Minggu, 29 Juni 2014

Sephia ...



Cinta membuatku sebegitu lumpuh, bahkan sampai kehilangan titik normalku. Persetan dengan segala kata cinta dan lelaki yang kini berada di depanku persis, kekasih orang.

Ini sudah menit ke lima belas dan waktu kesekian aku terjebak dalam diam. Aku menyeruput secangkir teh manis kesukaanku. Pandanganku masih melekat erat pada lelaki yang ada didepanku. Namun tak kulihat pandangannya membalas pandanganku. Matanya tertuju pada ponsel yang digenggamnya. Aku sudah tidak tau lagi apa yang dikerjakannya.

“kamu kenapa diam? Kamu tak bosan membiarkanku terus membisu. Padahal kita berada pada lingkup yang sama, bahkan meja yang sama.” Ujarku memberanikan diri membuka pembicaraan. Suaraku begitu tercekat, memaksaku untuk mengeluarkan kata yang sudah seharusnya kukatakan.

Lelaki itu hanya sedikit mengalihkan pandangannya. Dia menatapku. Tatapan kesekian kali yang membuatku jatuh cinta.  Membuatku lupa aku mencintai sosok yang tak seharusnya kusandarkan perasaan ini. Suara yang kuharapkan tak kunjung keluar dari bibirnya. Bibir yang pernah sebegitu kukagumi dari awal pertemuanku. Bibir yang selalu menemaniku dalam perjalanan Jogja-Solo. Semuanya begitu berubah.

Setahun yang lalu Tuhan mempertemukanku dengan sosok yang sekarang ada didepanku. Namanya, Adi. Aku sempat menaruh hati padanya setelah aku dihianati sahabatku sendiri. Ya, sebelum aku mengenal Adi aku sempat dekat dengan lelaki yang satu almamater denganku, namanya Reno. 

Reno menghilang tiba-tiba setelah terakhir kulihat dia mengganti display picturenya dengan gambar seorang perempuan. Lima bulan setelah sepeninggalan Reno, tiba-tiba sahabatku bercerita bawasanya dia menjalin hubungan dengan Reno. Mungkin bisa kamu rasakan seberapa sakitnya, seorang yang merebut kebahagiaanku itu adalah sahabatku sendiri ...
---

Lalu aku jatuh cinta pada kakak kelasku, Adi. Dan kopi daratku kali ini bukan hal yang pertama kalinya kami lakukan. Aku dengannya sudah berulang kali keluar untuk sekedar refreshing, dan semakin mendekatkan diri tentunya. Sejauh ini, dia tak pernah memintaku untuk menjadikan kekasihnya.

Bukan karena aku yang meminta. Dari sekian perhatian yang ditujukan padaku, membuatku berulang-ulang merasa bahwa dia mungkin memiliki perasaan yang sama. Aku ini wanita, dan aku juga sudah dewasa, kamu pun bahkan bisa memahami jika seseorang menaruh perhatian lebih, itu artinya apa.

Aku semakin memandangi lelaki yang tak ada satu meter dari pandanganku. Semua sudah jauh berbeda. Aku sudah tak seleluasa dulu menikmati pemandangan didepanku. Hatiku mengganjal. Lalu aku tersadar, lelaki yang tengah kupandangi itu adalah orang yang sama yang sedang menjadi pengharapan seorang wanita yang beberapa waktu lalu menjadi sasaran stalkingku.

Multi-stalkku waktu itu telah mengubah semuanya. Selain mengubah dua cangkir teh panas yang mendingin pada meja yang bersamaan, dia juga mengubah rasa dan caraku memeluknya dari belakang. Harus berapa kali kukatakan kepadamu, aku harus menanggung rasa sakit untuk yang keberapa kali?

 Dan seberapa sakit lagi saat aku mengetahui orang yang namanya selalu aku sebut dalam setiap sepertiga sholat malamku itu tiada hak untukku ?

Maaf dari Tuhan untuknya melaluiku membuatku semakin susah membuat jarak dengannya. Bagaimana tidak? Aku selalu memaafkannya bahkan saat mengetahui alasannya tak menjadikanku kekasih. Ya, wanita itu. Aku bahkan tak bisa membencinya.

Rasaku sudah sebegitu dalam untuknya. Sebegitu caranya menjadikanku kekasih yang lain untuknya. Aku bahkan sudah gelap mata, gelap hati, bahkan sampai lupa rasanya aku ini hanya kekasihnya yang lain. Kutegaskan sekali lagi, hanya-kekasihnya-yang-lain. Kekasih selama Adi terpaut jarak oleh wanita pengharapannya.

Jogja
Harus pula kuceritakan padamu bagaimana aku kuat menghadapi jeritan hati saat aku kembali pulang ke kotaku? Ya, masih dengan tokoh yang sama. Adi.

