Rabu, 25 Juni 2014

-Kemeja tiga per empat lengan

Kemeja tiga per empat lengan
 
Begitu aku menyebutnya. Ya, lelaki dengan kemeja yang lengannya dilipat hingga tepat pada tiga perempat lengannya kini berada satu baris kursi di depanku. Ujung ekstremitas tanganku mulai mendingin. Mataku terus menatap lekat punggungnya. Bibirku tak henti-hentinya bergumam kagum terhadap keindahan ciptaan Tuhan satu itu.

Di sampingku, duduk dua orang sahabatku Putri dan Agam. Ya, aku memang sedang duduk di tengah diantara mereka berdua.  Sesekali kakiku kuletakkan pada sandaran kursi lelaki yang mengenakan kemeja tiga perempat lengan tersebut. Kutengok Agam dan Putri. Mereka berdua masih asyik dengan sandwich dan gadgetnya masing-masing. 

Lelaki dengan kemeja tiga per empat lengan
 Ya. Aku mengenalnya sudah semenjak empat semester yang lalu. Hanya sebatas mengenalnya saja, karena dia memang teman kuliahku. Aku hanya sebatas mengetahui namanya saja. Aku bahkan tidak tau kelasnya, tidak tau asalnya, bahkan nama lengkapnya saja pun baru-baru ini aku mengetahui. Lelaki dengan kemeja tiga per empat lengan.
 
Enam minggu yang lalu aku memang sempat bertemu dengannya di sebuah tempat belanja. Secara tidak sengaja tentunya.  Seperti biasa, Aku, Agam dan Putri yang melihatnya kemudian menyapa. Saat itu dia sendiri. Ya, tak kulihat ada seorangpun yang bersamanya. Dia masih berbincang-bincang dengan salah satu karyawan disitu. Entah mengapa, secara tak sengaja aku memperhatikannya.

Aku mendekap Putri. Masih ada lelaki itu tepatnya.
“Put …” bisikku lirih
“Kenapa?” balas putri masih sibuk dia mengecek belanjaan
“Aku boleh ngomong ndak?” tanyaku malu-malu dengan wajah yang mungkin Putri sudah bisa menebak.
“Tanya apa?”
“Hehe…hehe…hehe” aku hanya bisa tertawa kecil. Tawa yang masih malu-malu.
“Bara ganteng ?” lontar Putri seakan sudah paham dengan nadaku bicara. Oh ya, aku nyaris lupa memberi tau namanya. Nama lelaki yang kerap kali kusebut dengan lelaki berkemeja tiga perempat lengan itu adalah, Bara.

Tanganku buru-buru membungkam bibir Putri. Tangan satunya lagi mencubit pahanya. Memastikan tak ada yang mendengar ucapan Putri barusan. Tidak pula Agam, atau bahkan Bara. Aku tak tau apa jadinya jika orang yang sedang ku maksud mendengar percakapanku barusan.
---

Ini sudah hari kesekian setelah peristiwa itu terjadi. Aku masih sering melihatnya di sekitaran kampus. Aku melihatnya di ruang kuliah, laboratorium, atau bahkan di parkiran. 

Hari ini adalah satu hari yang kupikir tadinya akan menjadi salah satu hari yang membosankan dalam hidupku. Jadwal kuliah yang padat merayap memaksaku untuk berada di kampus dari jam delapan pagi hingga jam lima sore. Dan sore ini adalah waktu dimana mata kuliah terakhir dalam hari ini akan berlangsung.

Aku memasuki ruang kelas. Nyaris tak isi. Kusapu setiap sudut ruangan. Ruangan yang hampir mirip dengan bioskop itu hanya dihuni oleh tiga anak manusia. Ku tengok arlojiku. Waktu menunjukan pukul 15.09 WIB. Jadi kupikir wajar jika ruangan masih sepi. Biasanya anak-anak akan molor setengah jam dengan jam yang dijadwalkan.

Dengan langkah perlahan aku menuju salah bangku paling atas, engggg tepatnya dari belakang urutan nomer dua. Kuhempaskan tubuhku pada kursi yang hampir setiap hari kududuki. Tanganku masih sibuk menggenggam ponselku. Membalas satu persatu pesan yang belum kubalas.

Disebelahku, Putri masih dengan game di ipadnya. Kuraih earphone dari dalam tasku. Kini kupasangkan sebelah pada telingaku, dan sebelahnya lagi pada telinga Putri.  Kini aku dan Putri sudah terhanyut dalam lagu-lagu sendu yang kerap kali kami dengar.

Inay datang dengan conello yang masih dicumbuinya. Dengan keras ia melemparkan tasnya. Lalu duduk didepanku. Inay adalah salah satu teman dekatku di kampus. Gayanya yang sedikit rocker dan tingkahnya yang kerap kali membuatku gusar ingin mencubitnya itu membuatku terbahak dengan segala tingkah konyolnya.

“Kalian dengerin apa sih ?” Tanya Inay masih dengan cokelat yang berlepotan di setiap sudut bibirnya.
Aku dan Putri masih terdiam. Pura-pura tak mendengar. Hal semacam itu seringkali kami lakukan untuk memancing kekesalaan Inay.  Lalu menertawakannya. Dan dari sekian lelucon yang kami buat, tak pernah membuat Inay marah sekalipun.

Mataku terpaku pada pintu yang salah satu sisinya terbuka. Lalu muncul dua laki-laki yang sangat kukenali. Itu Hasan dan satunya lagi, Astaga, lelaki itu. Lelaki dengan kemeja yang dilipat tiga per empat lengan. Maaf, Bara maksudku.

Bara menaruh tas lalu duduk di sebelahnya. Tepat di kiri pada barisan ke sembilan dari bangku yang kududuki. Aku memperhatikannya diam-diam. Aku hanya bisa melihatnya dari samping. Dan hal seperti ini selalu saja sudah membuatku sangat bahagia. Kadang aku kesal, Ia tak melihatku. Ia masih saja bercanda dengan temannya.

Aku menggigit erat-erat jemariku sembari tersenyum. Mataku terus memperhatikan pemandangan lima meter di kiri tempat dudukku. Lelucon temannya membuatnya tertawa lepas. Ah indah sekali. Bisa ku bayangkan betapa beruntungnya wanita yang memilikinya.

Inay membuyarkan lamunanku tatkala ia berteriak “Bara, Rena ngeliatin kamu terus. Dia suka sama kamu” . Teriakannya nyaris membuat jantungku copot. Putri tertawa lepas dibuatnya dan sempat mencuri perhatian beberapa anak yang sudah menduduki bangkunya masing-masing.

Aku kaget. Buru-buru kulepas earphone dari telingaku. Lalu memandang gusar ke arah Inay.  Wajahku memerah dan rasanya sangat gerah. Kulihat Bara, matanya tertuju pada gerombolan kami. Bara tertawa. Tapi kali ini tawanya ditahan. Masih bisa kubayangan senyumnya yang tertahan behel. Tuhan, aku lemah…

Aku masih suka sekali dengan kehadiran senyumannya. Ya, walau aku hanya bisa melihatnya dari jauh. Aku masih bisa merasakan kebahagiaan berada didekatnya, walaupun itu hanya dari belakangnya. Aku masih suka membuka folder fotoku dengannya, walaupun yang tergambar hanya separuh dari kakiku dan punggungmu. Mungkin Tuhan memberiku sepercik kebahagiaan ini walau hanya lewat peran secret admire …

Vonis salah dari Tuhan bukan pada setiap umat yang sedang jatuh cinta. Kesalahan selalu saja ada pada yang jatuh cinta dan mengharap untuk memilikinya.



Yang mengagumimu walau hanya dari punggung
dan selalu lemah dengan setiap senyuman yang tertahan behel
masih saja dengan peran secret admire …


Tidak ada komentar:

Posting Komentar