Ayah,
ini dari aku.
Perempuan
yang kau cinta dan akan tetap menjadi putri kecilmu yang manja
Sore yang panas. Entah jogja
sekarang sedang menunjukkan ke-labil-annya. Siang panas malam hujan.
Membingungkan!
Sama
sepertiku sudah tak tau lagi mesti mengirim surat ini kepada siapa selain
kepadamu. Walaupun aku tau, kau juga tak akan membacanya. Tapi setidaknya,
sekalipun tak kau baca, masih ada orang lain yang tau maksudku.
Bagaimana kabarmu, Ayah?
Ah kuharap kau sehat-sehat sama seperti suara lantangmu di telepon yang kerap kali memastikan padaku kau
baik-baik saja tak kurang suatu apapun.
Ayah,
Tadi kakak sudah presentasi dua
penugasan sekaligus. Satu tugas blok ini terselesaikan. Lega? Pasti. Entah
bagaimanapun hasilnya nanti. Tapi, Ayah pernah berkata bahwa hasil tak akan menghianati sebuah usaha, bukan
?
Haha,
semoga.
Ayah,
Hari ini entah mengapa Kakak
rindu sekali pada tiap-tiap senyummu. Padahal baru kemarin Kakak pergi lagi ke
perantauan. Alasan satu, mengejar masa depan. Memang lah ya, rumah benar-benar
satu-satunya tempat ternyaman untuk berpulang ;((
Ayah,
Kakak pengen cerita
Tadi malam Kakak melihat seorang
anak perempuan kecil menangis nakal sambil memukul-mukul Ayah yang
menggendongnya. Tak banyak yang laki-laki separuh baya itu lakukan selain terus
menggendong dan menenangkannya. Lalu memberikan apapun yang diminta gadis kecil
itu. Termasuk ketika gadis kecil itu memintanya menjadi kuda-kudaan di sebuah
supermarket.
Ah,
Tiba-tiba
saja aku teringat sosokmu, Ayah.
Waktu
kecil bukankah aku pernah sebegitu nakalnya?
Yang kuingat aku pernah
melemparkan sepatuku hanya gara-gara aku tak mau minum obat. Dan masih ingatkah
apa yang kau lakukan?
Ah, usia-usia sepertimu memang
sudah tak sepantasnya untuk ditanyai tentang rekaman memori yang lampau ya, :)
Tak hanya kau mengambilkan
sepatu merahku pada saat itu, tapi juga berlutut memakaikan kembali di kaki
kecilku dengan sabar.
Lalu
kau memintaku untuk minum obat lagi …
Masih kuingat betul saat aku menengguk
obat yang (( ARGH PAHIT BUKAN MAIN !! )) lalu menyemburkan kembali didepanmu.
Kau hanya menyuapkanku segelas
air putih lalu mengelap sisa-sisa obat dengan tisu. Setelahnya, aku tertawa.
Dan kau terus membujukku untuk meminumnya kembali.
He-he
begitu perjuangan yang bagimu tak ada apa-apanya ya, Ayah. Tapi untuk kali ini
benar-benar membekas penuh …
Hmmm…Ayah,
Sudah
dulu ya surat cinta untukmu. Rasanya tak sanggup aku meneruskannya. Tak lucu
pula keyboard tuaku basah oleh air mata. Keingat hal sekecil ini saja sudah
membuatku lumayan bercucuran mbrebes mili …
Salam
sayang, buat Ayah
Dari gadis kecilmu yang selau merengek meminta ini-itu
padamu ...
Tiap hari jadi keterusan baca suratnya nih :)
BalasHapusTerimakasih, fikri maulana :')
BalasHapus