Minggu, 29 Juni 2014

Bulan ke-sembilan

Sudah lewat dari setengah jam yang lalu setelah terakhir kulihat pesan di handphoneku bertuliskan “Aku udah sampai”

Sebuah mobil terhenti pada sebuah cafe. Dengan susah payah aku berusaha me-majumundurkan untuk memastikan mobilku terparkir dengan rapi. Perlu kesabaran ekstra memang. Parkir mobil di kawasan ini memang benar-benar butuh ketelatenan yang besar. 
 
Cafenya tidak terlalu besar. Namun selalu saja penuh oleh anak muda yang notabenenya mahasiswa dan pasangan yang sedang menikmati makan malamnya. Rintik gerimis di luar membuatku harus cepat-cepat memasuki tempat yang hampir beberapa waktu terakhir tak terjamah olehku.

Aku mulai memasuki koridor cafe. Tangga yang sedikit berlumut membuatku harus berjalan lebih pelan. Converseku yang mulai berdecit saat memasuki lantai cafe tersebut memaksaku untuk lebih berhati-hati. Aku celigukan menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku sama sekali tak menjumpai apa yang sedang kucari.

Langkah semakin menuntunku masuk ke dalam. Aku sama sekali tak asing dengan tempat ini. Semuanya nyaris berubah. Selain dinding dan interiornya yang semakin berkesan baru, ada hal yang semakin jelas terlihat berubah. Ya, dua cangkir cappucino panas itu sudah tidak ada lagi. Dua cangkir cappucino di sudut ruangan bersama selebaran kartu uno kini tergantikan oleh meja kosong tak berpenghuni. 
 
Aku tercengang tatkala seorang laki-laki memanggil namaku. Senyumnya yang sudah lama tak kulihat mengisyaratkanku untuk menghampirinya. Langkahku semakin cepat menuju satu bangku didepannya. Kulempar tasku. Aku sudah tak peduli lagi dengan kondisiku. Kutepuk bahunya keras-keras.

“Ojan ! you don’t know how I missing you so damn” ujarku setengah teriak, sudah tiga tahun lebih rasanya aku tak menjumpai makhluk konyol satu ini. Teriakanku nyaris membuat dua wanita di bangku sebelah menoleh ke arahku. 
 
Ojan hanya tertawa kecil. Lalu mempersilahkanku duduk disebelahnya. Seperti biasa, tangannya langsung merebut ponsel yang ada di genggamanku. Lalu mengacak-acak isinya.
“Kau punya pacar?” tanyanya sambil tersenyum. Senyumnya terlihat sangan sumringah.
Aku hanya menggeleng. Mataku menatapnya lekat-lekat. Lalu kutarik rambutnya. Begitulah setiap kali aku bertemu dengan Ojan. Ada saja hal tak penting yang kami lakukan.

“Kenapa? Kamu masih mencintai mantanmu yang brengsek itu atau ……”

“Reno Jan, namanya Reno…” ujarku yang kini agak kalem.

“Atau masih nunggu Satria ?” imbuhnya lagi. Aku semakin gusar dengan tingkah Ojan. Dia selalu saja memancingku untuk menghabisinya tiap kali bertemu.

Ojan hanya tertawa puas sambil sesekali Ia menyeruput segelas cokelat panas. Aku hanya melihatnya dengan tatapan heran. Ojan sama sekali tidak berubah. Ia masih saja bersama secangkir cokelat panasnya.

“Kamu gimana Jan? kamu sekarang sama ….” Tanyaku terputus oleh jarinya yang membungkam bibirku. Ia hanya menggeleng dan tersenyum.
---
Namanya Fauzan. Tapi semua memanggilnya Ojan. Dia adalah sahabat karib kekasihku, Satria. Ini adalah tahun kedua dimana aku berada di bangku SMA. Aku dan Ojan memang beda sekolah. Ojan satu sekolah bahkan satu kelas dengan kekasihku, Satria. Kami bertiga bisa dibilang sangat akrab. Kemana kami pergi, selalu saja bertiga. 
 
Dimana ada Satria, disitu ada Ojan. Bahkan untuk sekedar nge-game online, mereka kerap kali berdua. Tak jarang aku menemani kekasihku dan sahabatnya itu berada di game center kawasan Galeria hingga berjam-jam. Aku yang tidak tertarik dengan permainan tersebut hanya berada disamping Satria. Memainkan gadget, atau bahkan terkadang kucolokkan earphone pada telingaku sambil sesekali bersandar pada bahunya.

Ojan seringkali bercerita kepadaku perihal keluarganya, hingga tambatan hatinya. Mungkin karena Ojan sudah mengganggap aku ini sodara perempuannya. Dia begitu lepas menceritakan segala sesuatu yang sekiranya mengganjal di hatinya.
---
Adzan maghrib sudah berkumandang sejak setengah jam yang lalu. Aku masih berada di sebuah ruangan bersama belasan anak-anak yang beda sekolah denganku. Tanganku berulang kali membungkam bibirku yang sempat menguap. Gerakan tangan tentor pada sebuah whiteboard sudah tidak membuatku tertarik lagi dengan pelajaran sore ini. Kulihat jam, perjalanan jarum ke arah jam tujuh bisa kubilang sangat lamban. Mataku terus memaksa untuk membuka sampai jam penghabisan.

Aku menyusuri sebuah lorong pada tempat bimbingan belajar tersebut. Mataku masih terpaku pada ponsel yang bertuliskan ‘2 panggilan tak terjawab’. Satria. Ya, kekasihku. Untuk apa dia menelponku? Oh, mungkin dia sudah sampai didepan bimbel. Sore ini memang dia berjanji akan menjemputku. Ini untuk kesekian kali dia menjemputku sepulang bimbel, lalu aku diajaknya menjemput mamanya di kantornya. Biasanya, setelah itu kami makan malam bertiga. 
 
Aku semakin mempercepat langkahku. Rasa bersalah menghiasi wajahku sore ini. Mungkin, Satria sudah terlalu lama menunggu. Lalu, kembali aku membuka ponselku dan menelponnya.

“Sat, kamu dimana ? aduh maaf aku kelamaan tapi ini aku udah keluar kok kamu parkir di sebelah mana? Aku kesitu ya aduh maaf …” ujarku dengan cemas. Terlihat nadanya seperti terburu-buru.

“Rena, sssttt Rena, dengerin dulu. Sebelumnya maaf ya sore ini aku nggak bisa jemput kamu. aku mesti jemput tante Ira di bandara. Dan sekarang aku udah dijalan. Tapi aku udah telpon Ojan buat jemput kamu” balas suara dari seberang. Aku menghembuskan nafasku dalam-dalam.

“Nggak papa kan, cantik? Aku nyetir dulu ya, I love you” tanyanya lagi. Belum sempat aku membalas ucapannya.

‘Kamu yang ati-ati ya, I love you too” ujarku sambil menutup telepon.

Aku duduk lemas di tepi koridor. Tak kujumpai Ojan disitu. Mataku kembali menatap arloji. Angka menunjukan pukul 19:15. Belum juga kujumpai batang hidung Ojan. Hingga setengah jam berlalu, hingga satu persatu anak di bimbel mulai meninggalkan tempat itu.
---

“Ojan, rumahmu pindah ya? Atau kamu lupa jalan kesini?” tanyaku sedikit kesal. Sembari kuhempaskan tubuhku pada jok bagian depan. Ojan hanya tersenyum puas. Seakan puas membuatku menunggu. Untuk kesekian kalinya aku hanya ingin menimpuknya dengan modul yang ada di tanganku.

Tanganku memencet tuts radio di mobilnya. Mencari-cari lagu yang sekiranya nyaman untuk masuk ke telinga. Tiba-tiba mataku menoleh ke belakang. Di jok belakang ada sebuket bunga. Semuanya warnanya merah jambu.

“Bunga ???” tanyaku lirih pada Ojan. Ojan hanya mengangguk. Entah mengapa malam ini Ojan seperti orang bisu. Kalo tidak mengangguk, ya tersenyum.

“Ambil lah …” ujar Ojan lirih. Aku hanya mengernyitkan kening tak paham.

“Itu buat Dinda? Jadi kamu mau nembak sekarang? Kamu tak menunggu bulan sembilan?”

“Buat kamu…” balas Ojan sembari menoleh ke arahku. Aku masih saja tak mengerti dengan maksud Ojan.

“Satria nitip itu buat kamu. Sebagai permintaan maafnya nggak bisa jemput dan jalan sama kamu. Diterima nggak ini Ren ?”

“Satria beli bunga itu sebelum dia menjemput tantenya. Lalu dia kerumah, menitipkan padaku. Buru-buru sekali kelihatannya” imbuhnya lagi. Kali ini semakin diperjelas.

Aku hanya tersenyum mengangguk ke arah Ojan. Sesekali kuciumi sebuket mawar berwana merah jambu yang masih sangat segar itu. Ah, Satria memang selalu penuh kejutan. Dan kali ini membuatku jatuh hati untuk kesekian kali padanya.

“Aku masih akan menunggu bulan sembilan untuk Dinda” ujar Ojan disela-sela perjalanan kami. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Aku tau, Dinda teramat mencintai kamu”

“Bagaimana kamu tau?” kini Ojan yang semakin tak mengerti dengan maksudku.

“Kamu lupa, dia teman satu bimbel denganku. Dia kerap kali cerita kepadaku. Hampir setiap bimbel, dia mencurahkan isi hatinya kepadaku” ujarku lirih meyakinkan pada Ojan.
Mobil belok pada suatu gang. Berhenti tepat di sebuah rumah bercat biru.

“Kamu nggak mau mampir dulu?” tanyaku pada Ojan sebelum benar-benar aku keluar dari mobilnya.

“Aku langsungan aja, udah malem”

“Makasih ya, kamu ati-ati. Perjuangin satu tahunmu, dia juga mencintai kamu” ujarku sembari keluar dari mobil. Ojan hanya menatapku lekat-lekat lalu tersenyum.
“Baiklah nyonya Satria” balas Ojan sambil tersenyum kecut.
---
31-08-2010

Aku dan Satria masih dalam perjalanan menuju sebuah GOR di kota pelajar tersebut untuk menyaksikan sebuah event berkelas setiap tahunnya. Sesekali aku bergurau dengan Satria. Selepas pulang sekolah seperti ini memang gerah. Berulang kali kutengok kearah kekasihku. Dia masih begitu berkonsentrasi dengan jalanan yang begitu ruwet. Jogja akhir-akhir ini memang sering macet. kubelakan bolos sekolah pada jam terakhir untuk ikut bersorak pada tribun di grand final. Sebenarnya, bukan sekolahku yang bertanding melainkan sekolahnya kekasihku. Sebagai wanita yang pernah menjadi kekasih hatinya dan mengikuti kemana Ia pergi, aku menuruti kemauan Satria.

“Ojan kok nggak bareng kita?” tanyaku pelan pada Satria. Sesekali tanganku menyeka keringat yang mengucur dari dahinya.

“Ojan bareng anak-anak tadi. Oh ya, nanti pulang suporteran aku ajakin kamu menjemput Ifa dan Hanaf ya”

15.15 WIB
Pertandingan Usai. Skor yang diperoleh almamater kekasihku seusai persaingan sengit cukup memuaskan. 34-18. Semua rombongan keluar dengan wajah kemenangan. Tim berhasil mencetak kebanggaan untuk setiap wajah-wajah yang bersorak. 
 
“Ini hampir bulan sembilan kan?” tanya Satria di sela-sela perjalanan pulang. Aku hanya mengangguk. Tanganku masih mengaduk cadburry yang meleleh. Sesekali tanganku kumasukan kedalam mulut.

“Sebentar lagi Ojan akan segera menyusul kita. Berarti, nanti kalo kita jalan, di jok belakang Ojan nggak sendirian lagi” ujar lelaki yang selalu saja berhasil membuatku jatuh hati berkali-kali. 
 
Satu tahun yang lalu Ojan memang sempat menaruh hati pada seorang wanita yang notabenenya masih satu sekolah dengannya, termasuk kekasihku. Wanita itu namanya Dinda. Dari satu tahun yang terlewati, Ojan hanya sebatas dekat. Berulang kali Ojan cerita padaku, dia sangat minder dengan wanita yang sangat digilainya itu. 
 
“Dinda cantik, baik, pinter, sopan, namanya ada dimana-mana, yang deketin dia juga banyak. Cakep-cakep, kaya. Mana mau dia sama aku, Ren?” kata-kata yang selalu keluar dari bibir Ojan seketika mencurahkan isi hatinya padaku. 
 
Dinda selain teman sekolah kekasihku, dia juga satu kelas denganku waktu bimbel. Dulu, aku kerap kali menyampaikan salam untuknya. Salam sayang dari Ojan tentunya. Dinda juga sering bercerita kepadaku perihal hubungannya dengan sahabat kekasihku. Dinda yang sejauh setahun ini hanya dijadikan teman dekat. Ojan bahkan tak pernah memintanya sebagai kekasih. Dinda sendiri bingung. Sebagai wanita, bukankah status dalam suatu hubungan itu penting ???

Ojan sendiri menunggu waktu yang tepat. Ojan seringkali mengatakan hal ini kepada Dinda. Ojan ingin memberi kado dengan menjadikannya kekasih di ulang tahunnya nanti. Bulan sembilan. Tepatnya, di waktu 08-09-10. Ojan ingin kisah cintanya terekam dalam delapan, sembilan, sepuluh.
---
Senja semakin berganti malam. Dalam perjalanan mengantarku pulang ke rumah, ponsel Satria berdering tiba-tiba. Aku bisa membaca tulisannya. Nama seorang wanita. Satria mengangkat teleponnya, aku hanya memalingkan wajah memandangi ke luar jendela. 
 
Aku tersentak kaget saat nada tinggi Satria menyebut kata bahwa Ojan kecelakaan. Aku memandangi Satria. Tanganku menggenggam erat pahanya. Memastikan kekasihku itu hanya salah dengar. Tapi tidak. Kali ini ekspresi Satria tidak main-main.

Mobil melaju kencang ke arah utara. Sangat kencang. Berkali-kali aku menenangkan kekasihku yang kulihat panik dari raut wajahnya. Memastikan Ojan akan baik-baik saja. Aku tak bisa mengucap sepatah katapun. Pikiranku bercampur aduk. Panik, dan takut.

Mobil terparkir rapi di sebuah rumah sakit swasta di Jogja. Panti Rapih. Aku mengikuti langkah Satria yang setengah berlari. Berkali-kali tanganku memencet tombol telepon pada ponsel Satria. Aku dan kekasihku menuju tempat informasi. Lalu setengah berlari kecil menuju ruang ICU. Hati kecilku semakin ingin menangis. Sebegitu parahnya kah Ojan hingga harus ke ICU.

Aku tiba didepan ruang ICU. Masih bersama kekasihku. Didepan ruang ICU kulihat Ojan sedang duduk. Kepalanya menyandar pada kedua tangannya. Tak kulihat tanda-tanda kecelakaan pada diri Ojan. Aku dan Satria langsung menuju tempat Ojan duduk.

“Ojan kamu nggak papa? Katanya kamu parah kok kamu diluar? Ojan gimana ceritanya?” tanyaku dengan nada cemas dan nafas tersendat-sendat. Satria hanya memandangku. Mengisyaratkanku untuk diam sejenak. Aku yang paham dengan maksud kekasihku itu, lantas duduk disampingnya. Terdiam.

“Sat, Dinda Sat. aku ngerasa bersalah sama Dinda. Harusnya tak kubiarkan Ia pulang sendiri. Sat, Aku ini bodoh” ujar Ojan setengah menangis. Bisa kutarik kesimpulan, yang berada didalam ruang ICU lengkap dengan selang oksigen dan seperangkat alat bantu itu bukan Ojan, melainkan Dinda.

Satria hanya memeluk Ojan. Memastikan semuanya akan baik-baik saja. Memastikan Dinda akan segera bangun.
---
Dering suara telepon pagi ini membuatku sangat kesal. Berulang kali kupencet tombol merah. Aku terhentak saat kulihat sebuah nama dan fotoku dengan seorang lelaki sedang menghubungiku. Aku membuka mataku perlahan, tulisan nama kekasihku muncul dalam ponselku.

“Iya Sat aku udah bangun terus mau mandi terus berangkat sekolah kok. Kamu jangan kecepetan ya jemputnya. Love you” .

“Ren, kamu ngomong apaan sih. Hari ini kamu bolos sekolah aja ya. Kita mesti ke Kulonprogo” balas suara dari seberang dengan nada tinggi. Aku sudah mulai sedikit takut jika kekasihku sudah bicara dengan nada tingginya.

“Sat, ngapain? Aku kemarin udah bolos jam terakhir masa ….”

“Dinda udah nggak ada Ren. Kita mesti kesana sekarang” Satria memotong ucapanku barusan. Aku dengan masih setengah sadar tak percaya dengan ucapan kekasihku barusan. Telepon tiba-tiba mati tanpa ada akhiran “Love you” maupun “See you soon darling” seperti biasanya.
---
Kamis, 01 September 2010
Di kediaman Dinda, Kulonprogo

Suasana duka menyelimuti kediaman Dinda pagi ini. Kulihat semua orang menangis tak terkecuali melepas kepergian Dinda. Semuanya begitu mendadak setelah peristiwa kemarin sore. Setelah motornya beradu dengan sebuah sedan di kawasan jalan Godean. Ya, Dinda yang selepas kemarin siang masih bersorak mendukung almamaternya itu pergi tiba-tiba. 
 
Kudekati Ojan. Dia berada disebelah jenazah Dinda yang sudah terbaring rapi didalam peti. Mulutnya komat-kamit membaca doa. Entah doa apa yang dibacakannya aku tak paham lagi. Wajahnya tegar sekali. Dia bahkan tidak menangis. Tapi kulihat wajahnya begitu sayu. Mungkin tangisannya sudah dihabiskan semalam. 
 
“Maafin kesalahan Dinda ya, Rena, Satria” ujarnya sambil memandangiku dan kekasihku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
---
Kamis, 08-09-2010
Sore ini aku dan kekasihku menemani Ojan menuju peristirahatan terakhir Dinda. Ya, semenjak tujuh hari yang lalu tepat peninggalan Dinda. Ojan kini duduk disamping Satria. Sambil membawakan 16 buah mawar putih dan 8 buah mawar merah yang dikemas dalam satu buket bunga. Indah sekali.

“Rena, kamu tau nggak kenapa Ojan bawain 16 bunga mawar putih dan 8 buah mawar merah? Kenapa nggak mawar biru atau mawar pink?” tanya Satria memecah kesunyian sore itu.

“engggg kenapa ya? Soalnya mawar pink udah sering kamu kasihin ke aku kali ya Sat, jadi biar nggak mainstream” ujarku menebak-nebak pertanyaan kekasihku itu. Pertanyaan yang tak penting sebenarnya. Mungkin itu salah satu pancingan untuk menghibur Ojan. Agar Ojan tidak terus-terusan diam seribu bahasa.

“Putih itu warna suci. Aku bawain 16 mawar putih, karena hari ini ulang tahun yang ke-16. Dan keberadaannya begitu suci. Begitu pula hatinya…” jawab Ojan begitu pelan dan tenang. Sambil tersenyum seolah-olah Ia akan benar-benar bertemu dengan Dinda.

“Terus yang merah?” tanyaku sedikit pelan. Dengan wajah yang penuh harap untuk dijawabnya.

“Delapan warna merah. Ini tanggal delapan. Dan warna merah artinya keberanian. Di tanggal delapan ini aku telah bertekad aku berani untuk mengungkapkan rasaku ke Dinda secara langsung”.

Aku dan Satria hanya terdiam. Tanganku mengusap bahu Ojan. Bermaksud menenangkannya dan memahami maksudnya.

Aku dan Satria duduk ditepi nisan bertulisan “Adinda Putri”. Sementara Ojan berada didepanku persis, bersebrangan dengan kami. Aku dan satria masih membisu. Aku memandangi Ojan, wajahnya begitu tenang. Tak pernah kulihat wajah sebegitu tenangnya seperti Ojan kali ini.

“Dinda, bagaimana kabarmu? Lihat, aku sedang menjengukmu bersama kedua sahabatku yang seringkali kuceritakan padamu” ujar Ojan lirih sembari meletakkan sebuket bunga menyandar pada batu nisannya.
“Lihat apa yang kubawa. Aku benar-benar menemuimu dan membawakanmu bunga sama seperti yang pernah kukatakan waktu itu. Kamu masih ingat?” kali ini aku dan Satria hanya tertunduk membisu.

“ Selamat ulang tahun cantik. Aku mencintaimu dan selalu saja mencintaimu. Aku mencintai setiap huruf yang ada pada balasan pesanmu. Aku mencintai caramu membuatku sebegitu jatuh hati. Bahkan aku tetap mencintaimu walau pesan terakhirku yang mengingatkanmu untuk berhati-hati sore itu tak kau balas sama sekali, bahkan di dalam chatku hanya bertuliskan ‘D’ “ Ujar Ojan bahkan kalimatnya kali ini membuatku meneteskan air mata. Kurasakan gerimis mulai membasahi tanah pemakaman sore itu.

“Cantik, sore ini tiba-tiba gerimis. Padahal aku masih ingin menemani kamu disini. Aku masih ingin cerita banyak. Sekarang tiap kali aku ingin bercerita denganmu, selalu saja tak kau balas. Aku pulang dulu ya. Kamu jaga diri baik-baik disini. Kalo kamu kedinginan, kamu bilang sama aku. Nanti kubawakan selimut hello kitty yang harusnya menjadi kado saat ulang tahunmu. Kalau kamu rindu, bilang ke aku. Aku janji, bakalan nemuin kamu disini ” pamit Ojan sambil mencium batu nisan berwana putih itu. Kulihat air matanya sedikit menetes. Lalu memandangiku dan kekasihku. Mengajak kami untuk pulang.

Senja mengantarkan kami meninggalkan peristirahatan terakhir Dinda. Aku berdecak kagum pada sahabat kekasihku itu. Begitu Ia menepati janjinya.
---
Tahun ke-empat ini sudah banyak yang berubah. Waktu benar-benar mengubah semuanya. Selain sebuket bunga di pemakaman yang semakin mengering, sekarang sudah tidak ada lagi sebuket mawar merah jambu yang kerap kali dititipkan pada Ojan. Yang dulu kerap kali menjemputku pagi-pagi, sekarang membiarkanku berangkat sendiri. Yang dulu sepiring nasi goreng buat bertiga sambil bermain uno, sekarang sepiring nasi goreng itu terbiarkan dingin dan hambar.


Ditulis untuk yang berulang tahun hari ini
tepat pada tahun ke-empat setelah kepergian Dinda
Dan kamu masih saja tak bisa melihat selain Dinda
Cinta memang lumpuh,
Bahkan saat ia menghilang ia mampu membawa separuh jiwamu pergi






Tidak ada komentar:

Posting Komentar