Selasa, 24 Juni 2014

- Kamu masih saja semestaku



Mungkin saat Tuhan meniupkan ruh-ku kedalam rahim ibuku,
bersamaan dengan Tuhan menuliskan namamu

Terdengar suara cekikikan disebuah kamar berwarna merah jambu berukuran 3x3 meter. Suara tertawanya sangat lepas. Perlahan-lahan aku memasuki ruangan tersebut. Tangan kananku menggenggam sebotol susu cokelat kesukaanku dan mulutku masih mengunyah roti yang barusan kuambil ke dalam kulkas.

Kulihat dua sosok yang tak asing lagi bagiku. Ya, dia Putri dan Agam. Teman sekontrakan, teman belajar, sekaligus teman bergosip. Teman senang, susah, duka, lara, pedih.

Aku menyerobot masuk dan langsung duduk pada tempat tidur. Tanganku memainkan tuts volume speaker yang tengah memutar salah satu lagu band kesukaanku, Sheila on 7. Aku merebahkan tubuh pada sandaran tempat tidurku. Aku kian menikmati musiknya. Kedua temanku? Masih sibuk dengan leluconnya.

Aku ingin engkau selalu menemani hidup dan matiku
Aku ingin engkau selalu temani masa tua ku …

Aku terhentak ketika kudengar sebuah lagu dengan lirik seperti diatas.

“Put, gimana kalo tiba-tiba Arga membawa gitar terus nyanyi lagu ini didepan rumah waktu ulang tahunmu? ” ujarku pada Putri tiba-tiba. 

Putri memandangku sejenaklalu berteriak. Teriakan yang khas. Teriakan yang tak asing lagi kudengar. Teriakan orang sedang jatuh cinta. Ya, dia memang sedang jatuh cinta.
***

Namaku Putri
Aku tinggal satu atap dengan manusia yang konyolnya kelewatan. Ya, mereka Agam dan Rena. Sebenarnya, masih ada satu lagi sahabatku, dia tinggalnya sedikit agak jauh. Ya, namanya Dika.

Akan kuceritakan padamu bagaimana rasa itu dimulai …

Beberapa waktu silam, saat tiga bulan aku berada di kota ini tepatnya. Aku menaruh hati pada seorang laki-laki yang kerap kali menitip salam lewat temannya untuk disampaikan kepadaku. Aneh rasanya, saat notabenenya teman satu angkatan dan setiap hari bertemu tetapi dia menitip salam. Serasa jauh dan tidak pernah bertemu. 

“Put, dapat salam dari Arga” ujar salah satu temanku yang tak lain adalah temannya, namanya Hasan. Aku hanya terdiam dengan beribu tanda tanya memenuhi otakku. 

“Arga yang man……………” kalimatku terputus saat kulihat hasan telah berlalu. Meninggalkanku di dalam laboratorium sendirian. Masih kuingat betul hari itu sudah sore. Sekali lagi, kepalaku masih dipenuhi ribuan pertanyaan.
---

Bayanganku kian samar-samar dengan nama Arga. Ya, Arga. Nama yang kerap kali muncul dalam otakku akhir-akhir ini. Semenjak percakapanku dengan Hasan terakhir itu, aku semakin tak mengerti dengan perasaanku. Akhir-akhir ini Arga memang lebih sering menghubungiku lewat bbm. Percakapan itu dimulai dari menanyakan kepentingan kampus, hingga berakhir dengan ucapan selamat malam.

Aku masih menganggapnya suatu hal yang biasa. Sama halnya setiap percakapan dengan teman-temanku yang kebanyakan laki-laki. 

Sekarang semuanya terasa berbeda. Tak kudengar lagi suara yang menyuruhku segera pulang selepas aku keluar malam. Dulu, tak jarang aku dibuatnya kesal hanya karena suara yang menasehatiku untuk segera pulang. Itu mengganggu sekali. Aku membenci suaranya yang sangat mengganggu kesenanganku diluar. Tapi sekarang, justru suara itu yang kurindukan.

Rasa itu muncul lagi. Ya, setelah sekian kali rotasi bumi, bahkan revolusi bumi aku benar-benar terhempas jarak dengannya. Bukan karena berjauhan, bukan. Kami masih dalam satu lingkup. Hanya saja komunikasi yang sempat membuatku dengannya terasa jauh.
---

Hari ini aku berulang tahun. Ya, semenjak 20 tahun yang lalu aku keluar dari rahim seorang wanita yang hebat. Aku bersyukur hadir ditengah-tengah kehangatan mereka. Aku tak pernah menyambut setiap pergantian usiaku bersama dia, yang belum lama ini menjadi tambatan hatiku. Ucapannya yang masih saja melalui pesan sudah membuatku sangat bahagia. Aku tertawa. Aku sendiri sampai berfikir. Kadang, orang bahagia memang norak.

Rena mengajakku keluar malam ini.  Aku yang masih sedikit mengantuk menuruti saja kemauannya. Rasanya badanku sedikit remuk setelah semalaman dihabisi oleh para sahabatku waktu SMA. Salah satunya adalah mantan kekasihku yang kini masih berhubungan baik denganku sebatas teman. Waktu tidur malamku kuhabiskan untuk sekedar ber-euphoria bersama mereka. Rasanya, sudah lama sekali aku tak merasakan keadaan seperti ini. 

Aku masih menggitari sekeliling Jogja. Setiap sudutnya begitu ramah. Aku sudah pasrah dibawanya kemana Rena membawa motornya. Sering kali kami pergi dengan tujuan yang tak jelas. Dan ini bukan untuk pertama kalinya aku menuruti kemauan konyol Rena.

Aku merebahkan badanku di sofa rumah. Hawa yang lumayan dingin sukses membuatku semakin ingin meringkuk dalam buaian sofa. Rena, masih saja mondar mandir tak jelas apa yang dia perbuat.

“SURPRISEEE !!!!!!! “

Rena berteriak dengan kerasnya tatkala kubuka pintu kamarku. Kosong. Benar-benar kosong. Yang kulihat hanyalah berbagai warna dan bentuk balon pada setiap sudutnya. Untaian kertas krebs yang berwarna warni menjulang memenuhi ruanganku. Didalamnya benar-benar kosong. Tak ada orang. Tak ada Agam. Bahkan tak ada kue tart selayaknya ulang tahun. Aku makin bingung. Pikiranku sudah tidak ada pada tempatnya lagi.

“Happy birthday to you …happy birthday to you … happy birthday…happy birthday…happy birthday to you”

Kulihat Dika, sahabatku keluar dari kamar Rena. Suaranya lembut sekali. Tatapan matanya penuh haru seakan ingin memelukku. Diatas tangannya, ada sebuah kue tart bergambar cartoon kesukaanku. Ya, Rilakuma. Sebuah kue tart yang dikelilingi oleh empat buah cupcake pada setiap sudutnya. Lucu sekali.

Aku menutup mataku lekat-lekat. Air mata haru menetes. Kusandarkan tubuhku pada tempat tidurku. Suara semakin banyak. Satu persatu sahabatku keluar dari kamar Rena. Ida, Riri, Agam. Kulihat pula Iben dan Theo memasuki kamarku.

“Lihat, siapa yang datang” bisik Rena padaku.

Perlahan ku buka mataku.  Kupandangi mereka satu-satu. Wajahnya sumringah sekali. Masih dengan tepuk tangan dan nyanyian-nyanyian yang mereka lontarkan.

Kulihat seorang lelaki berdiri di tepi pintu. Benar-benar tak asing aku melihatnya. Ya, Arga. Aku benar-benar serasa ingin pingsan. Aku kembali menutup wajahku. Tetesan air mata, bercampur malu dan rasa gugup kini beradu menjadi satu. Aku tak tau hal apalagi yang harus ku perbuat selain lebih erat menutup mata. Rasanya aku ingin sekali pada waktu itu juga bumi terbelah menjadi dua, lalu aku masuk ke dalamnya. Dan lenyap.

Kini Arga tepat didepanku. Ya, berkisar 30 centi dari pandanganku. Kue tart itu sudah berpindah ke tangannya. Senyumnya, dan ucapan selamat ulangtahun darinya nyaris membuatku lupa aku sedang berada di belahan dunia bagian mana. berulang kali kugigit bibirku kuat-kuat. memastikan ini semua nyata, bukan mimpi.

Gerakan tangan yang tak diinginkan itu muncul lagi. Ya Tuhan, kali ini aku benar-benar gugup. Melebihi rasa gugupku tatkala aku harus berpapasan dengannya di kampus. Melebihi tatkala aku harus menemuinya di perpustakan. Ya, aku memang sudah untuk kedua kalinya menemui Arga untuk urusan tugas kuliah. Dan semua di tempat yang sama, perpus. dan semua rasanya sama, gugup.
---

Ini sudah hari ketiga dari kejadian yang mematikan itu berlalu. Bayangan itu nampak jelas. Sudah berulang kali aku mengalihkan pikiranku. Namun selalu saja gagal. Otakku menjadi susah sekali dikendalikan, ia terlalu ingin memutar banyak tragedi malam itu. 

Berulangkali aku berteriak menyadarkan diriku sendiri. Aku dan dia hanya sebatas TEMAN. Tapi entah mengapa rasa ini begitu jauh lebih dari itu. Jujur saja, aku sakit terus-terusan seperti ini. Bayangkan saja, aku mencintai seseorang yang bahkan keluar-masuk dalam hidupku. Mencintai seseorang yang bahkan aku tak pernah tau isi hatinya.

Dan bagaimana kalau aku berusaha melupakannya? Semakin aku melupakannya, bahkan semakin ingat saja. Rasa itu muncul kembali. Aku benci hal ini. Aku selalu mengingat sisi negatifnya dia, dengan pengharapan aku bisa membencinya. Tetapi hati rasanya berontak. Hati rasanya berteriak Ia tidak seperti itu. Aku semakin benci.

Aku memeluk guling rapat-rapat. Lampuku setengah redup menambah sedikit cahaya dalam kegelapan kamarku. Untuk kesekian kalinya air mataku menetes. Isakku makin menjadi. Rasa sesak menghimpit dadaku. Sakit sekali rasanya. Malam-malamku terasa sepi. Tak kutemukan lagi suara Rena dan Agam yang kerap kali gaduh beradu. Tak kujumpai mereka. Persetan dengan keadaan seperti ini.

Ketika malam menelan kecerahan, ketika bulan menggantikan matahari
Ketika bintang menambah keindahan malam
Dan ketika hempasan angin menusuk tubuh ini
Tiba-tiba bayangmu memasuki alamku,  bersama suara gemercik air. Memberi ketenangan untukku, memasuki otak dan hatiku
Tapi …
Seketika itu terasa sakit di dada. Tak mampu bernafas. Tak mampu menjamah
Mungkinkah aku hanya berkhayal ?
Terbangun dari mimpi-mimpiku Engkau hanya mimpi. Engkau hanya bayangan. Tak bisa ku genggam. Tak bisa kumiliki
Kini aku sendiri. Menikmati rasaku. Tanpa ada sambut darimu
( puisi ditulis langsung oleh tokoh cerita)


Yang pernah sebegitu haru akan kehadiranmu
Bagiku, kamu adalah sebab dari kata bahagia
Kamu tetap menjadi semesta bagiku


Tidak ada komentar:

Posting Komentar