Selamat pagi, rindu yang semakin tak bertepi. Cinta yang semakin tak berarti.
Hai mas. Bagimana kah keadaanmu saat ini ? sudah lupa rasanya aku menyapamu seperti demikian. Kabarmu baik-baik saja ? masih seperti dulu? Aku kini tak pernah lagi menanyakan kabarmu, bahkan ke temanmu sekalipun.
Ku harap, kau baik-baik sama sepertiku disini. Mas, bolehkah aku sedikit menoreh kalimat? Sekedar menggambarkan perasaanku saat ini …
Ku harap, kau baik-baik sama sepertiku disini. Mas, bolehkah aku sedikit menoreh kalimat? Sekedar menggambarkan perasaanku saat ini …
Hari ini aku berangkat ke Madiun mas. Di rumah teman dekatku, Putri. Kau masih ingat Putri? Ya. Teman satu kontrakan denganku yang kerap kali kupanggil adik meski usiaku terpaut jauh dibawahnya. Dia memang suka dipanggil adik. Hari ini aku akan meninggalkan sesaknya jogja. Iya mas, bayangkan saja sudah 19 tahun lamanya aku mendiami kota ini. Dan bagaimana tidak berulangkali aku mengatakan bosan. Tidak hanya setiap sudutnya saja aku mengatakan bosan. Tapi pada bagian kehidupannya, terlebih aku.
---
Terminal Giwangan sore ini ramai. Sukses membuatku lemas berdesak-desakan dengan orang lalu lalang. Tiba di sebuah garasi bus yang besar. Mas, terakhir aku kesini aku mengantarmu pagi-pagi itu. Setelah semalaman kamu mengajariku belajar parasit.
Kau masih ingat brugia malayi, brugia timori, dan kawan-kawannya? Haha itu lucu sekali. Itu masih bukan untuk terakhir kalinya kamu kesini. Masih ada satu waktu kamu menghabiskan malam disini. Ditengah-tengah kota jogja.
Aku tiba didalam bus. Sebuah bus yang menjadi lengganan kedua sahabatku ketika pulang kampung. Aku dan putri sudah tidak lagi mendapat tempat duduk. Yang tersisa hanyalah bagian belakang. Samping kiriku putri, dan kananku adalah bapak-bapak yang setengah tua, kutaksir umurnya sekitar 7 windu-an. Perjalanan jogja madiun memang harus melewati beberapa kota mas, selepas jogja-klaten-solo-sragen-mantingan-ngawi-lantas caruban.
Bus kian melaju kencang. Padahal jalanan bisa dibilang macet dan ruwet. Kau tau Janti? Ya, tempat terakhir aku mengantarmu mencari bus. Janti sore ini begitu padat. Ini akan mengisyaratkan perjalanan ke madiun akan sedikit memakan banyak waktu. Putri, sudah tertidur lelap dengan kepada menyandar pada kaca. Dan aku? Menulis note-setiap note pada ponselku.
Aku terhentak ketika bus tiba-tiba berhenti menurunkan penumpang disebuah jalan. Mataku masih sangat menyipit selepas memandangi layar ponsel yang sedikit agak lama. aku celigukan ke kanan-kiri. Aku tak tau lagi aku berada di jawa bagian mana. Terlebih ini selepas maghrib .Untuk melihat segala sesuatu yang agak jauh mataku memang harus berakomodasi maksimal.
Minusku tak lagi hitungan per-sekian mas. Sekarang semakin aku menyia-nyiakan kacamataku semakin bertambah saja. Mata kananku minus 1,75 dan mata kiriku minusnya 2,75. Belum lagi silinder pada keduanya. Minusku menambah 0,75 selepas aku mengatakan aku malas pakai kacamata terakhir kepadamu.
Minusku tak lagi hitungan per-sekian mas. Sekarang semakin aku menyia-nyiakan kacamataku semakin bertambah saja. Mata kananku minus 1,75 dan mata kiriku minusnya 2,75. Belum lagi silinder pada keduanya. Minusku menambah 0,75 selepas aku mengatakan aku malas pakai kacamata terakhir kepadamu.
Didepanku persis, ada sesuatu yang tak asing menurutku. Ya, itu tugu kartasura.
Tapi bus semakin tak peduli dengan tugu kartasura. Ia tetap saja melaju mengejar waktu. Tiba di suatu lampu merah yang aku bahkan tak pernah asing dengan tempat ini. Ya, tepat dikiriku kini terpampang jelas kampus almamater tercintamu.
Tiba-tiba pikiranku menerawang jauh. Memutar sandi-sandi waktu. Gonilan? Itu tempat yang lebih tak asing lagi. Terlebih Manahan. Ya, pikiranku terpampang jelas tulisan Manahan di sebuah SPBU. Bagaimana tidak? Aku pernah menginap disini bersama ketiga sahabatku. Aku, Putri, Dika, dan Agam. Tidur di dua mobil yang berbeda malam itu bersama serbuan nyamuk yang nyaris membuatku dan Putri mengumpat.
Itu waktu aku masih menjadi bayang-bayang untukmu. Waktu masih kamu memanggilku ‘alpikacu’. Waktu kita masih sebatas chat. Waktu kamu bilang akan menemuiku saat aku di kotamu.
Waktu kamu tiba-tiba bilang tidak bisa menemuiku karena akan belajar remediasi, tapi tengah malam kamu membuat personal messegemu dengan tulisan ‘clossing party’. Waktu aku membacanya di sebuah fastfood di solo square. Waktu aku tau kamu berdusta dari awal. Waktu aku masih tetap mencintaimu, mas.
---
---
Madiun …
Madiun pagi ini indah mas. Udara disini jauh lebih sejuk. Lebih nyaman. Aku bahkan tak pernah menikmati hal semacam ini. Disini tak ada arakan busway yang melaju sekenanya. Disini tak ada area kemacetan kota.
Dan kabar darinya, yang hari ini menyusul ke kota asalnya. Iya mas, aku menyebutnya dia. Dia yang hadir ditengah kesakitanku. Mas, dia baik sekali. Dia tidak pernah berjanji apapun, tapi dia menjagaku. Aku selama ini merasa nyaman dengan segala ceritanya. Dia pernah beberapa kali menemuiku mas. Dia terpaut satu tingkat dibawah kita.
Mas, disini aku bukan mengajakmu berlomba-lomba mencari adik tingkat. Samasekali bukan. Tapi sejauh ini kami masih berteman. Meski kami tau perasaan satu sama lain. Aku memang sekarang tak semudah waktu kau menjadikanku kekasihmu. Semenjak kejadian kita, aku semakin takut yang namanya memiliki.
Mas, disini aku bukan mengajakmu berlomba-lomba mencari adik tingkat. Samasekali bukan. Tapi sejauh ini kami masih berteman. Meski kami tau perasaan satu sama lain. Aku memang sekarang tak semudah waktu kau menjadikanku kekasihmu. Semenjak kejadian kita, aku semakin takut yang namanya memiliki.
Mas, hari ini aku akan menikmati kota madiun beserta seluk-beluknya. Keluarga Putri sangat ramah dan menyenangkan. Beliau mengajak kami menikmati keindahan cemoro sewu. Kau tau, itu posko awal pendakian lawu? Tentu kau ingat.
Disepanjang jalan yang terlintas hanya puncak lawu mas. Untuk kesekian kali, aku membenci ini. Aku benci tatkala harus memutar waktu. Tatkala aku harus melihat sosok yang berdiri di puncak lawu beberapa waktu silam. Satu kalimat yang terekam jelas dipikiranku sampai saat ini.
“Hai sayang, Alvy. Aku sayang sama kamu. Sayang banget. Aku lagi ada di gunung ini. Disini dingin. Dingin banget”
“I LOVE YOU ALVY” disusul teriakanmu disebuah puncak.
Masih terekam jelas untuk pertama kalinya aku membuka video itu. Di mobil bersama ayah. Seketika mendengar suara itu, ayah tertawa mas. Reflek tanganku menekan tuts volume ipad. Tapi terlambat. Ayah bahkan sudah mendengar teriakan yang sedikit mematikan itu.
Malam ini aku harus pulang. Sedih rasanya meninggalkan kota yang sempat hariku semenyenangkan dari segala kesakitan jogja. Mas, bahkan aku tidak merindukan sama sekali jogja. Tidak. Aku ingin berlama-lama di Madiun.
Malam ini seperti biasa aku sudah berada didalam bus yang sama aku tumpangi saat berangkat dari jogja. Sedih saat kupandangi ruangan kursi sudah penuh. Aku dan putri terpaksa harus berpisah tempat duduk, mas.
Di sampingku mas, ada seorang lelaki duduk memojok. Dengan ponsel dan andromax menempel ditelapak tangannya. Kutaksir, umurnya sekitar 45 tahunan. Sudah tua, tetapi penampilan yang membuatnya tergambar jelas dia adalah pria berhidung belang. Bagaimana tidak? Sepanjang jalan aku disampingnya, berulang kali dia menerima telepon dari wanita yang berbeda-beda. Rekan bisnis? Tengah malam? Baiklah …
Dua kursi kosong
Aku dan putri kini duduk bersampingan. Mataku menatap lekat-lekat ke arah jendela. Perlahan-lahan ku pejamkan mata. Jalanan yang sedikit rusak sukses membuatku terbangun kaget berulang-ulang. Hingga akhirnya kurasakan bus berhenti. Mataku mencari celah-celah tulisan. Terpampang jelas sekali. Ya, terminal Tirtonadi. Solo.
Aku sedikit menoleh ke kiri.
Putri masih tidur dengan nyenyaknya. Bus hanya menurunkan sedikit penumpang. Membuat ruangan malam itu terlihat longgar. Laju bus benar-benar tidak terkesan santai. Mataku menatap kanan-kiri jalan. Entah, semenjak pemberhentian terakhir itu, mataku semakin sulit terpejam.
Suatu kesalahan ketika harus memandangi jalanan solo malam ini. Mataku menyapu setiap sudut kota ini. Dinginnya AC membuatku harus berulangkali membenahi jaket yang membungkus sebagian tubuhku. Tiba-tiba lagi, sudah ku katakan, aku membenci hal ini …
Aku benci saat harus melihat jalanan yang pernah kita lalui. Mas, jalanan solo jahat ya? Dia selalu saja mengingatkanku tentang masa lalu kita. Dan setiap tempat yang kita lalui? Dia menceritakan tentang kita. Kau ingat penghabisan malam kita terakhir?
Aku menutup rapat-rapat mataku. Aku tidak ingin semakin sakit tatkala aku melihatnya. Bahkan semua mengatakan, dan selalu kusadari. Hubungan kita memang sedang tidak baik-baik saja. Sudah tidak ada hubungan itu, tepatnya.
Merindukan hal yang pernah terjadi
bukan berarti ingin mengulang semuanya
saat kau pergi begitu saja
jangan berpikir aku akan kembali mencarimu
berjuang tak sebercanda itu
jangan berpikir aku akan kembali mencarimu
berjuang tak sebercanda itu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar