Selamat malam,
Dentingan jam yang jarumnya tepat
di angka dua belas
Reseptor dalam
kulitku terangsang oleh suhu yang kian hari kian memburuk. Aku sendiri tak tahu
persis, suhu yang memang turun dengan drastisnya atau hanya aku yang
merasakannya. Jogja akhir-akhir ini memang kurang berselimut.
Detak jam
terdengar sangat jelas. Berulangkali kubenahi selimutku. Mataku masih enggan
terpejam. Jari jemariku masih menari diatas ponselku. Berkali-kali kubenahi
earphone yang menempel di telingaku, membisikan puluhan lagu album sheila on 7.
Ya, sampai saat ini bahkan aku tak pernah bosan mendengarkan semua
lagu-lagunya. Lagunya tepat membidik perasaan, namun terkesan santai.
Mataku sungguh
sangat sulit terpejam. Tanganku menuju sebuah folder social pada ponselku. Ku
sentuh sebuah social media bergambar camera berwarna cokelat. Kau tau? Ya.
Instagram. Media sosial dimana kita bisa mengabadikan moment bersama
kesayangan. Keluarga, sahabat, kekasih.
Tab explore
memang selalu memancingku untuk menulis nama seseorang. Tak ragu pula jemariku
ini menulis deretan huruf berisi namamu. RENO. Seketika muncul profilmu yang
sebagian besar berisi fotomu dengan kekasih barumu. Apa yang aku rasa?
Aku bahkan kini
tak merasakan suatu kecemburuan pun. Semua semakin terasa biasa. Entah sudah
kebal, entah hati yang sudah mati rasa. aku melihatnya seperti aku melihat beranda orang lain.
---
Namaku Rena. Aku
terbangun tiba-tiba dari comfy-bedcoverku. Kuraih laptop yang sengaja
kuletakkan di rak paling atas. Tanganku semakin bergairah bercumbu dengan
keyboard. Mataku terpaku menatap layar. Pikiranku jauh melayang menggitari
gelapnya angan, kerasnya dunia, dan sakitnya cinta.
Jarum panjang
jam sudah berada di angka lima. Jarum pendek sedikit bergeser dari angka dua
belas. Tanganku kian lihai menekan tuts keyboard. Sama lihainya dengan caramu
memainkan hati anak orang. Aku sudah tidak peduli lagi akan kehadiran ujian
praktek yang menanti esok hari. Persetan dengan semuanya. Ide-ku semakin
mengucur deras. Aku sudah masa bodoh dengan hal yang akan terjadi.
Ponselku
berbunyi. Ada sebuah nama tertera disana. Ada pula dua tombol pilihan. Merah
dan hijau. Accept dan decline.
“Halo Rena kamu
kenapa belum tidur?” tanyanya dari suara seberang telepon. Belum sempat aku
mengangkatnya, dia sudah berbicara duluan.
“Aku insom ...”
jawaban yang sama yang selalu aku lontarkan kepadanya terhadap pertanyaan yang
sama pula. Dia mungkin bosan dengan segala jawabanku.
“Personal
messegemu? Kau baik-baik, nduk?” ujar suara yang tak asing lagi bagiku.
Agatya. Ya, Agatya.
Agatya. Ya, Agatya.
Aku mengerutkan
kening. Agatya memang orang pertama yang selalu mengomentari setiap personal
messegeku sedikit membuat orang bertanya-tanya. Mungkin dia tau sebeb dari
personal messegeku malam ini. Mungkin dia tau bagaimana remuknya melihat
upload-an foto tiket nontonmu, Reno. Partner nontonmu malam itu bukan menjadi
penyebab satu-satunya.
Tiket bioskop
tertera tanggal 31 desember itu cukup menyakitkan. Bagaimana tidak? Deskripsi dalam
upload-anmu tertulis “someone with me”. Bukankah kau menyadari, 31 desember itu
hubungan kita masih baik-baik saja? Itu malam tahun baru. Saat kau bilang tidak
bisa ke jogja karena suatu hal. dan aku baru menyadari segala alasanmu tepat lima bulan setelah hubungan kita memang benar-benar sudah lenyap. Ini rupanya ?
---
Namaku Agatya
Aku yang saat
ini sedang berjuang meraih gelar sarjana akuntansi-ku di sebuah universitas
favorite di jogja bahkan di indonesia. Kau tau itu? Ya, UGM.
Saat ini aku
berteman baik dengan Rena. Ya, tepatnya adikku. Adik angkatku. Aku dan dia
memutuskan menjadi kakak-adik, teman sepi, teman lara, sudah sejak tiga tahun
lalu. Tepatnya, saat aku masih awal masuk perguruan tinggi ini. Aku mengenal
Rena dari sahabatku, Nadya yang tak lain adalah kakak sepupu Rena. Rena memang
terpaut satu tahun dibawahku.
Perkenalanku
dengan Rena terlalu singkat bahkan saat aku menjadikannya adik. Alasanku
menjadikannya dia adik ya karena posisinya yang saat itu sudah memiliki
kekasih. Aku selalu tak memiliki
kesempatan untuk menyatakan cinta padanya. Berulang kali aku menyatakan cinta,
semua dianggap bualan semata. semuanya dianggapnya bercanda.
Statusku yang
sejauh ini hanya sejauh kakak-adik membuatku semakin peduli kepadanya. Aku semakin
menyadari semakin jauh aku memang seorang kakak. Dia merasa aku pantas menjadi
kakaknya. Terlebih dia anak pertama. jadi ku [ikir wajar jika dia menumpahkan segala lara-nya kepadaku. Orang yang tak pernah luput diajaknya berbagi adalah aku.
Belum lama ini
dia memang bercerita bawasanya dia jatuh cinta pada seorang laki-laki bernama Reno. Jujur
kukatakan diawal, aku meragukan Reno. Terlihat jelas bagaimana dia sosok yang
tidak bertanggung jawab saat suatu ketika aku membaca pesannya. Sudah berulang
kali pula aku mengatakan hal ini pada Rena. Hanya saja Rena yang selalu mengelak
dengan kata “Dia orang baik, kak”. Hal itulah yang membuatku menyerah tiapkali menasehatinya.
Bukan karena aku
ingin menjadi jurang pemisah cinta Rena dan Reno. Sekali lagi kukatakan
kepadamu, aku paling tidak bisa melihat orang yang kuanggap keluarga sendiri
dilukai oleh orang yang bahkan dipercayainya.
Mulai saat itu, hubunganku dengan Rena sedikit menjauh. Rena asyik dengan dunia barunya, dan aku mulai menyibukkan diri dengan segala macam urusan kuliahku.
Jujur saja ku
katakan, aku merindukan sosok Rena. Sosok yang susah sekali diatur. Aku mulai
kehilangan moment berdebat tiapkali balasan bbm-nya yang berisi “maaf kak
handphone adek baru nyala, baru pulang” di jam lewat tengah malam. Dia susah
sekali dinasehatin untuk tidak pulang larut malam.
---
Sekarang yang kerap kali kulihat hanyalah wajahnya yang sedikit berbeda dari biasanya. Rena yang dulu selalu memamerkan fotonya dengan kekasihnya kini menghilang begitu saja. Semua begitu cepat. Dia menjadi Rena yang mudah sekali kehilangan moodnya. sekarang menjadi Rena yang pemarah. aku benci sekali akan hal itu. dan sudah berulangkali ku katakan kepadanya, aku membenci perubahan Rena.
Sekarang yang
terekam jelas hanyalah isaknya dalam telepon. Ya, dia menangis. Aku benci
sekali saat melihatnya menangis. Dia jelek sekali. Wajahnya kucel, matanya sembab, sayu, dan tak ada lagi berbagai teriakan hebohnya maupun jeritan khas-nya.
Rena,
Untuk apa kau seperti ini ? orang yang bahkan kau tangisi saja sudah bahagia dengan dunianya. kau tak ingin terlihat lebih bahagia ???
Rena,
Untuk apa kau seperti ini ? orang yang bahkan kau tangisi saja sudah bahagia dengan dunianya. kau tak ingin terlihat lebih bahagia ???
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar