Kemeja tiga per empat lengan
Begitu aku menyebutnya. Ya, lelaki dengan kemeja yang lengannya
dilipat hingga tepat pada tiga perempat lengannya kini berada satu baris kursi
di depanku. Ujung ekstremitas tanganku mulai mendingin. Mataku terus menatap
lekat punggungnya. Bibirku tak henti-hentinya bergumam kagum terhadap keindahan
ciptaan Tuhan satu itu.
Di sampingku, duduk dua orang sahabatku Putri dan Agam. Ya, aku
memang sedang duduk di tengah diantara mereka berdua. Sesekali kakiku kuletakkan pada sandaran kursi
lelaki yang mengenakan kemeja tiga perempat lengan tersebut. Kutengok Agam dan
Putri. Mereka berdua masih asyik dengan sandwich dan gadgetnya masing-masing.
Lelaki dengan kemeja tiga per empat lengan
Ya. Aku mengenalnya sudah semenjak empat semester yang lalu. Hanya
sebatas mengenalnya saja, karena dia memang teman kuliahku. Aku hanya sebatas
mengetahui namanya saja. Aku bahkan tidak tau kelasnya, tidak tau asalnya,
bahkan nama lengkapnya saja pun baru-baru ini aku mengetahui. Lelaki dengan kemeja tiga per empat lengan.
Enam minggu yang lalu aku memang sempat bertemu dengannya di sebuah
tempat belanja. Secara tidak sengaja tentunya.
Seperti biasa, Aku, Agam dan Putri yang melihatnya kemudian menyapa.
Saat itu dia sendiri. Ya, tak kulihat ada seorangpun yang bersamanya. Dia masih
berbincang-bincang dengan salah satu karyawan disitu. Entah mengapa, secara tak
sengaja aku memperhatikannya.
Aku mendekap Putri. Masih ada lelaki itu tepatnya.
“Put …” bisikku lirih
“Kenapa?” balas putri masih sibuk dia mengecek belanjaan
“Aku boleh ngomong ndak?” tanyaku malu-malu dengan wajah yang
mungkin Putri sudah bisa menebak.
“Tanya apa?”
“Hehe…hehe…hehe” aku hanya bisa tertawa kecil. Tawa yang masih
malu-malu.
“Bara ganteng ?” lontar Putri seakan sudah paham dengan nadaku
bicara. Oh ya, aku nyaris lupa memberi tau namanya. Nama lelaki yang kerap kali
kusebut dengan lelaki berkemeja tiga perempat lengan itu adalah, Bara.
Tanganku buru-buru membungkam bibir Putri. Tangan satunya lagi
mencubit pahanya. Memastikan tak ada yang mendengar ucapan Putri barusan. Tidak
pula Agam, atau bahkan Bara. Aku tak tau apa jadinya jika orang yang sedang ku
maksud mendengar percakapanku barusan.
---
Ini sudah hari kesekian setelah peristiwa itu terjadi. Aku masih
sering melihatnya di sekitaran kampus. Aku melihatnya di ruang kuliah,
laboratorium, atau bahkan di parkiran.
Hari ini adalah satu hari yang kupikir tadinya akan menjadi salah
satu hari yang membosankan dalam hidupku. Jadwal kuliah yang padat merayap memaksaku
untuk berada di kampus dari jam delapan pagi hingga jam lima sore. Dan sore ini
adalah waktu dimana mata kuliah terakhir dalam hari ini akan berlangsung.
Aku memasuki ruang kelas. Nyaris tak isi. Kusapu setiap sudut
ruangan. Ruangan yang hampir mirip dengan bioskop itu hanya dihuni oleh tiga
anak manusia. Ku tengok arlojiku. Waktu menunjukan pukul 15.09 WIB. Jadi
kupikir wajar jika ruangan masih sepi. Biasanya anak-anak akan molor setengah
jam dengan jam yang dijadwalkan.
