Sudah
lewat dari setengah jam yang lalu setelah terakhir kulihat pesan di
handphoneku bertuliskan “Aku udah sampai”
Sebuah
mobil terhenti pada sebuah cafe. Dengan susah payah aku berusaha
me-majumundurkan untuk memastikan mobilku terparkir dengan rapi.
Perlu kesabaran ekstra memang. Parkir mobil di kawasan ini memang
benar-benar butuh ketelatenan yang besar.
Cafenya
tidak terlalu besar. Namun selalu saja penuh oleh anak muda yang
notabenenya mahasiswa dan pasangan yang sedang menikmati makan
malamnya. Rintik gerimis di luar membuatku harus cepat-cepat memasuki
tempat yang hampir beberapa waktu terakhir tak terjamah olehku.
Aku
mulai memasuki koridor cafe. Tangga yang sedikit berlumut membuatku
harus berjalan lebih pelan. Converseku yang mulai berdecit saat
memasuki lantai cafe tersebut memaksaku untuk lebih berhati-hati. Aku
celigukan menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku sama sekali tak menjumpai
apa yang sedang kucari.
Langkah
semakin menuntunku masuk ke dalam. Aku sama sekali tak asing dengan
tempat ini. Semuanya nyaris berubah. Selain dinding dan interiornya
yang semakin berkesan baru, ada hal yang semakin jelas terlihat
berubah. Ya, dua cangkir cappucino panas itu sudah tidak ada lagi.
Dua cangkir cappucino di sudut ruangan bersama selebaran kartu uno
kini tergantikan oleh meja kosong tak berpenghuni.
Aku
tercengang tatkala seorang laki-laki memanggil namaku. Senyumnya yang
sudah lama tak kulihat mengisyaratkanku untuk menghampirinya.
Langkahku semakin cepat menuju satu bangku didepannya. Kulempar
tasku. Aku sudah tak peduli lagi dengan kondisiku. Kutepuk bahunya
keras-keras.
“Ojan
! you don’t know how I missing you so damn” ujarku setengah
teriak, sudah tiga tahun lebih rasanya aku tak menjumpai makhluk
konyol satu ini. Teriakanku nyaris membuat dua wanita di bangku
sebelah menoleh ke arahku.
Ojan
hanya tertawa kecil. Lalu mempersilahkanku duduk disebelahnya.
Seperti biasa, tangannya langsung merebut ponsel yang ada di
genggamanku. Lalu mengacak-acak isinya.
“Kau
punya pacar?” tanyanya sambil tersenyum. Senyumnya terlihat sangan
sumringah.
Aku
hanya menggeleng. Mataku menatapnya lekat-lekat. Lalu kutarik
rambutnya. Begitulah setiap kali aku bertemu dengan Ojan. Ada saja
hal tak penting yang kami lakukan.
“Kenapa? Kamu masih mencintai mantanmu yang brengsek itu atau ……”
“Reno Jan, namanya Reno…” ujarku yang kini agak kalem.
“Atau masih nunggu Satria ?” imbuhnya lagi. Aku semakin gusar dengan tingkah Ojan. Dia selalu saja memancingku untuk menghabisinya tiap kali bertemu.
Ojan
hanya tertawa puas sambil sesekali Ia menyeruput segelas cokelat
panas. Aku hanya melihatnya dengan tatapan heran. Ojan sama sekali
tidak berubah. Ia masih saja bersama secangkir cokelat panasnya.
“Kamu gimana Jan? kamu sekarang sama ….” Tanyaku terputus oleh jarinya yang membungkam bibirku. Ia hanya menggeleng dan tersenyum.
---
Namanya
Fauzan. Tapi semua memanggilnya Ojan. Dia adalah sahabat karib
kekasihku, Satria. Ini adalah tahun kedua dimana aku berada di bangku
SMA. Aku dan Ojan memang beda sekolah. Ojan satu sekolah bahkan satu
kelas dengan kekasihku, Satria. Kami bertiga bisa dibilang sangat
akrab. Kemana kami pergi, selalu saja bertiga.
Dimana
ada Satria, disitu ada Ojan. Bahkan untuk sekedar nge-game online,
mereka kerap kali berdua. Tak jarang aku menemani kekasihku dan
sahabatnya itu berada di game center kawasan Galeria hingga
berjam-jam. Aku yang tidak tertarik dengan permainan tersebut hanya
berada disamping Satria. Memainkan gadget, atau bahkan terkadang
kucolokkan earphone pada telingaku sambil sesekali bersandar pada
bahunya.
Ojan seringkali bercerita kepadaku perihal keluarganya, hingga tambatan hatinya. Mungkin karena Ojan sudah mengganggap aku ini sodara perempuannya. Dia begitu lepas menceritakan segala sesuatu yang sekiranya mengganjal di hatinya.
---
Adzan
maghrib sudah berkumandang sejak setengah jam yang lalu. Aku masih
berada di sebuah ruangan bersama belasan anak-anak yang beda sekolah
denganku. Tanganku berulang kali membungkam bibirku yang sempat
menguap. Gerakan tangan tentor pada sebuah whiteboard sudah tidak
membuatku tertarik lagi dengan pelajaran sore ini. Kulihat jam,
perjalanan jarum ke arah jam tujuh bisa kubilang sangat lamban.
Mataku terus memaksa untuk membuka sampai jam penghabisan.
Aku
menyusuri sebuah lorong pada tempat bimbingan belajar tersebut.
Mataku masih terpaku pada ponsel yang bertuliskan ‘2 panggilan tak
terjawab’. Satria. Ya, kekasihku. Untuk apa dia menelponku? Oh,
mungkin dia sudah sampai didepan bimbel. Sore ini memang dia berjanji
akan menjemputku. Ini untuk kesekian kali dia menjemputku sepulang
bimbel, lalu aku diajaknya menjemput mamanya di kantornya. Biasanya,
setelah itu kami makan malam bertiga.
Aku
semakin mempercepat langkahku. Rasa bersalah menghiasi wajahku sore
ini. Mungkin, Satria sudah terlalu lama menunggu. Lalu, kembali aku
membuka ponselku dan menelponnya.
“Sat,
kamu dimana ? aduh maaf aku kelamaan tapi ini aku udah keluar kok
kamu parkir di sebelah mana? Aku kesitu ya aduh maaf …” ujarku
dengan cemas. Terlihat nadanya seperti terburu-buru.
“Rena, sssttt Rena, dengerin dulu. Sebelumnya maaf ya sore ini aku nggak bisa jemput kamu. aku mesti jemput tante Ira di bandara. Dan sekarang aku udah dijalan. Tapi aku udah telpon Ojan buat jemput kamu” balas suara dari seberang. Aku menghembuskan nafasku dalam-dalam.
“Nggak papa kan, cantik? Aku nyetir dulu ya, I love you” tanyanya lagi. Belum sempat aku membalas ucapannya.
‘Kamu yang ati-ati ya, I love you too” ujarku sambil menutup telepon.
Aku duduk lemas di tepi koridor. Tak kujumpai Ojan disitu. Mataku kembali menatap arloji. Angka menunjukan pukul 19:15. Belum juga kujumpai batang hidung Ojan. Hingga setengah jam berlalu, hingga satu persatu anak di bimbel mulai meninggalkan tempat itu.
---
“Ojan,
rumahmu pindah ya? Atau kamu lupa jalan kesini?” tanyaku sedikit
kesal. Sembari kuhempaskan tubuhku pada jok bagian depan. Ojan hanya
tersenyum puas. Seakan puas membuatku menunggu. Untuk kesekian
kalinya aku hanya ingin menimpuknya dengan modul yang ada di
tanganku.
Tanganku memencet tuts radio di mobilnya. Mencari-cari lagu yang sekiranya nyaman untuk masuk ke telinga. Tiba-tiba mataku menoleh ke belakang. Di jok belakang ada sebuket bunga. Semuanya warnanya merah jambu.
“Bunga
???” tanyaku lirih pada Ojan. Ojan hanya mengangguk. Entah mengapa
malam ini Ojan seperti orang bisu. Kalo tidak mengangguk, ya
tersenyum.
“Ambil lah …” ujar Ojan lirih. Aku hanya mengernyitkan kening tak paham.
“Itu buat Dinda? Jadi kamu mau nembak sekarang? Kamu tak menunggu bulan sembilan?”
“Buat kamu…” balas Ojan sembari menoleh ke arahku. Aku masih saja tak mengerti dengan maksud Ojan.
“Satria nitip itu buat kamu. Sebagai permintaan maafnya nggak bisa jemput dan jalan sama kamu. Diterima nggak ini Ren ?”
“Satria beli bunga itu sebelum dia menjemput tantenya. Lalu dia kerumah, menitipkan padaku. Buru-buru sekali kelihatannya” imbuhnya lagi. Kali ini semakin diperjelas.
Aku hanya tersenyum mengangguk ke arah Ojan. Sesekali kuciumi sebuket mawar berwana merah jambu yang masih sangat segar itu. Ah, Satria memang selalu penuh kejutan. Dan kali ini membuatku jatuh hati untuk kesekian kali padanya.
“Aku masih akan menunggu bulan sembilan untuk Dinda” ujar Ojan disela-sela perjalanan kami. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Aku tau, Dinda teramat mencintai kamu”
“Bagaimana kamu tau?” kini Ojan yang semakin tak mengerti dengan maksudku.
“Kamu lupa, dia teman satu bimbel denganku. Dia kerap kali cerita kepadaku. Hampir setiap bimbel, dia mencurahkan isi hatinya kepadaku” ujarku lirih meyakinkan pada Ojan.
Mobil
belok pada suatu gang. Berhenti tepat di sebuah rumah bercat biru.
“Kamu nggak mau mampir dulu?” tanyaku pada Ojan sebelum benar-benar aku keluar dari mobilnya.
“Aku langsungan aja, udah malem”
“Makasih ya, kamu ati-ati. Perjuangin satu tahunmu, dia juga mencintai kamu” ujarku sembari keluar dari mobil. Ojan hanya menatapku lekat-lekat lalu tersenyum.
“Baiklah
nyonya Satria” balas Ojan sambil tersenyum kecut.
---
31-08-2010
Aku
dan Satria masih dalam perjalanan menuju sebuah GOR di kota pelajar
tersebut untuk menyaksikan sebuah event berkelas setiap tahunnya.
Sesekali aku bergurau dengan Satria. Selepas pulang sekolah seperti
ini memang gerah. Berulang kali kutengok kearah kekasihku. Dia masih
begitu berkonsentrasi dengan jalanan yang begitu ruwet. Jogja
akhir-akhir ini memang sering macet. kubelakan bolos sekolah pada jam
terakhir untuk ikut bersorak pada tribun di grand final. Sebenarnya,
bukan sekolahku yang bertanding melainkan sekolahnya kekasihku.
Sebagai wanita yang pernah menjadi kekasih hatinya dan mengikuti
kemana Ia pergi, aku menuruti kemauan Satria.
“Ojan
kok nggak bareng kita?” tanyaku pelan pada Satria. Sesekali
tanganku menyeka keringat yang mengucur dari dahinya.
“Ojan bareng anak-anak tadi. Oh ya, nanti pulang suporteran aku ajakin kamu menjemput Ifa dan Hanaf ya”
15.15
WIB
Pertandingan
Usai. Skor yang diperoleh almamater kekasihku seusai persaingan
sengit cukup memuaskan. 34-18. Semua rombongan keluar dengan wajah
kemenangan. Tim berhasil mencetak kebanggaan untuk setiap wajah-wajah
yang bersorak.
“Ini
hampir bulan sembilan kan?” tanya Satria di sela-sela perjalanan
pulang. Aku hanya mengangguk. Tanganku masih mengaduk cadburry yang
meleleh. Sesekali tanganku kumasukan kedalam mulut.
“Sebentar lagi Ojan akan segera menyusul kita. Berarti, nanti kalo kita jalan, di jok belakang Ojan nggak sendirian lagi” ujar lelaki yang selalu saja berhasil membuatku jatuh hati berkali-kali.
Satu
tahun yang lalu Ojan memang sempat menaruh hati pada seorang wanita
yang notabenenya masih satu sekolah dengannya, termasuk kekasihku.
Wanita itu namanya Dinda. Dari satu tahun yang terlewati, Ojan hanya
sebatas dekat. Berulang kali Ojan cerita padaku, dia sangat minder
dengan wanita yang sangat digilainya itu.
“Dinda
cantik, baik, pinter, sopan, namanya ada dimana-mana, yang deketin
dia juga banyak. Cakep-cakep, kaya. Mana mau dia sama aku, Ren?”
kata-kata yang selalu keluar dari bibir Ojan seketika mencurahkan isi
hatinya padaku.
Dinda
selain teman sekolah kekasihku, dia juga satu kelas denganku waktu
bimbel. Dulu, aku kerap kali menyampaikan salam untuknya. Salam
sayang dari Ojan tentunya. Dinda juga sering bercerita kepadaku
perihal hubungannya dengan sahabat kekasihku. Dinda yang sejauh
setahun ini hanya dijadikan teman dekat. Ojan bahkan tak pernah
memintanya sebagai kekasih. Dinda sendiri bingung. Sebagai wanita,
bukankah status dalam suatu hubungan itu penting ???
Ojan
sendiri menunggu waktu yang tepat. Ojan seringkali mengatakan hal ini
kepada Dinda. Ojan ingin memberi kado dengan menjadikannya kekasih di
ulang tahunnya nanti. Bulan sembilan. Tepatnya, di waktu 08-09-10.
Ojan ingin kisah cintanya terekam dalam delapan, sembilan, sepuluh.
---
Senja
semakin berganti malam. Dalam perjalanan mengantarku pulang ke rumah,
ponsel Satria berdering tiba-tiba. Aku bisa membaca tulisannya. Nama
seorang wanita. Satria mengangkat teleponnya, aku hanya memalingkan
wajah memandangi ke luar jendela.
Aku
tersentak kaget saat nada tinggi Satria menyebut kata bahwa Ojan
kecelakaan. Aku memandangi Satria. Tanganku menggenggam erat pahanya.
Memastikan kekasihku itu hanya salah dengar. Tapi tidak. Kali ini
ekspresi Satria tidak main-main.
Mobil
melaju kencang ke arah utara. Sangat kencang. Berkali-kali aku
menenangkan kekasihku yang kulihat panik dari raut wajahnya.
Memastikan Ojan akan baik-baik saja. Aku tak bisa mengucap sepatah
katapun. Pikiranku bercampur aduk. Panik, dan takut.
Mobil
terparkir rapi di sebuah rumah sakit swasta di Jogja. Panti Rapih.
Aku mengikuti langkah Satria yang setengah berlari. Berkali-kali
tanganku memencet tombol telepon pada ponsel Satria. Aku dan
kekasihku menuju tempat informasi. Lalu setengah berlari kecil menuju
ruang ICU. Hati kecilku semakin ingin menangis. Sebegitu parahnya kah
Ojan hingga harus ke ICU.
Aku
tiba didepan ruang ICU. Masih bersama kekasihku. Didepan ruang ICU
kulihat Ojan sedang duduk. Kepalanya menyandar pada kedua tangannya.
Tak kulihat tanda-tanda kecelakaan pada diri Ojan. Aku dan Satria
langsung menuju tempat Ojan duduk.
“Ojan
kamu nggak papa? Katanya kamu parah kok kamu diluar? Ojan gimana
ceritanya?” tanyaku dengan nada cemas dan nafas tersendat-sendat.
Satria hanya memandangku. Mengisyaratkanku untuk diam sejenak. Aku
yang paham dengan maksud kekasihku itu, lantas duduk disampingnya.
Terdiam.
“Sat,
Dinda Sat. aku ngerasa bersalah sama Dinda. Harusnya tak kubiarkan Ia
pulang sendiri. Sat, Aku ini bodoh” ujar Ojan setengah menangis.
Bisa kutarik kesimpulan, yang berada didalam ruang ICU lengkap dengan
selang oksigen dan seperangkat alat bantu itu bukan Ojan, melainkan
Dinda.
Satria hanya memeluk Ojan. Memastikan semuanya akan baik-baik saja. Memastikan Dinda akan segera bangun.
---
Dering
suara telepon pagi ini membuatku sangat kesal. Berulang kali kupencet
tombol merah. Aku terhentak saat kulihat sebuah nama dan fotoku
dengan seorang lelaki sedang menghubungiku. Aku membuka mataku
perlahan, tulisan nama kekasihku muncul dalam ponselku.
“Iya
Sat aku udah bangun terus mau mandi terus berangkat sekolah kok. Kamu
jangan kecepetan ya jemputnya. Love you” .
“Ren, kamu ngomong apaan sih. Hari ini kamu bolos sekolah aja ya. Kita mesti ke Kulonprogo” balas suara dari seberang dengan nada tinggi. Aku sudah mulai sedikit takut jika kekasihku sudah bicara dengan nada tingginya.
“Sat, ngapain? Aku kemarin udah bolos jam terakhir masa ….”
“Dinda udah nggak ada Ren. Kita mesti kesana sekarang” Satria memotong ucapanku barusan. Aku dengan masih setengah sadar tak percaya dengan ucapan kekasihku barusan. Telepon tiba-tiba mati tanpa ada akhiran “Love you” maupun “See you soon darling” seperti biasanya.
---
Kamis,
01 September 2010
Di
kediaman Dinda, Kulonprogo
Suasana
duka menyelimuti kediaman Dinda pagi ini. Kulihat semua orang
menangis tak terkecuali melepas kepergian Dinda. Semuanya begitu
mendadak setelah peristiwa kemarin sore. Setelah motornya beradu
dengan sebuah sedan di kawasan jalan Godean. Ya, Dinda yang selepas
kemarin siang masih bersorak mendukung almamaternya itu pergi
tiba-tiba.
Kudekati
Ojan. Dia berada disebelah jenazah Dinda yang sudah terbaring rapi
didalam peti. Mulutnya komat-kamit membaca doa. Entah doa apa yang
dibacakannya aku tak paham lagi. Wajahnya tegar sekali. Dia bahkan
tidak menangis. Tapi kulihat wajahnya begitu sayu. Mungkin
tangisannya sudah dihabiskan semalam.
“Maafin
kesalahan Dinda ya, Rena, Satria” ujarnya sambil memandangiku dan
kekasihku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
---
Kamis,
08-09-2010
Sore
ini aku dan kekasihku menemani Ojan menuju peristirahatan terakhir
Dinda. Ya, semenjak tujuh hari yang lalu tepat peninggalan Dinda.
Ojan kini duduk disamping Satria. Sambil membawakan 16 buah mawar
putih dan 8 buah mawar merah yang dikemas dalam satu buket bunga.
Indah sekali.
“Rena,
kamu tau nggak kenapa Ojan bawain 16 bunga mawar putih dan 8 buah
mawar merah? Kenapa nggak mawar biru atau mawar pink?” tanya Satria
memecah kesunyian sore itu.
“engggg kenapa ya? Soalnya mawar pink udah sering kamu kasihin ke aku kali ya Sat, jadi biar nggak mainstream” ujarku menebak-nebak pertanyaan kekasihku itu. Pertanyaan yang tak penting sebenarnya. Mungkin itu salah satu pancingan untuk menghibur Ojan. Agar Ojan tidak terus-terusan diam seribu bahasa.
“Putih itu warna suci. Aku bawain 16 mawar putih, karena hari ini ulang tahun yang ke-16. Dan keberadaannya begitu suci. Begitu pula hatinya…” jawab Ojan begitu pelan dan tenang. Sambil tersenyum seolah-olah Ia akan benar-benar bertemu dengan Dinda.
“Terus yang merah?” tanyaku sedikit pelan. Dengan wajah yang penuh harap untuk dijawabnya.
“Delapan warna merah. Ini tanggal delapan. Dan warna merah artinya keberanian. Di tanggal delapan ini aku telah bertekad aku berani untuk mengungkapkan rasaku ke Dinda secara langsung”.
Aku dan Satria hanya terdiam. Tanganku mengusap bahu Ojan. Bermaksud menenangkannya dan memahami maksudnya.
Aku
dan Satria duduk ditepi nisan bertulisan “Adinda Putri”.
Sementara Ojan berada didepanku persis, bersebrangan dengan kami. Aku
dan satria masih membisu. Aku memandangi Ojan, wajahnya begitu
tenang. Tak pernah kulihat wajah sebegitu tenangnya seperti Ojan kali
ini.
“Dinda,
bagaimana kabarmu? Lihat, aku sedang menjengukmu bersama kedua
sahabatku yang seringkali kuceritakan padamu” ujar Ojan lirih
sembari meletakkan sebuket bunga menyandar pada batu nisannya.
“Lihat
apa yang kubawa. Aku benar-benar menemuimu dan membawakanmu bunga
sama seperti yang pernah kukatakan waktu itu. Kamu masih ingat?”
kali ini aku dan Satria hanya tertunduk membisu.
“
Selamat ulang tahun
cantik. Aku mencintaimu dan selalu saja mencintaimu. Aku mencintai
setiap huruf yang ada pada balasan pesanmu. Aku mencintai caramu
membuatku sebegitu jatuh hati. Bahkan aku tetap mencintaimu walau
pesan terakhirku yang mengingatkanmu untuk berhati-hati sore itu tak
kau balas sama sekali, bahkan di dalam chatku hanya bertuliskan ‘D’
“ Ujar Ojan bahkan kalimatnya kali ini membuatku meneteskan air
mata. Kurasakan gerimis mulai membasahi tanah pemakaman sore itu.
“Cantik,
sore ini tiba-tiba gerimis. Padahal aku masih ingin menemani kamu
disini. Aku masih ingin cerita banyak. Sekarang tiap kali aku ingin
bercerita denganmu, selalu saja tak kau balas. Aku pulang dulu ya.
Kamu jaga diri baik-baik disini. Kalo kamu kedinginan, kamu bilang
sama aku. Nanti kubawakan selimut hello kitty yang harusnya menjadi
kado saat ulang tahunmu. Kalau kamu rindu, bilang ke aku. Aku janji,
bakalan nemuin kamu disini ” pamit Ojan sambil mencium batu nisan
berwana putih itu. Kulihat air matanya sedikit menetes. Lalu
memandangiku dan kekasihku. Mengajak kami untuk pulang.
Senja
mengantarkan kami meninggalkan peristirahatan terakhir Dinda. Aku
berdecak kagum pada sahabat kekasihku itu. Begitu Ia menepati
janjinya.
---
Tahun
ke-empat ini sudah banyak yang berubah. Waktu benar-benar mengubah
semuanya. Selain sebuket bunga di pemakaman yang semakin mengering,
sekarang sudah tidak ada lagi sebuket mawar merah jambu yang kerap
kali dititipkan pada Ojan. Yang dulu kerap kali menjemputku
pagi-pagi, sekarang membiarkanku berangkat sendiri. Yang dulu
sepiring nasi goreng buat bertiga sambil bermain uno, sekarang
sepiring nasi goreng itu terbiarkan dingin dan hambar.
Ditulis untuk yang berulang tahun hari ini
tepat
pada tahun ke-empat setelah kepergian Dinda
Dan
kamu masih saja tak bisa melihat selain Dinda
Cinta
memang lumpuh,
Bahkan
saat ia menghilang ia mampu membawa separuh jiwamu pergi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar