti biasa, tak ada hal yang lebih banyak kulakukan sebelum tidur selain hanya memandangi benda yang menjadi media percakapan kita akhir-akhir ini. Setiap kali ia berbunyi, selalu ada harapan atas kamu. Itulah sebab mengapa aku meminta izin untuk menyebutmu sebagai penghantar tidurku, dopamine.

Is writing a message …
Tersebutlah definisi lain dari ‘menunggu’. Ia adalah guliran waktu. Bergelut dengan tajamnya rindu dalam masa menunggu. Menunggu apa? Harapanku terlalu banyak. Menunggu kehadiranmu walau hanya dalam bentuk pesan sekalipun, menunggu rengkuhan tanganmu diantara jemariku saat nanti kita berada di satu titik pertemuan rindu, dan yang jelas adalah menunggu pinanganmu. Betapa aku selalu membayangkan sebuah pantulan bayanganku dicermin dengan memakai gaun kebaya pengantin seperti impianku. Ah, sejauh itukah rasanya berharap dalam sebuah penantian?

Is writing a message …

Lama sudah aku memandangi layar ponsel tuaku. Detak jam yang terdengar kian riuh tak peduli dengan pengharapan ‘is writing a message’ akan berubah menjadi kehadiranmu yang menjelma dengan huruf kecil terangkai kata. Tapi ini benar-benar lama. tak hanya sekali-dua kali kututup aplikasi pesan sampai ku restart-pun rasanya percuma. Hingga aku tersadar apa yang kuharapkan tak sesuai dengan kenyataan. Ah, ternyata benar. Kepalsuan harapan tidak hanya datang dari lelaki pemain cinta saja, tapi dari yang lain-lain. Termasuk ia, pemilik nama ‘is writing a message’.

Sudah kubilang, cara ampuh yang biasa kulakukan untuk membiaskan rindu adalah dengan cara terlelap sampai keesokan harinya. Dalam lelapku aku selalu memohon atas kehadiranmu di berbagai kemungkinan.  Walaupun rindu itu tidak hilang, tapi setidaknya akan berkurang. Hingga saat aku terbangun benar-benar pengharapanku tersampaikan. Kamu benar-benar hadir.  Seperti biasa, waktu tertera dini hari. Setelahnya aku menyesal. Jadi, aku meninggalkanmu semalam dalam keadaan kehadiranmu terperangkap sinyal?

Tak hanya sekali-dua kali kejadian demi kejadian yang sama ini terjadi. Lalu, dengan cara apalagi untukku menebus segala kesalahan yang sama? Ah, aku hilang akal selain minta maaf dan terus menerus meminta maaf sama sepertimu meminta maaf saat terlambat membalas seperti yang sudah-sudah?
Apa nanti aku tidak akan terlihat bodoh didepanmu? 

Is writing a message …
Mulai hari ini mungkin aku tidak berjanji bisa membalas dengan cepat. Tapi aku berjanji akan menunggu sampai tulisan ‘is writing a message’ benar-benar berganti menjadi kehadiranmu. Karena seberapapun aku paham, hadirmu adalah tentang bagaimana untukku bersabar. 

Is writing a message ...
Terimakasih telah menjadi penghantar bagi lelaki yang telah membuatku nyaman. membuatku menyandarkan berbagai pengharapan dan namanya menjadi pengisi bagi kekosongan dalam percakapanku dengan Tuhan. 

Untukmu, yang kerap kusebut dopamine-ku
Padamu, aku menaruh segala hati. Sebutlah aku, perempuan yang gemar menyembunyikan segala rasa sayang dibalik semua rasa diam. Jangankan mengungkap rindu sedang menatap matamu pun aku rasanya tak mampu. Tapi tuntutan penulisan surat Just say it kali ini membuatku harus benar-benar membuka semua yang ada; Menerima kenyataan bahwa aku memang terlanjur sayang.


Aku mencintaimu,
Dan aku rindu yang sebenar-benarnya rindu 
:') 

Tertanda ;
perempuan yang mencintaimu



Rabu, 11 Februari 2015

#30HariMenulisSuratCinta – Stand By Me, Al …



Pagi kedua aku menulis surat cinta di tempat yang sama. Sebenarnya, aku bingung akan kutujukan pada siapakah surat cinta bertemaku hari ini. Mengingat tidak hanya satu dua orang yang membutuhkan segala dukungan. Ibu, Ayah, Adik, Sahabat, Kekasih, dan masih banyak lagi. 
 
Tapi ada satu orang yang yang ingin sekali kutulis surat cinta untuknya. Maaf, aku memanggilnya Al. Bukan Alfa, bukan. Aku tidak akan menulis surat cinta untuknya hari ini. Sebisa, aku sudah menutup semuanya. Dia tidak akan lagi hadir walau hanya menjadi jiwa-jiwa kecil dalam tulisanku.

Aku menulisnya untuk dia. Pemilik semesta.
Tapi aku tau, saat ini dia memang benar-benar butuh segala dukungan dan semangat. Jauh dari sebelum dia akan memasuki ujian blok jiwa.
Kamu tau? Selain orang tua dan orang-orang disekitarnya, Tuhan memiliki cara yang cukup owsom untuk memberi segala dukungan bagi perempuan ini. Diturunkanlah sistem imunitas perempuan ini menjelang-menjelang ujian. Maka, perempuan ini akan benar-benar berjuang untuk dua hal; ilmu dan kesehatan.

Blok jiwa? Perempuan ini tidak akan banyak bicara. Dengan sks yang cukup banyak dan soal yang ada 100 option, ditambah satu kasus MEQ cukup memabukkan bagi perempuan yang tak pernah masuk kuliah jiwa sepertinya.

Hari ini adalah H-1 dia akan menjalani OSCE. Orang menyebutnya ujian praktek. Kamu tau? Semester ini akan akan 14 stase dengan dua stase istirahat. Perempuan ini bilang tidak sanggup. Terlihat saat ia benar-benar letih dan menangis pada suatu sore. Bagaimana tidak? Saat Raga masih berkutat dengan manekin dan segalanya, sementara jiwa sudah benar-benar berpulang.
Tapi seperti ia akan menyebrangi pulau, dan osce adalah jembatan. Perempuan ini tidak akan mencapai pulau yang diinginkan dan segera memeluk kekasih jikalau tidak melewati jembatan itu. Kamu bisa membayangkan? Betapa perjuangan lagi yang harus ia sematkan.

Betapa stase pimpinan persalinan normal yang seharusnya biasa dilakukan seorang bidan dan obsgyn, kali ini harus benar-benar ia lakoni dalam waktu 13 menit. Stase jiwa yang biasa dilakukan seorang psikiater dan psikolog, kali ini akan ia pegang dengan waktu yang sama, 13 menit. Stase anak yang biasanya menjadi makan sehari-hari pediatric, kali ini akan ia lahab sendirian. Dan pada masing-masing blok akan ada pemeriksaan lain yang harus dia kerjakan. 
Kurang apalagi alasanku memberikannya semangat dan segala dukungan?

Hingga pada suatu sore perempuan ini menangis. Dia letih, dia mulai benar-benar merindu rumah. Perempuan ini rindu akan masakan Ibunya, atau pelukan kecil Ayahnya, bahkan tangisan nakal Adiknya. Yang ku tau, ada  sesuatu yang tengah berbisik lirih padanya. Entah apa yang ia katakan, yang jelas ia menguatkan. Hingga perempuan itu benar-benar tersadar, ada dua penguat yang sedang menunggunya. Ibu dan Ayahnya akan duduk didepan ruang praktek yang bertulisan nama perempuan itu dan tersenyum menyapanya,  'Selamat pagi dok ...'


Kepada perempuan pemilik jam tidur dini hari

Alvy-

Selasa, 10 Februari 2015

#30HariMenulisSuratCinta – Yang telah lama pergi, lalu hadir kembali

‘Hai, !’ sapamu pada suatu ketika kau telah benar-benar pergi dan aku-pun tak mengharapkan kehadiranmu kembali. Aku hanya membiarkan pesan singkat itu lalu berpura-pura tak peduli. Apa yang kulakukan seolah tak ada satupun yang terjadi.

Tapi sial ! Tanganku tak kuasa untuk sekedar menahan membaca lalu membalasnya. 

‘Iya?’
Tiga huruf satu tanda baca yang kuingat saat itu. Sialnya lagi, untuk kedua kali tanganku tak kuasa menahan untuk tidak menekan tombol ‘send’.

Argh ! Kau membalasnya lagi. Betapa tidak kuharapkan namamu menjadi penghias dari percakapan line-ku malam itu.

Dari situ hingga pada akhirnya percakapan terlarang itu tercipta kembali.
Emm, maaf. Aku menyebutnya percakapan terlarang. You know why I call it-lah. Kamu adalah satu dari sekian lelaki yang pernah memberiku pelajaran, sekaligus menyadarkanku. Bahwa aku memang pernah bodoh ! 

Malam itu, entah malam apa namanya aku lupa. Yang jelas adalah malam dimana otakku ingin sekali kembali pada masa-masa tiga tahun lalu dimana pertama kali aku mengenal namamu, dan membenamkannya dalam amigdala sampai detik aku menulis surat cinta ini. Haha, hebat ya aku bisa mengingat namamu selama tiga tahun sementara yang ku tau keyword materi kuliah kemarin saja aku bisa lupa.
Hebatnya lagi, kau bisa menjadi alasanku menggilai hujan dan malam. Bahkan sesaat-sebelum-status-bbm-mu-berganti-menjadi-nama-perempuanmu.

Ah, kuingat betul saat aku baru saja putus dengan mantan kekasihku. Lalu, perlahan kau mendekatiku. Sederhana sekali. Follow di berbagai social media, hingga sekian kali dating terakhir ditemani malam dan hujan. Terimakasih, aku pernah menjadikannya bagian special dalam hidupku.

Menyedihkan sekali waktu aku tau pada suatu malam tiba-tiba kulihat fotomu bersama perempuan. Dia cantik. Ah, walaupun untuk urusan badan aku tak kalah cantik tapi setidaknya dia pernah mendengar kamu memanggilnya cantik. Kamu tau? Hal semacam itu tak akan membuatku menghapus namamu dari kontakku.

Kamu pasti akan menganggapku buta. Tidak. Hal mana-kah yang kamu anggap aku tidak tau? Nama perempuanmu? Aku tau, dia berinisial double-I. Asalnya? Padang. Dia dua tahun diatas angkatanmu. Dia punya lesung pipi dan berkacamata. Dia adalah pemilik sifat bawel.
Apalagi? Kau akan ngetes apalagi? Bahkan alasan ketidak-sengajaanmu memilihnya menjadi pemilik hatimu saja aku masih ingat.  Kau pasti tidak menyangka sebegitu handalnya aku menjadi stalker.
Asal kamu tau, semenjak perempuan itu kau putuskan menjadi teman hidupmu, stalking adalah rutinitas wajibku dari bangun tidur hingga beranjak tidur kembali.

Sakit? Ah apa itu sakit? Ditinggalkan begitu saja setelah dibuat sebegitu jatuh cinta? Oh, tidak. Luka-luka dari mantan kekasihku masih ada. Maaf kalau aku pikir kamu datang untuk menyembuhkan luka. Aku hanya tidak menyangka kehadiranmu hanya untuk sekedar menabur garam diatas luka.

Kamu hadir kembali ?
Kamu kemana saja selama ini? Setelah tiba-tiba kamu menghilang dan datang kembali dalam segala ketidakberdayaanku atas pengakuan “Bukan Cuma kamu yang udah jatuh cinta, aku juga”. 

What the hell is going on? Haruskah aku mempercayai sama dengan alasanmu memilih perempuanmu saat itu adalah ketidaksengajaan?
-aku tidak sengaja jadian sama dia -you, 2013
Haruskah aku mengulang kebodohan yang sama?

Tapi maaf, lelaki yang (pernah) sebegitunya aku sayang. Dopamine-ku saat ini adalah benar-benar penawar dari segala sakitku. Maaf juga aku telah memilihnya tanpa memikirkanmu. toh, yang ku tau kamu sudah tidak peduli lagi bukan? Anggap saja malam dan hujan tak pernah lagi ada. Mereka hanya pencitraan bahwa ‘kita’ memang benar-benar pernah ada.