Selasa, 24 Juni 2014

Hari Kesekian



Selamat malam,
Dentingan jam yang jarumnya tepat di angka dua belas

Reseptor dalam kulitku terangsang oleh suhu yang kian hari kian memburuk. Aku sendiri tak tahu persis, suhu yang memang turun dengan drastisnya atau hanya aku yang merasakannya. Jogja akhir-akhir ini memang kurang berselimut.

Detak jam terdengar sangat jelas. Berulangkali kubenahi selimutku. Mataku masih enggan terpejam. Jari jemariku masih menari diatas ponselku. Berkali-kali kubenahi earphone yang menempel di telingaku, membisikan puluhan lagu album sheila on 7. Ya, sampai saat ini bahkan aku tak pernah bosan mendengarkan semua lagu-lagunya. Lagunya tepat membidik perasaan, namun terkesan santai.

Mataku sungguh sangat sulit terpejam. Tanganku menuju sebuah folder social pada ponselku. Ku sentuh sebuah social media bergambar camera berwarna cokelat. Kau tau? Ya. Instagram. Media sosial dimana kita bisa mengabadikan moment bersama kesayangan. Keluarga, sahabat, kekasih.

Tab explore memang selalu memancingku untuk menulis nama seseorang. Tak ragu pula jemariku ini menulis deretan huruf berisi namamu. RENO. Seketika muncul profilmu yang sebagian besar berisi fotomu dengan kekasih barumu. Apa yang aku rasa?

Aku bahkan kini tak merasakan suatu kecemburuan pun. Semua semakin terasa biasa. Entah sudah kebal, entah hati yang sudah mati rasa. aku melihatnya seperti aku melihat beranda orang lain.

---

Namaku Rena. Aku terbangun tiba-tiba dari comfy-bedcoverku. Kuraih laptop yang sengaja kuletakkan di rak paling atas. Tanganku semakin bergairah bercumbu dengan keyboard. Mataku terpaku menatap layar. Pikiranku jauh melayang menggitari gelapnya angan, kerasnya dunia, dan sakitnya cinta.

Jarum panjang jam sudah berada di angka lima. Jarum pendek sedikit bergeser dari angka dua belas. Tanganku kian lihai menekan tuts keyboard. Sama lihainya dengan caramu memainkan hati anak orang. Aku sudah tidak peduli lagi akan kehadiran ujian praktek yang menanti esok hari. Persetan dengan semuanya. Ide-ku semakin mengucur deras. Aku sudah masa bodoh dengan hal yang akan terjadi.

Ponselku berbunyi. Ada sebuah nama tertera disana. Ada pula dua tombol pilihan. Merah dan hijau. Accept dan decline.

“Halo Rena kamu kenapa belum tidur?” tanyanya dari suara seberang telepon. Belum sempat aku mengangkatnya, dia sudah berbicara duluan.

“Aku insom ...” jawaban yang sama yang selalu aku lontarkan kepadanya terhadap pertanyaan yang sama pula. Dia mungkin bosan dengan segala jawabanku.

“Personal messegemu? Kau baik-baik, nduk?” ujar suara yang tak asing lagi bagiku. 

Agatya. Ya, Agatya.

Aku mengerutkan kening. Agatya memang orang pertama yang selalu mengomentari setiap personal messegeku sedikit membuat orang bertanya-tanya. Mungkin dia tau sebeb dari personal messegeku malam ini. Mungkin dia tau bagaimana remuknya melihat upload-an foto tiket nontonmu, Reno. Partner nontonmu malam itu bukan menjadi penyebab satu-satunya.

Tiket bioskop tertera tanggal 31 desember itu cukup menyakitkan. Bagaimana tidak? Deskripsi dalam upload-anmu tertulis “someone with me”. Bukankah kau menyadari, 31 desember itu hubungan kita masih baik-baik saja? Itu malam tahun baru. Saat kau bilang tidak bisa ke jogja karena suatu hal. dan aku baru menyadari segala alasanmu tepat lima bulan setelah hubungan kita memang benar-benar sudah lenyap. Ini rupanya ?
---

Namaku Agatya
Aku yang saat ini sedang berjuang meraih gelar sarjana akuntansi-ku di sebuah universitas favorite di jogja bahkan di indonesia. Kau tau itu? Ya, UGM.

Saat ini aku berteman baik dengan Rena. Ya, tepatnya adikku. Adik angkatku. Aku dan dia memutuskan menjadi kakak-adik, teman sepi, teman lara, sudah sejak tiga tahun lalu. Tepatnya, saat aku masih awal masuk perguruan tinggi ini. Aku mengenal Rena dari sahabatku, Nadya yang tak lain adalah kakak sepupu Rena. Rena memang terpaut satu tahun dibawahku.

Perkenalanku dengan Rena terlalu singkat bahkan saat aku menjadikannya adik. Alasanku menjadikannya dia adik ya karena posisinya yang saat itu sudah memiliki kekasih.  Aku selalu tak memiliki kesempatan untuk menyatakan cinta padanya. Berulang kali aku menyatakan cinta, semua dianggap bualan semata. semuanya dianggapnya bercanda.

Statusku yang sejauh ini hanya sejauh kakak-adik membuatku semakin peduli kepadanya. Aku semakin menyadari semakin jauh aku memang seorang kakak. Dia merasa aku pantas menjadi kakaknya.  Terlebih dia anak pertama. jadi ku [ikir wajar jika dia menumpahkan segala lara-nya kepadaku. Orang yang tak pernah luput diajaknya berbagi adalah aku.

Belum lama ini dia memang bercerita bawasanya dia jatuh cinta pada seorang laki-laki bernama Reno. Jujur kukatakan diawal, aku meragukan Reno. Terlihat jelas bagaimana dia sosok yang tidak bertanggung jawab saat suatu ketika aku membaca pesannya. Sudah berulang kali pula aku mengatakan hal ini pada Rena. Hanya saja Rena yang selalu mengelak dengan kata “Dia orang baik, kak”. Hal itulah yang membuatku menyerah tiapkali menasehatinya.

Bukan karena aku ingin menjadi jurang pemisah cinta Rena dan Reno. Sekali lagi kukatakan kepadamu, aku paling tidak bisa melihat orang yang kuanggap keluarga sendiri dilukai oleh orang yang bahkan dipercayainya.

Mulai saat itu, hubunganku dengan Rena sedikit menjauh. Rena asyik dengan dunia barunya, dan aku mulai menyibukkan diri dengan segala macam urusan kuliahku.

Jujur saja ku katakan, aku merindukan sosok Rena. Sosok yang susah sekali diatur. Aku mulai kehilangan moment berdebat tiapkali balasan bbm-nya yang berisi “maaf kak handphone adek baru nyala, baru pulang” di jam lewat tengah malam. Dia susah sekali dinasehatin untuk tidak pulang larut malam.
---

Sekarang yang kerap kali kulihat hanyalah wajahnya yang sedikit berbeda dari biasanya. Rena yang dulu selalu memamerkan fotonya dengan kekasihnya kini menghilang begitu saja. Semua begitu cepat. Dia menjadi Rena yang mudah sekali kehilangan moodnya. sekarang menjadi Rena yang pemarah. aku benci sekali akan hal itu. dan sudah berulangkali ku katakan kepadanya, aku membenci perubahan Rena.

Sekarang yang terekam jelas hanyalah isaknya dalam telepon. Ya, dia menangis. Aku benci sekali saat melihatnya menangis. Dia jelek sekali. Wajahnya kucel, matanya sembab, sayu, dan tak ada lagi berbagai teriakan hebohnya maupun jeritan khas-nya. 

Rena, 
Untuk apa kau seperti ini ? orang yang bahkan kau tangisi saja sudah bahagia dengan dunianya. kau tak ingin terlihat lebih bahagia ???


---

                               








Tidak ada komentar:

Posting Komentar