Adi bahkan tak pernah menghubungiku tatkala berada di Jogja. Ya, dia sibuk dengan wanitanya. Hati ini selalu saja memaafkannya. Hal seperti ini bukan untuk pertama kalinya dilakukannya padaku. Aku hanya dianggap ada saat dia terpisah jarak oleh wanitanya. Dan saat seperti ini? Aku ditinggalnya begitu saja. Aku sudah selalu terbiasa dengan keadaan seperti ini.

Dan Solo malam ini membuatku harus menahan tangis didepannya. Aku benci saat seperti ini. Tangis yang tertahan hanya akan membuat dadaku ini semakin sesak. Ciumannya yang selalu membuatku percaya dia adalah jawaban dari doaku itu terlintas lagi dari sawar-sawar otakku. Bayangan dua bibir yang saling bersentuhan dan setiap kata sayang yang keluar lembut itu membuatku harus menghela nafas dalam-dalam. Selain menangis, hanya itu yang bisa kulakukan.

Tuhan meyakinkanku, aku hanyalah kekasih gelap dari lelaki yang amat kucintai itu. Tuhan semakin memperjelas, aku hanyalah sephia-nya ...

Cinta memang tak selamanya manis. Tapi aku tak pernah menyangka cinta akan sepahit ini


 Ditulis lewat tengah malam oleh pihak ketiga
Salah satu tokoh yang tak disebutkan namanya disitu
yang pernah menjadi bagian dari kesakitan tokoh "Aku"







Mas, Baca ?

ini sudah menit kesekian setelah pesan terakhir itu kubiarkan begitu saja seiring dengan secangkir kopi yang semakin mendingin. dua-duanya sama sekali tak tersentuh olehku. percuma. semuanya sudah pasti dingin dan hambar. sama seperti kehadiranmu akhir-akhir ini.

Cara berakhirnya hubungan kita yang tak berstatus itu, enggg tepatnya bukan hubungan lagi membuatku sudah lebih dari sekedar kata kecewa. bagaimana tidak? coba normalkan pikiranmu. kau pergi begitu saja setelah aku benar-benar menaruh harapan besar padamu.

Coba tanyakan pada taman lampion malam itu, mungkin dia bisa menceritakan segala rekaman pada pertemuan pertama kita.  kita duduk di tepi danau pinggiran monumen dengan setiap alunan akustik yang menemani setiap percakapan kita. dan harusnya kau tau alasanku tak pernah mengunjungi tempat itu lagi setelah sekian waktu tak kudengar kabarmu.

Harusnya kau mengerti mengapa sejauh ini aku selalu berusaha menghindarimu. bukan hanya karena waktu yang telah mengubah statusmu dengan wanita lain. coba kamu ingat pada hujan malam itu. coba putar waktumu pada sepiring donuts yang menemani malam terakhir pertemuan kita. coba kamu ingat rintikan hujan dan sandaranku pada bahumu menemanimu membawa mobil kearah kenangan lama. 

Dan coba kau ingat bagaimana percakapan itu berakhir. 

sudah kau ingat? posisikan dirimu berada di aku. lalu, bagaimana rasanya? 

Jika aku benar-benar menghindarimu, hanya semata aku tidak ingin perasaanku ini terlalu lama menggantung kepada orang yang bahkan sama sekali tidak pernah memiliki niat untuk bersamaku. Aku tidak ingin air mata ini banyak keluar untuk orang yang tidak tepat.

Lalu bukan untuk sekali kau datang kepadaku. sudah berulang kali kukatakan kepadamu. aku bukan sephia-mu yang kerap kali kau datangi disaat hubunganmu dengan kekasihmu sedang tidak baik-baik saja. Aku bukan sephia yang kau hubungi disaat kau merasa sepi, lalu kau pergi begitu apa yang kau inginkan hadir kembali. 

---





Bulan ke-sembilan

Sudah lewat dari setengah jam yang lalu setelah terakhir kulihat pesan di handphoneku bertuliskan “Aku udah sampai”

Sebuah mobil terhenti pada sebuah cafe. Dengan susah payah aku berusaha me-majumundurkan untuk memastikan mobilku terparkir dengan rapi. Perlu kesabaran ekstra memang. Parkir mobil di kawasan ini memang benar-benar butuh ketelatenan yang besar. 
 
Cafenya tidak terlalu besar. Namun selalu saja penuh oleh anak muda yang notabenenya mahasiswa dan pasangan yang sedang menikmati makan malamnya. Rintik gerimis di luar membuatku harus cepat-cepat memasuki tempat yang hampir beberapa waktu terakhir tak terjamah olehku.

Aku mulai memasuki koridor cafe. Tangga yang sedikit berlumut membuatku harus berjalan lebih pelan. Converseku yang mulai berdecit saat memasuki lantai cafe tersebut memaksaku untuk lebih berhati-hati. Aku celigukan menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku sama sekali tak menjumpai apa yang sedang kucari.

Langkah semakin menuntunku masuk ke dalam. Aku sama sekali tak asing dengan tempat ini. Semuanya nyaris berubah. Selain dinding dan interiornya yang semakin berkesan baru, ada hal yang semakin jelas terlihat berubah. Ya, dua cangkir cappucino panas itu sudah tidak ada lagi. Dua cangkir cappucino di sudut ruangan bersama selebaran kartu uno kini tergantikan oleh meja kosong tak berpenghuni. 
 
Aku tercengang tatkala seorang laki-laki memanggil namaku. Senyumnya yang sudah lama tak kulihat mengisyaratkanku untuk menghampirinya. Langkahku semakin cepat menuju satu bangku didepannya. Kulempar tasku. Aku sudah tak peduli lagi dengan kondisiku. Kutepuk bahunya keras-keras.

“Ojan ! you don’t know how I missing you so damn” ujarku setengah teriak, sudah tiga tahun lebih rasanya aku tak menjumpai makhluk konyol satu ini. Teriakanku nyaris membuat dua wanita di bangku sebelah menoleh ke arahku. 
 
Ojan hanya tertawa kecil. Lalu mempersilahkanku duduk disebelahnya. Seperti biasa, tangannya langsung merebut ponsel yang ada di genggamanku. Lalu mengacak-acak isinya.
“Kau punya pacar?” tanyanya sambil tersenyum. Senyumnya terlihat sangan sumringah.
Aku hanya menggeleng. Mataku menatapnya lekat-lekat. Lalu kutarik rambutnya. Begitulah setiap kali aku bertemu dengan Ojan. Ada saja hal tak penting yang kami lakukan.

“Kenapa? Kamu masih mencintai mantanmu yang brengsek itu atau ……”

“Reno Jan, namanya Reno…” ujarku yang kini agak kalem.

“Atau masih nunggu Satria ?” imbuhnya lagi. Aku semakin gusar dengan tingkah Ojan. Dia selalu saja memancingku untuk menghabisinya tiap kali bertemu.

Ojan hanya tertawa puas sambil sesekali Ia menyeruput segelas cokelat panas. Aku hanya melihatnya dengan tatapan heran. Ojan sama sekali tidak berubah. Ia masih saja bersama secangkir cokelat panasnya.

“Kamu gimana Jan? kamu sekarang sama ….” Tanyaku terputus oleh jarinya yang membungkam bibirku. Ia hanya menggeleng dan tersenyum.
---
Namanya Fauzan. Tapi semua memanggilnya Ojan. Dia adalah sahabat karib kekasihku, Satria. Ini adalah tahun kedua dimana aku berada di bangku SMA. Aku dan Ojan memang beda sekolah. Ojan satu sekolah bahkan satu kelas dengan kekasihku, Satria. Kami bertiga bisa dibilang sangat akrab. Kemana kami pergi, selalu saja bertiga. 
 
Dimana ada Satria, disitu ada Ojan. Bahkan untuk sekedar nge-game online, mereka kerap kali berdua. Tak jarang aku menemani kekasihku dan sahabatnya itu berada di game center kawasan Galeria hingga berjam-jam. Aku yang tidak tertarik dengan permainan tersebut hanya berada disamping Satria. Memainkan gadget, atau bahkan terkadang kucolokkan earphone pada telingaku sambil sesekali bersandar pada bahunya.

Ojan seringkali bercerita kepadaku perihal keluarganya, hingga tambatan hatinya. Mungkin karena Ojan sudah mengganggap aku ini sodara perempuannya. Dia begitu lepas menceritakan segala sesuatu yang sekiranya mengganjal di hatinya.
---
Adzan maghrib sudah berkumandang sejak setengah jam yang lalu. Aku masih berada di sebuah ruangan bersama belasan anak-anak yang beda sekolah denganku. Tanganku berulang kali membungkam bibirku yang sempat menguap. Gerakan tangan tentor pada sebuah whiteboard sudah tidak membuatku tertarik lagi dengan pelajaran sore ini. Kulihat jam, perjalanan jarum ke arah jam tujuh bisa kubilang sangat lamban. Mataku terus memaksa untuk membuka sampai jam penghabisan.

Aku menyusuri sebuah lorong pada tempat bimbingan belajar tersebut. Mataku masih terpaku pada ponsel yang bertuliskan ‘2 panggilan tak terjawab’. Satria. Ya, kekasihku. Untuk apa dia menelponku? Oh, mungkin dia sudah sampai didepan bimbel. Sore ini memang dia berjanji akan menjemputku. Ini untuk kesekian kali dia menjemputku sepulang bimbel, lalu aku diajaknya menjemput mamanya di kantornya. Biasanya, setelah itu kami makan malam bertiga. 
 
Aku semakin mempercepat langkahku. Rasa bersalah menghiasi wajahku sore ini. Mungkin, Satria sudah terlalu lama menunggu. Lalu, kembali aku membuka ponselku dan menelponnya.

“Sat, kamu dimana ? aduh maaf aku kelamaan tapi ini aku udah keluar kok kamu parkir di sebelah mana? Aku kesitu ya aduh maaf …” ujarku dengan cemas. Terlihat nadanya seperti terburu-buru.

“Rena, sssttt Rena, dengerin dulu. Sebelumnya maaf ya sore ini aku nggak bisa jemput kamu. aku mesti jemput tante Ira di bandara. Dan sekarang aku udah dijalan. Tapi aku udah telpon Ojan buat jemput kamu” balas suara dari seberang. Aku menghembuskan nafasku dalam-dalam.

“Nggak papa kan, cantik? Aku nyetir dulu ya, I love you” tanyanya lagi. Belum sempat aku membalas ucapannya.

‘Kamu yang ati-ati ya, I love you too” ujarku sambil menutup telepon.

Aku duduk lemas di tepi koridor. Tak kujumpai Ojan disitu. Mataku kembali menatap arloji. Angka menunjukan pukul 19:15. Belum juga kujumpai batang hidung Ojan. Hingga setengah jam berlalu, hingga satu persatu anak di bimbel mulai meninggalkan tempat itu.
---

“Ojan, rumahmu pindah ya? Atau kamu lupa jalan kesini?” tanyaku sedikit kesal. Sembari kuhempaskan tubuhku pada jok bagian depan. Ojan hanya tersenyum puas. Seakan puas membuatku menunggu. Untuk kesekian kalinya aku hanya ingin menimpuknya dengan modul yang ada di tanganku.

Tanganku memencet tuts radio di mobilnya. Mencari-cari lagu yang sekiranya nyaman untuk masuk ke telinga. Tiba-tiba mataku menoleh ke belakang. Di jok belakang ada sebuket bunga. Semuanya warnanya merah jambu.

“Bunga ???” tanyaku lirih pada Ojan. Ojan hanya mengangguk. Entah mengapa malam ini Ojan seperti orang bisu. Kalo tidak mengangguk, ya tersenyum.

“Ambil lah …” ujar Ojan lirih. Aku hanya mengernyitkan kening tak paham.

“Itu buat Dinda? Jadi kamu mau nembak sekarang? Kamu tak menunggu bulan sembilan?”

“Buat kamu…” balas Ojan sembari menoleh ke arahku. Aku masih saja tak mengerti dengan maksud Ojan.

“Satria nitip itu buat kamu. Sebagai permintaan maafnya nggak bisa jemput dan jalan sama kamu. Diterima nggak ini Ren ?”

“Satria beli bunga itu sebelum dia menjemput tantenya. Lalu dia kerumah, menitipkan padaku. Buru-buru sekali kelihatannya” imbuhnya lagi. Kali ini semakin diperjelas.

Aku hanya tersenyum mengangguk ke arah Ojan. Sesekali kuciumi sebuket mawar berwana merah jambu yang masih sangat segar itu. Ah, Satria memang selalu penuh kejutan. Dan kali ini membuatku jatuh hati untuk kesekian kali padanya.

“Aku masih akan menunggu bulan sembilan untuk Dinda” ujar Ojan disela-sela perjalanan kami. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Aku tau, Dinda teramat mencintai kamu”

“Bagaimana kamu tau?” kini Ojan yang semakin tak mengerti dengan maksudku.

“Kamu lupa, dia teman satu bimbel denganku. Dia kerap kali cerita kepadaku. Hampir setiap bimbel, dia mencurahkan isi hatinya kepadaku” ujarku lirih meyakinkan pada Ojan.
Mobil belok pada suatu gang. Berhenti tepat di sebuah rumah bercat biru.

“Kamu nggak mau mampir dulu?” tanyaku pada Ojan sebelum benar-benar aku keluar dari mobilnya.

“Aku langsungan aja, udah malem”

“Makasih ya, kamu ati-ati. Perjuangin satu tahunmu, dia juga mencintai kamu” ujarku sembari keluar dari mobil. Ojan hanya menatapku lekat-lekat lalu tersenyum.
“Baiklah nyonya Satria” balas Ojan sambil tersenyum kecut.
---
31-08-2010

Aku dan Satria masih dalam perjalanan menuju sebuah GOR di kota pelajar tersebut untuk menyaksikan sebuah event berkelas setiap tahunnya. Sesekali aku bergurau dengan Satria. Selepas pulang sekolah seperti ini memang gerah. Berulang kali kutengok kearah kekasihku. Dia masih begitu berkonsentrasi dengan jalanan yang begitu ruwet. Jogja akhir-akhir ini memang sering macet. kubelakan bolos sekolah pada jam terakhir untuk ikut bersorak pada tribun di grand final. Sebenarnya, bukan sekolahku yang bertanding melainkan sekolahnya kekasihku. Sebagai wanita yang pernah menjadi kekasih hatinya dan mengikuti kemana Ia pergi, aku menuruti kemauan Satria.

“Ojan kok nggak bareng kita?” tanyaku pelan pada Satria. Sesekali tanganku menyeka keringat yang mengucur dari dahinya.

“Ojan bareng anak-anak tadi. Oh ya, nanti pulang suporteran aku ajakin kamu menjemput Ifa dan Hanaf ya”

15.15 WIB
Pertandingan Usai. Skor yang diperoleh almamater kekasihku seusai persaingan sengit cukup memuaskan. 34-18. Semua rombongan keluar dengan wajah kemenangan. Tim berhasil mencetak kebanggaan untuk setiap wajah-wajah yang bersorak. 
 
“Ini hampir bulan sembilan kan?” tanya Satria di sela-sela perjalanan pulang. Aku hanya mengangguk. Tanganku masih mengaduk cadburry yang meleleh. Sesekali tanganku kumasukan kedalam mulut.

“Sebentar lagi Ojan akan segera menyusul kita. Berarti, nanti kalo kita jalan, di jok belakang Ojan nggak sendirian lagi” ujar lelaki yang selalu saja berhasil membuatku jatuh hati berkali-kali. 
 
Satu tahun yang lalu Ojan memang sempat menaruh hati pada seorang wanita yang notabenenya masih satu sekolah dengannya, termasuk kekasihku. Wanita itu namanya Dinda. Dari satu tahun yang terlewati, Ojan hanya sebatas dekat. Berulang kali Ojan cerita padaku, dia sangat minder dengan wanita yang sangat digilainya itu. 
 
“Dinda cantik, baik, pinter, sopan, namanya ada dimana-mana, yang deketin dia juga banyak. Cakep-cakep, kaya. Mana mau dia sama aku, Ren?” kata-kata yang selalu keluar dari bibir Ojan seketika mencurahkan isi hatinya padaku. 
 
Dinda selain teman sekolah kekasihku, dia juga satu kelas denganku waktu bimbel. Dulu, aku kerap kali menyampaikan salam untuknya. Salam sayang dari Ojan tentunya. Dinda juga sering bercerita kepadaku perihal hubungannya dengan sahabat kekasihku. Dinda yang sejauh setahun ini hanya dijadikan teman dekat. Ojan bahkan tak pernah memintanya sebagai kekasih. Dinda sendiri bingung. Sebagai wanita, bukankah status dalam suatu hubungan itu penting ???

Ojan sendiri menunggu waktu yang tepat. Ojan seringkali mengatakan hal ini kepada Dinda. Ojan ingin memberi kado dengan menjadikannya kekasih di ulang tahunnya nanti. Bulan sembilan. Tepatnya, di waktu 08-09-10. Ojan ingin kisah cintanya terekam dalam delapan, sembilan, sepuluh.
---
Senja semakin berganti malam. Dalam perjalanan mengantarku pulang ke rumah, ponsel Satria berdering tiba-tiba. Aku bisa membaca tulisannya. Nama seorang wanita. Satria mengangkat teleponnya, aku hanya memalingkan wajah memandangi ke luar jendela. 
 
Aku tersentak kaget saat nada tinggi Satria menyebut kata bahwa Ojan kecelakaan. Aku memandangi Satria. Tanganku menggenggam erat pahanya. Memastikan kekasihku itu hanya salah dengar. Tapi tidak. Kali ini ekspresi Satria tidak main-main.

Mobil melaju kencang ke arah utara. Sangat kencang. Berkali-kali aku menenangkan kekasihku yang kulihat panik dari raut wajahnya. Memastikan Ojan akan baik-baik saja. Aku tak bisa mengucap sepatah katapun. Pikiranku bercampur aduk. Panik, dan takut.

Mobil terparkir rapi di sebuah rumah sakit swasta di Jogja. Panti Rapih. Aku mengikuti langkah Satria yang setengah berlari. Berkali-kali tanganku memencet tombol telepon pada ponsel Satria. Aku dan kekasihku menuju tempat informasi. Lalu setengah berlari kecil menuju ruang ICU. Hati kecilku semakin ingin menangis. Sebegitu parahnya kah Ojan hingga harus ke ICU.

Aku tiba didepan ruang ICU. Masih bersama kekasihku. Didepan ruang ICU kulihat Ojan sedang duduk. Kepalanya menyandar pada kedua tangannya. Tak kulihat tanda-tanda kecelakaan pada diri Ojan. Aku dan Satria langsung menuju tempat Ojan duduk.

“Ojan kamu nggak papa? Katanya kamu parah kok kamu diluar? Ojan gimana ceritanya?” tanyaku dengan nada cemas dan nafas tersendat-sendat. Satria hanya memandangku. Mengisyaratkanku untuk diam sejenak. Aku yang paham dengan maksud kekasihku itu, lantas duduk disampingnya. Terdiam.

“Sat, Dinda Sat. aku ngerasa bersalah sama Dinda. Harusnya tak kubiarkan Ia pulang sendiri. Sat, Aku ini bodoh” ujar Ojan setengah menangis. Bisa kutarik kesimpulan, yang berada didalam ruang ICU lengkap dengan selang oksigen dan seperangkat alat bantu itu bukan Ojan, melainkan Dinda.

Satria hanya memeluk Ojan. Memastikan semuanya akan baik-baik saja. Memastikan Dinda akan segera bangun.
---
Dering suara telepon pagi ini membuatku sangat kesal. Berulang kali kupencet tombol merah. Aku terhentak saat kulihat sebuah nama dan fotoku dengan seorang lelaki sedang menghubungiku. Aku membuka mataku perlahan, tulisan nama kekasihku muncul dalam ponselku.

“Iya Sat aku udah bangun terus mau mandi terus berangkat sekolah kok. Kamu jangan kecepetan ya jemputnya. Love you” .

“Ren, kamu ngomong apaan sih. Hari ini kamu bolos sekolah aja ya. Kita mesti ke Kulonprogo” balas suara dari seberang dengan nada tinggi. Aku sudah mulai sedikit takut jika kekasihku sudah bicara dengan nada tingginya.

“Sat, ngapain? Aku kemarin udah bolos jam terakhir masa ….”

“Dinda udah nggak ada Ren. Kita mesti kesana sekarang” Satria memotong ucapanku barusan. Aku dengan masih setengah sadar tak percaya dengan ucapan kekasihku barusan. Telepon tiba-tiba mati tanpa ada akhiran “Love you” maupun “See you soon darling” seperti biasanya.
---
Kamis, 01 September 2010
Di kediaman Dinda, Kulonprogo

Suasana duka menyelimuti kediaman Dinda pagi ini. Kulihat semua orang menangis tak terkecuali melepas kepergian Dinda. Semuanya begitu mendadak setelah peristiwa kemarin sore. Setelah motornya beradu dengan sebuah sedan di kawasan jalan Godean. Ya, Dinda yang selepas kemarin siang masih bersorak mendukung almamaternya itu pergi tiba-tiba. 
 
Kudekati Ojan. Dia berada disebelah jenazah Dinda yang sudah terbaring rapi didalam peti. Mulutnya komat-kamit membaca doa. Entah doa apa yang dibacakannya aku tak paham lagi. Wajahnya tegar sekali. Dia bahkan tidak menangis. Tapi kulihat wajahnya begitu sayu. Mungkin tangisannya sudah dihabiskan semalam. 
 
“Maafin kesalahan Dinda ya, Rena, Satria” ujarnya sambil memandangiku dan kekasihku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
---
Kamis, 08-09-2010
Sore ini aku dan kekasihku menemani Ojan menuju peristirahatan terakhir Dinda. Ya, semenjak tujuh hari yang lalu tepat peninggalan Dinda. Ojan kini duduk disamping Satria. Sambil membawakan 16 buah mawar putih dan 8 buah mawar merah yang dikemas dalam satu buket bunga. Indah sekali.

“Rena, kamu tau nggak kenapa Ojan bawain 16 bunga mawar putih dan 8 buah mawar merah? Kenapa nggak mawar biru atau mawar pink?” tanya Satria memecah kesunyian sore itu.

“engggg kenapa ya? Soalnya mawar pink udah sering kamu kasihin ke aku kali ya Sat, jadi biar nggak mainstream” ujarku menebak-nebak pertanyaan kekasihku itu. Pertanyaan yang tak penting sebenarnya. Mungkin itu salah satu pancingan untuk menghibur Ojan. Agar Ojan tidak terus-terusan diam seribu bahasa.

“Putih itu warna suci. Aku bawain 16 mawar putih, karena hari ini ulang tahun yang ke-16. Dan keberadaannya begitu suci. Begitu pula hatinya…” jawab Ojan begitu pelan dan tenang. Sambil tersenyum seolah-olah Ia akan benar-benar bertemu dengan Dinda.

“Terus yang merah?” tanyaku sedikit pelan. Dengan wajah yang penuh harap untuk dijawabnya.

“Delapan warna merah. Ini tanggal delapan. Dan warna merah artinya keberanian. Di tanggal delapan ini aku telah bertekad aku berani untuk mengungkapkan rasaku ke Dinda secara langsung”.

Aku dan Satria hanya terdiam. Tanganku mengusap bahu Ojan. Bermaksud menenangkannya dan memahami maksudnya.

Aku dan Satria duduk ditepi nisan bertulisan “Adinda Putri”. Sementara Ojan berada didepanku persis, bersebrangan dengan kami. Aku dan satria masih membisu. Aku memandangi Ojan, wajahnya begitu tenang. Tak pernah kulihat wajah sebegitu tenangnya seperti Ojan kali ini.

“Dinda, bagaimana kabarmu? Lihat, aku sedang menjengukmu bersama kedua sahabatku yang seringkali kuceritakan padamu” ujar Ojan lirih sembari meletakkan sebuket bunga menyandar pada batu nisannya.
“Lihat apa yang kubawa. Aku benar-benar menemuimu dan membawakanmu bunga sama seperti yang pernah kukatakan waktu itu. Kamu masih ingat?” kali ini aku dan Satria hanya tertunduk membisu.

“ Selamat ulang tahun cantik. Aku mencintaimu dan selalu saja mencintaimu. Aku mencintai setiap huruf yang ada pada balasan pesanmu. Aku mencintai caramu membuatku sebegitu jatuh hati. Bahkan aku tetap mencintaimu walau pesan terakhirku yang mengingatkanmu untuk berhati-hati sore itu tak kau balas sama sekali, bahkan di dalam chatku hanya bertuliskan ‘D’ “ Ujar Ojan bahkan kalimatnya kali ini membuatku meneteskan air mata. Kurasakan gerimis mulai membasahi tanah pemakaman sore itu.

“Cantik, sore ini tiba-tiba gerimis. Padahal aku masih ingin menemani kamu disini. Aku masih ingin cerita banyak. Sekarang tiap kali aku ingin bercerita denganmu, selalu saja tak kau balas. Aku pulang dulu ya. Kamu jaga diri baik-baik disini. Kalo kamu kedinginan, kamu bilang sama aku. Nanti kubawakan selimut hello kitty yang harusnya menjadi kado saat ulang tahunmu. Kalau kamu rindu, bilang ke aku. Aku janji, bakalan nemuin kamu disini ” pamit Ojan sambil mencium batu nisan berwana putih itu. Kulihat air matanya sedikit menetes. Lalu memandangiku dan kekasihku. Mengajak kami untuk pulang.

Senja mengantarkan kami meninggalkan peristirahatan terakhir Dinda. Aku berdecak kagum pada sahabat kekasihku itu. Begitu Ia menepati janjinya.
---
Tahun ke-empat ini sudah banyak yang berubah. Waktu benar-benar mengubah semuanya. Selain sebuket bunga di pemakaman yang semakin mengering, sekarang sudah tidak ada lagi sebuket mawar merah jambu yang kerap kali dititipkan pada Ojan. Yang dulu kerap kali menjemputku pagi-pagi, sekarang membiarkanku berangkat sendiri. Yang dulu sepiring nasi goreng buat bertiga sambil bermain uno, sekarang sepiring nasi goreng itu terbiarkan dingin dan hambar.


Ditulis untuk yang berulang tahun hari ini
tepat pada tahun ke-empat setelah kepergian Dinda
Dan kamu masih saja tak bisa melihat selain Dinda
Cinta memang lumpuh,
Bahkan saat ia menghilang ia mampu membawa separuh jiwamu pergi






Rabu, 25 Juni 2014

-Kemeja tiga per empat lengan

Kemeja tiga per empat lengan
 
Begitu aku menyebutnya. Ya, lelaki dengan kemeja yang lengannya dilipat hingga tepat pada tiga perempat lengannya kini berada satu baris kursi di depanku. Ujung ekstremitas tanganku mulai mendingin. Mataku terus menatap lekat punggungnya. Bibirku tak henti-hentinya bergumam kagum terhadap keindahan ciptaan Tuhan satu itu.

Di sampingku, duduk dua orang sahabatku Putri dan Agam. Ya, aku memang sedang duduk di tengah diantara mereka berdua.  Sesekali kakiku kuletakkan pada sandaran kursi lelaki yang mengenakan kemeja tiga perempat lengan tersebut. Kutengok Agam dan Putri. Mereka berdua masih asyik dengan sandwich dan gadgetnya masing-masing. 

Lelaki dengan kemeja tiga per empat lengan
 Ya. Aku mengenalnya sudah semenjak empat semester yang lalu. Hanya sebatas mengenalnya saja, karena dia memang teman kuliahku. Aku hanya sebatas mengetahui namanya saja. Aku bahkan tidak tau kelasnya, tidak tau asalnya, bahkan nama lengkapnya saja pun baru-baru ini aku mengetahui. Lelaki dengan kemeja tiga per empat lengan.
 
Enam minggu yang lalu aku memang sempat bertemu dengannya di sebuah tempat belanja. Secara tidak sengaja tentunya.  Seperti biasa, Aku, Agam dan Putri yang melihatnya kemudian menyapa. Saat itu dia sendiri. Ya, tak kulihat ada seorangpun yang bersamanya. Dia masih berbincang-bincang dengan salah satu karyawan disitu. Entah mengapa, secara tak sengaja aku memperhatikannya.

Aku mendekap Putri. Masih ada lelaki itu tepatnya.
“Put …” bisikku lirih
“Kenapa?” balas putri masih sibuk dia mengecek belanjaan
“Aku boleh ngomong ndak?” tanyaku malu-malu dengan wajah yang mungkin Putri sudah bisa menebak.
“Tanya apa?”
“Hehe…hehe…hehe” aku hanya bisa tertawa kecil. Tawa yang masih malu-malu.
“Bara ganteng ?” lontar Putri seakan sudah paham dengan nadaku bicara. Oh ya, aku nyaris lupa memberi tau namanya. Nama lelaki yang kerap kali kusebut dengan lelaki berkemeja tiga perempat lengan itu adalah, Bara.

Tanganku buru-buru membungkam bibir Putri. Tangan satunya lagi mencubit pahanya. Memastikan tak ada yang mendengar ucapan Putri barusan. Tidak pula Agam, atau bahkan Bara. Aku tak tau apa jadinya jika orang yang sedang ku maksud mendengar percakapanku barusan.
---

Ini sudah hari kesekian setelah peristiwa itu terjadi. Aku masih sering melihatnya di sekitaran kampus. Aku melihatnya di ruang kuliah, laboratorium, atau bahkan di parkiran. 

Hari ini adalah satu hari yang kupikir tadinya akan menjadi salah satu hari yang membosankan dalam hidupku. Jadwal kuliah yang padat merayap memaksaku untuk berada di kampus dari jam delapan pagi hingga jam lima sore. Dan sore ini adalah waktu dimana mata kuliah terakhir dalam hari ini akan berlangsung.

Aku memasuki ruang kelas. Nyaris tak isi. Kusapu setiap sudut ruangan. Ruangan yang hampir mirip dengan bioskop itu hanya dihuni oleh tiga anak manusia. Ku tengok arlojiku. Waktu menunjukan pukul 15.09 WIB. Jadi kupikir wajar jika ruangan masih sepi. Biasanya anak-anak akan molor setengah jam dengan jam yang dijadwalkan.

Dengan langkah perlahan aku menuju salah bangku paling atas, engggg tepatnya dari belakang urutan nomer dua. Kuhempaskan tubuhku pada kursi yang hampir setiap hari kududuki. Tanganku masih sibuk menggenggam ponselku. Membalas satu persatu pesan yang belum kubalas.

Disebelahku, Putri masih dengan game di ipadnya. Kuraih earphone dari dalam tasku. Kini kupasangkan sebelah pada telingaku, dan sebelahnya lagi pada telinga Putri.  Kini aku dan Putri sudah terhanyut dalam lagu-lagu sendu yang kerap kali kami dengar.

Inay datang dengan conello yang masih dicumbuinya. Dengan keras ia melemparkan tasnya. Lalu duduk didepanku. Inay adalah salah satu teman dekatku di kampus. Gayanya yang sedikit rocker dan tingkahnya yang kerap kali membuatku gusar ingin mencubitnya itu membuatku terbahak dengan segala tingkah konyolnya.

“Kalian dengerin apa sih ?” Tanya Inay masih dengan cokelat yang berlepotan di setiap sudut bibirnya.
Aku dan Putri masih terdiam. Pura-pura tak mendengar. Hal semacam itu seringkali kami lakukan untuk memancing kekesalaan Inay.  Lalu menertawakannya. Dan dari sekian lelucon yang kami buat, tak pernah membuat Inay marah sekalipun.

Mataku terpaku pada pintu yang salah satu sisinya terbuka. Lalu muncul dua laki-laki yang sangat kukenali. Itu Hasan dan satunya lagi, Astaga, lelaki itu. Lelaki dengan kemeja yang dilipat tiga per empat lengan. Maaf, Bara maksudku.

Bara menaruh tas lalu duduk di sebelahnya. Tepat di kiri pada barisan ke sembilan dari bangku yang kududuki. Aku memperhatikannya diam-diam. Aku hanya bisa melihatnya dari samping. Dan hal seperti ini selalu saja sudah membuatku sangat bahagia. Kadang aku kesal, Ia tak melihatku. Ia masih saja bercanda dengan temannya.

Aku menggigit erat-erat jemariku sembari tersenyum. Mataku terus memperhatikan pemandangan lima meter di kiri tempat dudukku. Lelucon temannya membuatnya tertawa lepas. Ah indah sekali. Bisa ku bayangkan betapa beruntungnya wanita yang memilikinya.

Inay membuyarkan lamunanku tatkala ia berteriak “Bara, Rena ngeliatin kamu terus. Dia suka sama kamu” . Teriakannya nyaris membuat jantungku copot. Putri tertawa lepas dibuatnya dan sempat mencuri perhatian beberapa anak yang sudah menduduki bangkunya masing-masing.

Aku kaget. Buru-buru kulepas earphone dari telingaku. Lalu memandang gusar ke arah Inay.  Wajahku memerah dan rasanya sangat gerah. Kulihat Bara, matanya tertuju pada gerombolan kami. Bara tertawa. Tapi kali ini tawanya ditahan. Masih bisa kubayangan senyumnya yang tertahan behel. Tuhan, aku lemah…

Aku masih suka sekali dengan kehadiran senyumannya. Ya, walau aku hanya bisa melihatnya dari jauh. Aku masih bisa merasakan kebahagiaan berada didekatnya, walaupun itu hanya dari belakangnya. Aku masih suka membuka folder fotoku dengannya, walaupun yang tergambar hanya separuh dari kakiku dan punggungmu. Mungkin Tuhan memberiku sepercik kebahagiaan ini walau hanya lewat peran secret admire …

Vonis salah dari Tuhan bukan pada setiap umat yang sedang jatuh cinta. Kesalahan selalu saja ada pada yang jatuh cinta dan mengharap untuk memilikinya.



Yang mengagumimu walau hanya dari punggung
dan selalu lemah dengan setiap senyuman yang tertahan behel
masih saja dengan peran secret admire …