Dengan langkah perlahan aku menuju salah bangku paling atas, engggg
tepatnya dari belakang urutan nomer dua. Kuhempaskan tubuhku pada kursi yang
hampir setiap hari kududuki. Tanganku masih sibuk menggenggam ponselku.
Membalas satu persatu pesan yang belum kubalas.
Disebelahku, Putri masih dengan game di ipadnya. Kuraih earphone
dari dalam tasku. Kini kupasangkan sebelah pada telingaku, dan sebelahnya lagi
pada telinga Putri. Kini aku dan Putri
sudah terhanyut dalam lagu-lagu sendu yang kerap kali kami dengar.
Inay datang dengan conello yang masih dicumbuinya. Dengan keras ia
melemparkan tasnya. Lalu duduk didepanku. Inay adalah salah satu teman dekatku
di kampus. Gayanya yang sedikit rocker dan tingkahnya yang kerap kali membuatku
gusar ingin mencubitnya itu membuatku terbahak dengan segala tingkah konyolnya.
“Kalian dengerin apa sih ?” Tanya Inay masih dengan cokelat yang
berlepotan di setiap sudut bibirnya.
Aku dan Putri masih terdiam. Pura-pura tak mendengar. Hal semacam
itu seringkali kami lakukan untuk memancing kekesalaan Inay. Lalu menertawakannya. Dan dari sekian lelucon
yang kami buat, tak pernah membuat Inay marah sekalipun.
Mataku terpaku pada pintu yang salah satu sisinya terbuka. Lalu
muncul dua laki-laki yang sangat kukenali. Itu Hasan dan satunya lagi, Astaga,
lelaki itu. Lelaki dengan kemeja yang dilipat tiga per empat lengan. Maaf, Bara
maksudku.
Bara menaruh tas lalu duduk di sebelahnya. Tepat di kiri pada
barisan ke sembilan dari bangku yang kududuki. Aku memperhatikannya diam-diam.
Aku hanya bisa melihatnya dari samping. Dan hal seperti ini selalu saja sudah
membuatku sangat bahagia. Kadang aku kesal, Ia tak melihatku. Ia masih saja
bercanda dengan temannya.
Aku menggigit erat-erat jemariku sembari tersenyum. Mataku terus
memperhatikan pemandangan lima meter di kiri tempat dudukku. Lelucon temannya
membuatnya tertawa lepas. Ah indah sekali. Bisa ku bayangkan betapa
beruntungnya wanita yang memilikinya.
Inay membuyarkan lamunanku tatkala ia berteriak “Bara, Rena
ngeliatin kamu terus. Dia suka sama kamu” . Teriakannya nyaris membuat jantungku copot. Putri tertawa
lepas dibuatnya dan sempat mencuri perhatian beberapa anak yang sudah menduduki bangkunya
masing-masing.
Aku kaget. Buru-buru kulepas earphone dari telingaku. Lalu memandang
gusar ke arah Inay. Wajahku memerah dan
rasanya sangat gerah. Kulihat Bara, matanya tertuju pada gerombolan kami. Bara
tertawa. Tapi kali ini tawanya ditahan. Masih bisa kubayangan senyumnya yang
tertahan behel. Tuhan, aku lemah…
Aku masih suka sekali dengan kehadiran senyumannya. Ya, walau aku
hanya bisa melihatnya dari jauh. Aku masih bisa merasakan kebahagiaan berada
didekatnya, walaupun itu hanya dari belakangnya. Aku masih suka membuka folder
fotoku dengannya, walaupun yang tergambar hanya separuh dari kakiku dan
punggungmu. Mungkin Tuhan memberiku sepercik kebahagiaan ini walau hanya lewat
peran secret admire …
Vonis salah dari Tuhan bukan pada setiap umat yang sedang jatuh
cinta. Kesalahan selalu saja ada pada yang jatuh cinta dan mengharap untuk
memilikinya.
Yang mengagumimu walau hanya
dari punggung
dan selalu lemah dengan
setiap senyuman yang tertahan behel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar