Mungkin
saat Tuhan meniupkan ruh-ku kedalam rahim ibuku,
bersamaan
dengan Tuhan menuliskan namamu
Terdengar
suara cekikikan disebuah kamar berwarna merah jambu berukuran 3x3 meter. Suara
tertawanya sangat lepas. Perlahan-lahan aku memasuki ruangan tersebut. Tangan
kananku menggenggam sebotol susu cokelat kesukaanku dan mulutku masih mengunyah
roti yang barusan kuambil ke dalam kulkas.
Kulihat
dua sosok yang tak asing lagi bagiku. Ya, dia Putri dan Agam. Teman
sekontrakan, teman belajar, sekaligus teman bergosip. Teman senang, susah,
duka, lara, pedih.
Aku
menyerobot masuk dan langsung duduk pada tempat tidur. Tanganku memainkan tuts
volume speaker yang tengah memutar salah satu lagu band kesukaanku, Sheila on
7. Aku merebahkan tubuh pada sandaran tempat tidurku. Aku kian menikmati
musiknya. Kedua temanku? Masih sibuk dengan leluconnya.
Aku ingin engkau selalu menemani hidup
dan matiku
Aku ingin engkau selalu temani masa
tua ku …
Aku
terhentak ketika kudengar sebuah lagu dengan lirik seperti diatas.
“Put,
gimana kalo tiba-tiba Arga membawa gitar terus nyanyi lagu ini didepan rumah
waktu ulang tahunmu? ” ujarku pada Putri tiba-tiba.
Putri
memandangku sejenaklalu berteriak. Teriakan yang khas. Teriakan yang tak asing
lagi kudengar. Teriakan orang sedang jatuh cinta. Ya, dia memang sedang jatuh
cinta.
***
Namaku
Putri
Aku
tinggal satu atap dengan manusia yang konyolnya kelewatan. Ya, mereka Agam dan
Rena. Sebenarnya, masih ada satu lagi sahabatku, dia tinggalnya sedikit agak
jauh. Ya, namanya Dika.
Akan
kuceritakan padamu bagaimana rasa itu dimulai …
Beberapa
waktu silam, saat tiga bulan aku berada di kota ini tepatnya. Aku menaruh hati
pada seorang laki-laki yang kerap kali menitip salam lewat temannya untuk
disampaikan kepadaku. Aneh rasanya, saat notabenenya teman satu angkatan dan
setiap hari bertemu tetapi dia menitip salam. Serasa jauh dan tidak pernah
bertemu.
“Put,
dapat salam dari Arga” ujar salah satu temanku yang tak lain adalah temannya,
namanya Hasan. Aku hanya terdiam dengan beribu tanda tanya memenuhi otakku.
“Arga
yang man……………” kalimatku terputus saat kulihat hasan telah berlalu. Meninggalkanku
di dalam laboratorium sendirian. Masih kuingat betul hari itu sudah sore. Sekali
lagi, kepalaku masih dipenuhi ribuan pertanyaan.
---
Bayanganku
kian samar-samar dengan nama Arga. Ya, Arga. Nama yang kerap kali muncul dalam
otakku akhir-akhir ini. Semenjak percakapanku dengan Hasan terakhir itu, aku
semakin tak mengerti dengan perasaanku. Akhir-akhir ini Arga memang lebih
sering menghubungiku lewat bbm. Percakapan itu dimulai dari menanyakan
kepentingan kampus, hingga berakhir dengan ucapan selamat malam.
Aku
masih menganggapnya suatu hal yang biasa. Sama halnya setiap percakapan dengan
teman-temanku yang kebanyakan laki-laki.
Sekarang
semuanya terasa berbeda. Tak kudengar lagi suara yang menyuruhku segera pulang
selepas aku keluar malam. Dulu, tak jarang aku dibuatnya kesal hanya karena
suara yang menasehatiku untuk segera pulang. Itu mengganggu sekali. Aku
membenci suaranya yang sangat mengganggu kesenanganku diluar. Tapi sekarang,
justru suara itu yang kurindukan.
Rasa
itu muncul lagi. Ya, setelah sekian kali rotasi bumi, bahkan revolusi bumi aku
benar-benar terhempas jarak dengannya. Bukan karena berjauhan, bukan. Kami
masih dalam satu lingkup. Hanya saja komunikasi yang sempat membuatku dengannya
terasa jauh.
---
Hari
ini aku berulang tahun. Ya, semenjak 20 tahun yang lalu aku keluar dari rahim
seorang wanita yang hebat. Aku bersyukur hadir ditengah-tengah kehangatan
mereka. Aku tak pernah menyambut setiap pergantian usiaku bersama dia, yang belum lama ini menjadi tambatan hatiku. Ucapannya
yang masih saja melalui pesan sudah membuatku sangat bahagia. Aku tertawa. Aku
sendiri sampai berfikir. Kadang, orang bahagia memang norak.
Rena
mengajakku keluar malam ini. Aku yang
masih sedikit mengantuk menuruti saja kemauannya. Rasanya badanku sedikit remuk
setelah semalaman dihabisi oleh para sahabatku waktu SMA. Salah satunya adalah
mantan kekasihku yang kini masih berhubungan baik denganku sebatas teman. Waktu
tidur malamku kuhabiskan untuk sekedar ber-euphoria bersama mereka. Rasanya,
sudah lama sekali aku tak merasakan keadaan seperti ini.
Aku
masih menggitari sekeliling Jogja. Setiap sudutnya begitu ramah. Aku sudah
pasrah dibawanya kemana Rena membawa motornya. Sering kali kami pergi dengan
tujuan yang tak jelas. Dan ini bukan untuk pertama kalinya aku menuruti kemauan
konyol Rena.
Aku
merebahkan badanku di sofa rumah. Hawa yang lumayan dingin sukses membuatku
semakin ingin meringkuk dalam buaian sofa. Rena, masih saja mondar mandir tak
jelas apa yang dia perbuat.
“SURPRISEEE
!!!!!!! “
Rena
berteriak dengan kerasnya tatkala kubuka pintu kamarku. Kosong. Benar-benar
kosong. Yang kulihat hanyalah berbagai warna dan bentuk balon pada setiap
sudutnya. Untaian kertas krebs yang berwarna warni menjulang memenuhi
ruanganku. Didalamnya benar-benar kosong. Tak ada orang. Tak ada Agam. Bahkan
tak ada kue tart selayaknya ulang tahun. Aku makin bingung. Pikiranku sudah tidak ada
pada tempatnya lagi.
“Happy birthday to you …happy birthday
to you … happy birthday…happy birthday…happy birthday to you”
Kulihat
Dika, sahabatku keluar dari kamar Rena. Suaranya lembut sekali. Tatapan matanya
penuh haru seakan ingin memelukku. Diatas tangannya, ada sebuah kue tart
bergambar cartoon kesukaanku. Ya, Rilakuma. Sebuah kue tart yang dikelilingi
oleh empat buah cupcake pada setiap sudutnya. Lucu sekali.
Aku
menutup mataku lekat-lekat. Air mata haru menetes. Kusandarkan tubuhku pada
tempat tidurku. Suara semakin banyak. Satu persatu sahabatku keluar dari kamar
Rena. Ida, Riri, Agam. Kulihat pula Iben dan Theo memasuki kamarku.
“Lihat,
siapa yang datang” bisik Rena padaku.
Perlahan
ku buka mataku. Kupandangi mereka
satu-satu. Wajahnya sumringah sekali. Masih dengan tepuk tangan dan
nyanyian-nyanyian yang mereka lontarkan.
Kulihat
seorang lelaki berdiri di tepi pintu. Benar-benar tak asing aku melihatnya. Ya,
Arga. Aku benar-benar serasa ingin pingsan. Aku kembali menutup wajahku.
Tetesan air mata, bercampur malu dan rasa gugup kini beradu menjadi satu. Aku
tak tau hal apalagi yang harus ku perbuat selain lebih erat menutup mata. Rasanya
aku ingin sekali pada waktu itu juga bumi terbelah menjadi dua, lalu aku masuk
ke dalamnya. Dan lenyap.
Kini
Arga tepat didepanku. Ya, berkisar 30 centi dari pandanganku. Kue tart itu
sudah berpindah ke tangannya. Senyumnya, dan ucapan selamat ulangtahun darinya
nyaris membuatku lupa aku sedang berada di belahan dunia bagian mana. berulang kali kugigit bibirku kuat-kuat. memastikan ini semua nyata, bukan mimpi.
Gerakan
tangan yang tak diinginkan itu muncul lagi. Ya Tuhan, kali ini aku benar-benar
gugup. Melebihi rasa gugupku tatkala aku harus berpapasan dengannya di kampus.
Melebihi tatkala aku harus menemuinya di perpustakan. Ya, aku memang sudah
untuk kedua kalinya menemui Arga untuk urusan tugas kuliah. Dan semua di tempat yang sama, perpus. dan semua rasanya
sama, gugup.
---
Ini
sudah hari ketiga dari kejadian yang mematikan itu berlalu. Bayangan itu nampak
jelas. Sudah berulang kali aku mengalihkan pikiranku. Namun selalu saja gagal.
Otakku menjadi susah sekali dikendalikan, ia terlalu ingin memutar banyak
tragedi malam itu.
Berulangkali
aku berteriak menyadarkan diriku sendiri. Aku dan dia hanya sebatas TEMAN. Tapi
entah mengapa rasa ini begitu jauh lebih dari itu. Jujur saja, aku sakit
terus-terusan seperti ini. Bayangkan saja, aku mencintai seseorang yang bahkan
keluar-masuk dalam hidupku. Mencintai seseorang yang bahkan aku tak pernah tau
isi hatinya.
Dan
bagaimana kalau aku berusaha melupakannya? Semakin aku melupakannya, bahkan
semakin ingat saja. Rasa itu muncul kembali. Aku benci hal ini. Aku selalu
mengingat sisi negatifnya dia, dengan pengharapan aku bisa membencinya. Tetapi
hati rasanya berontak. Hati rasanya berteriak Ia tidak seperti itu. Aku semakin
benci.
Aku
memeluk guling rapat-rapat. Lampuku setengah redup menambah sedikit cahaya
dalam kegelapan kamarku. Untuk kesekian kalinya air mataku menetes. Isakku
makin menjadi. Rasa sesak menghimpit dadaku. Sakit sekali rasanya.
Malam-malamku terasa sepi. Tak kutemukan lagi suara Rena dan Agam yang kerap
kali gaduh beradu. Tak kujumpai mereka. Persetan dengan keadaan seperti ini.
Ketika malam menelan kecerahan, ketika
bulan menggantikan matahari
Ketika bintang menambah keindahan
malam
Dan ketika hempasan angin menusuk
tubuh ini
Tiba-tiba bayangmu memasuki
alamku, bersama suara gemercik air.
Memberi ketenangan untukku, memasuki otak dan hatiku
Tapi …
Seketika itu terasa sakit di dada. Tak
mampu bernafas. Tak mampu menjamah
Mungkinkah aku hanya berkhayal ?
Terbangun dari mimpi-mimpiku Engkau
hanya mimpi. Engkau hanya bayangan. Tak bisa ku genggam. Tak bisa kumiliki
Kini aku sendiri. Menikmati rasaku.
Tanpa ada sambut darimu
( puisi ditulis langsung oleh tokoh
cerita)
Yang pernah sebegitu haru akan
kehadiranmu
Kamu tetap menjadi semesta bagiku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar